Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sehari setelah pensiun, Kobe Bryant, 37 tahun, memilih langsung membenamkan diri dalam kesibukan baru. Pagi-pagi sekali, pada Kamis dua minggu lalu, dia sudah bangun dan berlatih gym. Setelah itu, ia mandi, sarapan, lalu bergegas ke kantornya, Kobe Studio. "Saya harus melakukannya," katanya, seperti dikutip CBS Sports. "Sangat penting untuk menjaga disiplin, masuk rutinitas baru, juga menemukan tujuan baru."
Sebelumnya, selama 20 tahun, rutinitas Bryant selalu terkait dengan klub Los Angeles Lakers, yang berlaga di kompetisi bola basket Amerika Serikat (National Basketball Association/NBA). Rutinitas lamanya itu berakhir dua minggu lalu, lewat sebuah laga pamungkas yang luar biasa meriah. Bryant mampu menyumbangkan 60 poin untuk mengantar Lakers mengalahkan Utah Jazz 101-96. Tapi kemenangan itu tak berarti banyak bagi Lakers, yang sudah dipastikan gagal melaju ke babak playoff untuk ketiga kalinya secara beruntun. Kemeriahan laga itu bahkan jadi ironi karena, pada saat yang sama, Lakers mengalami musim terburuknya dengan catatan menang-kalah 17-65.
Manajer Umum Lakers Mitch Kupchak menyebutkan kepergian Bryant meninggalkan perasaan yang campur aduk. Hal itu ia rasakan saat berada di markas LA Lakers, El Segundo, California, dua hari setelah laga pamungkas berlangsung. Ia sempat termangu-mangu menatap papan putih yang memuat susunan pemain Lakers. Pada setiap akhir musim, ia akan menyusun ulang nama-nama itu, termasuk menghapus pemain yang pergi. Dalam 20 tahun terakhir, nama Bryant selalu bertahan. Tapi, pagi itu, ia harus menghapusnya. "Ketika saya selesai menghapus, nama dia tak hilang," ujar Kupchak saat bercerita kepada wartawan di tempat yang sama beberapa jam kemudian.
Kupchak lalu mengambil semprotan dan lap, lalu mulai menggosok. Nama Bryant akhirnya sirna dari papan itu. "Tak mudah, tapi akhirnya berhasil," kata pria 61 tahun itu. Wartawan serempak tertawa mendengar cerita yang dengan tepat menggambarkan situasi Lakers saat ini tersebut. "Sulit untuk menutup buku di bab ini, tapi kami harus melakukannya," ujar Kupchak. "Ini sesuatu yang tak akan pernah dilihat lagi. Satu pemain, 20 tahun."
Petualangan 20 tahun Bryant bersama Lakers dimulai pada 1996, setelah lulus sekolah menengah atas. Dalam seleksi pemain baru, ia berada di urutan ke-13 dan menjadi hak Charlotte Hornets, tapi akhirnya berlabuh di Lakers, yang sebelumnya sudah membeli hak Hornets tersebut. Meski datang bukan sebagai pemain incaran utama, Bryant lambat-laun mampu menjelma menjadi ikon Lakers. Ia dikenal sebagai Black Mamba-nama ular berbisa asal Afrika-berkat ketajaman tembakannya, juga karena suara mendesis yang kerap dia keluarkan saat ia meminta operan bola.
Bryant berperan besar mengantar Lakers merebut cincin juara pada 2000, 2001, 2002, 2009, dan 2010. Kecemerlangannya membuat ia terpilih 18 kali masuk laga All-Star dan dua kali menjadi pemain terbaik (MVP) di laga final. Bryant juga menjadi pencetak angka tertinggi ketiga dalam sejarah NBA dengan 33.643 poin.
Tak mengherankan bila kemudian Bryant menjadi pemain dengan bayaran tinggi kedua dalam sejarah NBA, setelah Kevin Durant. Hingga kepergiannya, Lakers harus membayar total gaji US$ 323,3 juta (setara dengan Rp 4,2 triliun). Gaji itu, ditambah penghasilan dari hal lain senilai US$ 360 juta (sekitar Rp 4,7 triliun), mengantar Bryant masuk urutan 10 atlet terkaya dunia pada 2015.
Apakah gaji yang dibayarkan Lakers itu sepadan? Bisa jadi ya. Ketika Bryant mulai bergabung, klub itu hanya bernilai US$ 200 juta (sekitar Rp 2,6 triliun). Kini nilai Lakers melonjak jadi US$ 3 miliar (setara dengan Rp 39,3 triliun), antara lain berkat sepak terjang Bryant.
Tapi sepak terjang Bryant tak selalu positif. Di luar lapangan, pada 2003, ia pernah terjerat kasus pemerkosaan terhadap pelayan hotel, meski proses hukumnya kemudian dihentikan. Di lapangan, ia bisa sangat hebat, tapi juga sangat buruk. Ia pernah menyumbangkan 81 poin dalam satu laga-kedua tertinggi dalam sejarah NBA-tapi pernah juga hanya memberi satu poin dalam dua kuarter pertandingan playoff melawan Phoenix pada 2006.
Bryant ikut mengantar Lakers merebut lima gelar juara-menyamai torehan Magic Johnson-tapi juga dianggap menyebabkan klub itu gagal merebut tiga gelar lain karena tak bisa bekerja sama dengan Shaquille O'Neal. Bryant bahkan kemudian dianggap jadi penyebab kepergian Shaquille O'Neal pada 2004.
Sisi negatif lain Bryant sempat diulas ESPN: The Magazine pada 2014. Mereka menurunkan tulisan Henry Abbott dengan judul "Kobe: Dia jelas pemain terbesar dalam sejarah Lakers. Ia juga menghancurkannya dari dalam". Tulisan itu mengkritik gaya permainan Bryant yang jarang mau mengoper bola. Kontrak besar pemain ini, berpadu dengan aturan pembatasan nilai total gaji (salary cap) di NBA, juga dianggap membuat Lakers tak mampu merekrut bintang besar lain. Kalaupun dari segi gaji memungkinkan, gaya bermain Bryant serta sikapnya yang tak segan mengkritik rekan setim membuat banyak pemain memilih menolak pinangan Lakers.
Artikel itu langsung mendapat respons keras dari segala penjuru. Bahkan pembetot bas Red Hot Chili Peppers, Flea, dengan marah menyebutnya "benar-benar sampah dan merupakan serangan yang tak bertanggung jawab". Begitulah, dengan berbagai kekurangannya, Bryant tetap menjadi pujaan penggemar Lakers. Maka tak mengherankan bila pada Rabu dua minggu lalu, laga perpisahan pemain ini disambut antusias. Tiket pertandingan yang tak murah-dari US$ 700 (sekitar Rp 9 juta) hingga US$ 27.500 (sekitar Rp 360 juta)-langsung habis diserbu 19 ribu penonton.
Di tribun Staples Center malam itu, para penonton-termasuk atlet dan selebritas dunia-terus mengelu-elukan Bryant. Teriakan "Kobe! Kobe! Kobe!" bergema saat ia masuk lapangan, juga saat keluar pada akhir kuarter keempat. Seusai laga, Bryant tampak emosional saat berpidato. "Ini seperti tak nyata," katanya. "Seperti di dalam kabut, segalanya bergerak sangat lambat tapi juga sangat cepat. Saya tak percaya 20 tahun telah berlalu. Ini gila." Di ujung pidatonya, ia menutup dengan kalimat, "Mamba out." Gemuruh tepuk tangan penonton kembali menyambutnya. Bryant lantas memeluk dua anaknya, Natalia, 13 tahun, dan Gianna (10), serta istrinya, Vanessa (33), yang berdiri tak jauh darinya.
Episode Mamba Hitam di Lakers malam itu sudah berakhir. Bryant selanjutnya akan berfokus menjalani hidup barunya. Ia akan mengurus Kobe Studio-bergerak di bidang multimedia dan merupakan anak perusahaan Kobe Inc yang didirikan pada 2014. Ia juga mungkin masih akan sering terlihat di televisi karena baru dilamar TMZ Sports untuk bergabung dalam acara Inside the NBA bersama Shaquille O'Neal. Meski telah pergi, namanya jelas akan tetap terpatri dalam buku emas Lakers.
Laga perpisahan Bryant bahkan sudah memberi inspirasi bagi pemain muda klub itu. Jordan Clarkson, pemain 23 tahun yang jadi penyumbang poin terbanyak kedua Lakers musim ini, berharap bisa meniru Bryant dan bertahan di Lakers hingga pensiun. "Saya ingin berada di satu tempat yang bisa disebut rumah dan menciptakan warisan hebat," ucapnya.
Clarkson adalah satu dari lima pemain yang akan dipertahankan Lakers pada musim depan. Untuk pemain lain, Mitch Kupchak dan pelatih Byron Scott masih harus berburu. Mereka cukup optimistis karena punya dana US$ 60 juta (sekitar Rp 787 miliar), yang semula dipakai untuk membayar Bryant dan pemain lain yang pergi. Nama yang mereka incar antara lain Kevin Durant (Oklahoma City Thunder) dan Alfred Joel Horford (Atlanta Hawk). Tapi, untuk meraih keduanya, Lakers harus bersaing dengan klub lain yang memiliki lebih banyak uang dan tawaran lebih menjanjikan dari segi prestasi.
Kupchak menyadari kesulitan yang dihadapi timnya. "Kini, setelah ia (Bryant) tak di sini, bisa positif atau negatif," katanya. Karena itu, ia tak berani gegabah saat ditanya peluang untuk masuk playoff pada musim depan. "Kami harus melangkah dengan hati-hati." Ia berharap Lakers bisa segera bangkit, juga menemukan sosok baru yang bisa menjadi ikon klub untuk menggantikan Bryant.
Nurdin Saleh (ESPN, NBA, CBS Sports, Los Angeles Times)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo