Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Pondok Tsunami di Bukit Tamairang

Gempa megathrust yang berpotensi menimbulkan tsunami besar mengintai warga Mentawai dan Padang. Kesiapan warga Kota Padang masih sangat minim.

25 April 2016 | 00.00 WIB

Pondok Tsunami di Bukit Tamairang
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

GEMPA berkekuatan 7,8 skala Richter menggoyang Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, bulan lalu. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika melaporkan sempat terjadi tsunami kecil pada pukul 21.15 waktu setempat. Tingginya 10 sentimeter. Menyusul kemudian di Kota Padang setinggi 5 sentimeter. Tak ada korban jiwa. Tapi reaksi berbeda ditunjukkan warga di kedua tempat tersebut.

Di Padang, saat peringatan gempa berpotensi tsunami disiarkan, alih-alih pergi ke tempat perlindungan, warga malah membuat kesemrawutan. Mereka seperti kebingungan. Ada yang pergi naik sepeda motor, ada pula yang mengendarai mobil. Arahnya tak jelas. Akibatnya, bisa ditebak, kemacetan lalu lintas terjadi hampir di semua jalan, termasuk di jalur utama.

Pemandangan berbeda terlihat di Kepulauan Mentawai. Ketika terjadi gempa, warga sudah paham apa yang harus dilakukan dan harus berlari ke mana. Adalah Bukit Tamairang di Kecamatan Siberut Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai, yang menjadi tujuan utama mereka. Bukit seluas sekitar 15 hektare itu diyakini aman dari terjangan tsunami. Ke sanalah mereka berlindung.

Kekacauan yang terjadi di Kota Padang mendapat sorotan dari berbagai pihak. Tommy Susanto, Direktur Eksekutif Komunitas Siaga Tsunami (Kogami), menuding kekacauan itu karena kesalahan pemerintah setempat. Tak ada plang yang menunjuk lokasi gedung tempat pengungsian. Padahal gedung-gedung itu sudah dibangun. "Ya, akibatnya warga jadi kebingungan," ucap Tommy di Padang, dua pekan lalu.

Tudingan miring juga dilontarkan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia Sumatera Barat Ade Edward. Menurut dia, Pemerintah Kota Padang tak mengakomodasi pengurangan risiko bencana. "Tata ruangnya tak memikirkan proses mitigasi saat gempa dan tsunami datang," kata Ade. Selain tempat evakuasi yang tak jelas, jalur evakuasi tidak ada.

Semua tudingan itu dibantah Wali Kota Padang Mahyeldi Ansyarullah. Ia menepis anggapan bahwa kekacauan dan kesemrawutan itu lantaran minimnya sosialisasi dan simulasi evakuasi bencana. Mahyeldi mengklaim pemerintah telah membangun 72 tempat pengungsian. Hanya, ia mengakui jumlah itu masih kurang. "Kita butuh 300 tempat pengungsian," ujarnya.

Toh, meski tempat pengungsian sudah disiapkan, masih banyak warga Kota Padang yang kebingungan, seperti saat terjadi gempa pada 2 Maret lalu. Akibat minim petunjuk penyelamatan, Kogami-lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang edukasi masyarakat dalam mengurangi risiko gempa dan tsunami di Sumatera Barat-mengambil inisiatif. Salah satunya dengan melatih beberapa sekolah di daerah rawan tsunami di Padang untuk membuat standar operasional saat air bah datang. "Anak-anak paling rentan terkena dampak bencana tsunami," kata Tommy. Pelatihan ini masih terus berlangsung.

Lain Padang lain Mentawai. Kesiapan menghadapi gempa dan tsunami jauh hari dilakukan pemerintah Kepulauan Mentawai. Pemerintah setempat sudah merelokasi 2.072 keluarga ke permukiman yang jauh dari pantai. Tahun lalu, rencana tata ruang wilayah Mentawai malah direvisi untuk menyiapkan lahan relokasi penduduk. "Sebanyak 42 persen hutan produksi kami ubah sebagai tempat permukiman," ujar Wakil Bupati Kepulauan Mentawai Rijel Samaloisa.

Kantor pemerintah, sekolah, dan gedung fasilitas kesehatan juga dibangun di dekat Bukit Tamairang. Pembangunan Jalan Trans Mentawai pun jauh dari pantai. Bukan hanya itu, dalam musyawarah bersama warga disepakati untuk membangun uma-rumah adat Mentawai berukuran besar-di perbukitan untuk tempat pengungsian. "Anggarannya nanti diambil dari dana desa," ucap Rijel.

Bukan hanya pemerintah, warga setempat pun dengan kesadaran penuh membangun tempat pengungsian di daerah yang aman dari jangkauan tsunami. Herianto Samanjolang, misalnya, membangun pondok kayu yang berdiri kokoh di Bukit Tamairang. Taratak itu ia bangun setelah gempa berpotensi tsunami mengguncang Pulau Siberut pada 2005.

Saat gempa, Herianto dan keluarga langsung mengungsi ke Bukit Tamairang. Jaraknya 3,5 kilometer dari tempat ia tinggal di Desa Sikabaluan, yang berbatasan dengan pantai. "Terlalu berisiko kalau tetap tinggal di rumah setelah gempa," kata Herianto, 30 tahun, saat ditemui di pondoknya, tiga pekan lalu.

Setelah gempa 2005 itu, Herianto membeli lahan seluas seperempat hektare di Bukit Tamairang dari orang suku Sagurung--masyarakat etnis setempat. Dia kemudian membangun pondok dan ladang serta menggali sumur tempat sumber air bersih. Kini bangunan beratap daun pohon sagu itu berdiri di antara ladang tanaman palawija dan buah. Terdapat dua kamar tidur dan dapur di bagian belakang pondok.

Saat ditemui di pondok berukuran 25 meter persegi itu, Herianto sedang bersama ayahnya, Tuduket Samanjolang, 70 tahun. "Saya ungsikan Ayah ke sini sejak gempa bulan lalu," tutur Herianto, yang sehari-hari bekerja sebagai satuan petugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah Mentawai. "Pondok saya mampu menampung empat keluarga."

Kesiapan dalam menghadapi bencana tsunami juga dilakukan Cristina Suharti Tapokapkop. Warga Desa Sikabaluan yang bekerja sebagai pegawai Puskesmas Muara Sikabaluan ini juga membangun pondok di sana. Ukurannya 15 meter persegi. Seperti Herianto, ia mendirikan pondok itu secara swadana.

Di sekitar pondok, Cristina menanam pohon pisang, keladi, dan cengkeh. Sebulan sekali, dia dan suaminya membersihkan pondok tempat mengungsi itu dan mengganti bahan persediaan makanan, seperti kopi dan gula. Karena pondok lama tak ditempati, banyak persediaan makanan yang kedaluwarsa. "Makanan ini disiapkan supaya saat tsunami datang kami cukup bawa badan dan beras beberapa liter saja," ujarnya.

Sejak tsunami menghantam Pulau Pagai pada Oktober 2010, jumlah pondok di Bukit Tamairang terus bertambah. Sekarang terdapat sekitar 600 pondok. Warga Desa Sikabaluan, Muara, dan Nang-nang di Siberut Utara sepertinya tak mau kecolongan seandainya terjadi tsunami besar. Bukan apa-apa, lokasi rumah mereka berbatasan langsung dengan laut. "Rumah-rumah itu akan langsung habis kalau diterjang tsunami," kata Kepala Desa Sikabaluan, Junaidi Sekerebau.

Ancaman tsunami besar selalu mengintai warga pesisir Kepulauan Mentawai dan Kota Padang. Apalagi, menurut Nugroho Dwi Hananto, peneliti geoteknologi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, ada energi besar yang belum terlepas di bawah perairan Mentawai. Energi besar itu kerap disebut sebagai gempa megathrust. "Inilah yang bisa menyebabkan tsunami besar seperti di Aceh," tuturnya.

Megathrust bukan isapan jempol. LIPI telah memetakan struktur bawah laut di Cekungan Wharton dan Mentawai Gap, lepas pantai barat Mentawai, pada Juli tahun lalu. Hasilnya, dua lokasi pemetaan itu merupakan zona subduksi (tumbukan) antara Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia.

Beberapa penelitian tentang zona ini menyebutkan belum pernah ada gempa megathrust dalam 200 tahun terakhir. Alih-alih melepaskan tenaga, kedua lempeng ini terus saling menekan dengan kecepatan rata-rata 5,7 sentimeter per tahun.

Laju lesakan dua lempeng benua ini semakin kuat lantaran dorongan sungai bawah laut yang berada di kedalaman 5.000-6.500 meter. "Akibatnya muncul cekungan di bawah permukaan yang menambah energi potensi gempa," ucap Nugroho. Setidaknya ada 48 ribu warga Mentawai dan 600 ribu warga Padang yang terancam gelombang tsunami besar itu.

Tak ada yang tahu kapan gempa megathrust akan terjadi, tapi diyakini bakal tiba waktunya. Terlepas dari itu, inisiatif warga Siberut Utara membangun "pondok tsunami" di Bukit Tamairang adalah contoh bagus. Yang penting adalah bagaimana melakukan evakuasi sesegera mungkin dan tahu harus pergi ke mana. "Waktu evakuasi sangat sempit sekali. Saya cuma ingin semua keluarga aman," ucap Herianto.

Amri Mahbub, Febrianti (Padang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus