Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Serangan itu mendadak dan ...

Prof. armand lowenthal, ahli ilmu penyakit saraf, membeberkan sejumlah fakta & data penelitian pencegahan stroke. belum ditemukan obat anti stroke. tapi bisa ditolong dengan kombinasi dipiridamol-aspirin.

16 Juli 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM suasana tenang, sekitar 250 dokter asyik menyimak. Mereka berkumpul pada acara Temu Klinik, Ahad malam pekan lalu, di Hotel Hilton, Jakarta. Perhatian terpusat pada seorang pakar, Prof. Armand Lowenthal, ahli ilmu penyakit saraf (neurologi) dan neurochemistry Universitas Antwerp, Belgia. Selain Lowenthal, pembicara lain adalah dr. Andradi Suryamiharja, ahli neurogeriatri dari Bagian Neurologi FKUI/RSCM. Keduanya, atas undangan Ikatan Dokter Ahli Saraf Indonesia cabang Jakarta, bicara soal pencegahan stroke. Lowenthal membeberkan sejumlah fakta dan data penelitian pencegahan stroke, yang dilakukan serentak di 16 pusat studi di 6 negara Eropa. Stroke, yang dikenal sebagai serangan mendadak di pembuluh darah otak, adalah penyebab utama kelumpuhan, terutama bagi mereka yang berusia di atas 45 tahun. Stroke juga penyebab kematian nomor tiga setelah kanker dan penyakit jantung. Setiap tahun, di AS rata-rata 200 ribu kematian terjadi akibat stroke. Sejauh ini tak banyak yang bisa dilakukan untuk menolong penderita stroke. Iskemia (kosongnya suplai darah) di otak, akibat stroke, yang berlangsun singkat saja sudah mengakibatkan matinya sebagian jaringan otak -- dengan gejala sisa berupa invaliditas, seperti lumpuh sebelah, gagu (afasia), sampai kematian. Mungkin sampai beberapa tahun mendatang hanya upaya pencegahanlah yang bisa diandalkan untuk menanam stroke. Stroke bisa muncul akibat pecahnya pembuluh di otak -- misalnya karena melonjaknya tekanan darah -- sehingga orang "terpukul jatuh". Tapi lebih sering ia merupakan manifestasi iskemia pembuluh di otak, ketika suplai darah di situ tersumbat, dan oksigen yang di bawanya pun tak berhasil mencapai sel-sel saraf otak. Sumbatan ini biasanya terjadi akibat kondisi buruk di pembuluh, seperti bekuan darah yang menggumpal (akibat saling menempel), dinding pembuluh yang sklerotis (penuh lemak, kaku, dan menyempit), atau tekanan darah yang terlalu rendah. Sejauh ini para-ahli belum bisa menjelaskan mengapa dan bagaimana stroke bisa terjadi. Mereka menduga ada beberapa faktor risiko yang ikut menyebabkannya, termasuk hipertensi -- untuk stroke yang diakibatkan pecahnya pembuluh -- kencing manis, hiperkolesterol, dan merokok. Menurut dr. Andradi, cara terbaik untuk menanggulanginya adalah dengan mencegah stroke itu sendiri. Caranya menghindari bercokolnya risiko seawal mungkin. Tapi bila risiko sudah telanjur ada, apa boleh buat, mesti diambil tindakan untuk mengurangi atau menghilangkannya sama sekali. Ini dinamakan pencegahan primer. Sebetulnya, ada alarem yang bisa dimanfaatkan, yakni yang disebut Transient Ischemic Attack (TIA). TIA adalah serangan yang terjadi sepintas, tak lebih dari 24 jam (TEMPO, 3 Oktober 1987). "Sekitar sepertiga penderita TIA akan mendapat stroke dalam jangka waktu 5 tahun," ujar Andradi. Karena itu, selain menurunkan risiko, pada mereka sering diberikan pula obat antipembekuan darah atau antipenggumpalan darah (antiplatelet) seperti pentoksifilin, dipiridamol, dan aspirin. Ini untuk mencegah akibat lebih parah dari TIA, atau munculnya stroke lagi di belakang hari. Cara ini disebut pencegahan sekunder. "Pencegahan sekunder ini," kata Lowenthal, "justru lebih mudah ketimbang pencegahan primer, yang mesti dilakukan dengan mengurangi faktor risiko." Penelitian Lowenthal dilakukan berdasarkan pencegahan sekunder ini juga. Menurut Lowenthal, awalnya ada.2.500 penderita yang masuk obyek penelitian The European Stroke Prevention Study (ESPS), untuk jangka waktu 2 tahun. Semua pasien diketahui pernah menderita TIA, stroke, ataupun Reversible Ischemic Neurological Deficit (RIND) -- ketiganya memang gangguan fungsi pembuluh darah otak, yang hanya dibedakan dalam lamanya serangan. Gejala terganggunya fungsi saraf (defisit neurologis) -- lumpuh sebelah pada TIA, misalnya -- hanya berbatas 24 jam saja, sementara pada RIND, defisit sirna dalam jangka waktu 1 sampai 7 hari. Stroke sendiri adalah serangan yang defisit neurologisnya menetap setelah lebih dari 7 hari. Peneliti tidak memasukkan mereka yang pernah minum obat antiplatelet (seperti aspirin), karena dianggap akan mengacaukan hasil. Selain itu, juga tidak masuk penderita ulkus pepticum (maag, yang juga bisa terjadi akibat kebanyakan aspirm), dan pendenta kencing manis yang tak terkontrol. Pasien -- ditentukan secara acak -- diberi salah satu dari dua obat: gabungan dipi-ridamol-aspirin (DP-Asp) yang diberikan dalam satu hapsul dan plasebo (kapsul berisi tepung). Untuk menilai hasil penelitian, Lowenthal punya patokan, yakni dengan melihat titik akhir ketika pasien mengalami serangan stroke yang ke-2, atau meninggal oleh sebab apa pun, termasuk karena serangan stroke. Sebelum sampai titik akhir pada bulan ke-24 itu, mereka selalu melakukan pengecekan, mulai dari pemberian obat pertama, sebulan kemudian, dan setiap 3 bulan kemudian. Dari 2.500 pasien, yang mencapai masa akhir ada 1.298 orang -- sekitar 50% -- terdiri atas 662 pasien kelompok yang mendapat DP-Asp dan 636 pasien kelompok plasebo. Hasil yang diperoleh cukup meyakinkan: setelah satu tahun pertama, kombinasi DP-Asp mengurangi angka kematian sebesar 32,8%. Bahkan setelah dua tahun, pengurangan kematian pada kelompok DP-Asp naik jadi 35,4% dibandingkan dengan kelompok plasebo. "Kesimpulan akhirnya," kata Lowenthal, "penelitian ini berhasil menunjukkan bahwa kombinasi dipiridamol-aspirin menurunkan risiko terjadinya stroke atau kematian sebesar 30 persen." Penelitian yang berakhir pada 31 Desember 1985 ini pernah dibicarakan persatuan ahli neurologi Belgia, di Brussel. Para ahli di sana sempat pula berdebat soal ini. Tapi pada akhirnya mereka sepakat untuk menyatakan bahwa The European Stroke Prevention Study merupakan penelitian terbesar dan memiliki nilai ilmiah yang tinggi. Syafiq Basri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus