PEREBUTAN Piala Football Association (FA), kejuaraan yang sudah berumur 118 tahun di Inggris, kembali menghadirkan kejutan besar. Si Anak Bawang Crystal Palace ternyata bisa mengayun langkah ke Stadion Wembley. Klub di London yang berada di peringkat ke-15 dari 20 klub divisi I Inggris itu mengempaskan juara Piala FA 1989 dan pemimpin klasemen divisi I, Liverpool, dengan 4-3 dalam masa perpanjangan waktu. Sekitar 38 ribu penonton di Villa Park, Birmingham, hampir-hampir tak percaya kalau "Pasukan Merah" Liverpool dibuat bertekuk lutut, Minggu siang itu. Cobalah bandingkan prestasi Liverpool dan Palace selama ini. Di Piala FA yang finalnya selalu dimainkan di Stadion Wembley -- karena itu pertandingan FA disebut Road to Wembley -- Liverpool sudah empat kali juara. Prestasi lain: 17 kali juara Liga Inggris, empat kali juara Littlewoods Cup (sejenis Piala Liga di sini), empat kali juara Champions Cup, dan masing-masing sekali juara Piala Winners, UEFA, dan Super. Crystal Palace? Ia baru mampu satu kali juara divisi III. Di Piala FA, Palace masuk semifinal hanya sekali di tahun 1976 -- dan tentu saja kali ini. Sebagai sesama klub Divisi I, Palace sudah ketemu Liverpool sebelum ini. Yakni di Anfield, akhir 1989 lalu. Hasilnya, Liverpool "memberi pelajaran" pada Palace dengan 9-0. Manajer Palace, Steve Coppell, akhirnya mengganti penjaga gawang Palace yang saat itu dipegang Percy Suckling. Untuk itu, Coppell mengeluarkan 1 juta poundsterling atau sekitar Rp 3 milyar untuk mentransfer Nigel Martyn dari klub divisi III Bristol Rovers. Ini adalah bayaran tertinggi yang diterima seorang kiper Inggris. Toh Nigel Martyn tak langsung menjadi juru selamat buat Palace. Klub ini tetap saja berada di papan bawah divisi I. Seminggu sebelum bertarung di Villa Park itu, misalnya, Palace dihajar Norwich dengan dua gol tanpa balas. Sementara itu, Liverpool pekan lalu menghantam Southampton, klub papan tengah divisi I, dengan 3-2. Ini semua kompetisi di divisi I. Dalam "Perjalanan Menuju Wembley" tahun ini, Liverpool jauh lebih mengesankan. Di babak pertama saja, Liverpool sudah ketemu klub papan tengah divisi I, Queen's Park Rangers (QPR), dan harus bermain dua kali sebelum menang. Lalu ketemu Southampton, dan dipukulnya 3-0. Kemudian Liverpool mengalahkan Norwich di pertandingan kedua dengan tiga gol, setelah sebelumnya ditahan draw tanpa gol. Dalam tradisi perebutan Piala FA, pertandingan yang berakhir seri setelah perpanjangan waktu harus diulang, kalau perlu beberapa kali, sampai ada pemenang. Tak ada adu penalti. Jadi, tak heran apabila Liverpool sampai bermain dua kali melawan Norwich dan juga QPR. Crystal Palace menemui lawan yang lebih ringan. Mula-mula, Cambridge dan Rochadle (keduanya klub papan tengah divisi IV), lalu Huddersfield (papan atas divisi III) dan di perempat final ketemu Portsmouth (papan bawah divisi II). Di sini Nigel Martyn sudah mengawal gawang dan tak sekali pun kebobolan. Ada yang bilang, itu bukan semata karena Martyn bagus, tapi lawan Palace memang jauh lebih enteng dibandingkan lawan-lawan Liverpool. Sistem pertandingan di FA memang unik. Semua klub -- divisi I ada 20 klub, sedang divisi II, III, dan IV masing-masing 24 klub -- bisa saling ketemu. Jadwal pertandingan disusun dengan undian sehingga klub divisi I, misalnya, bisa bertanding melawan klub divisi IV. Juara Piala FA tak selalu klub divisi I. Pada 1978, klub Ipswich Town dari divisi II keluar sebagai juara setelah memukul klub papan atas divisi I Arsenal dengan 1-0. Akankah Crystal Palace kini mendapat mukjizat di Stadion Wembley? Siapa tahu, mengingat klub ini akan tampil di kotanya sendiri, penonton tentu berpihak kepadanya. Apalagi kalau dilihat pertandingan di Villa Park, yang disiarkan langsung TVRI, itu terasa enak ditonton. Pertandingan ini sekaligus pukulan dahsyat buat manajer Liverpool, Kenny Dalglish. "Kami seperti menggantung diri sendiri. Dari segi permainan kami jauh lebih baik, tapi mereka lebih bagus mengorganisasikan setiap lini dan itulah yang menjadikan mereka menang," ujar Dalglish. Ia menunjuk keluarnya Ian Rush karena cedera di babak pertama dan absennya Gary Gillespie membuat kekuatan timnya melorot. Tapi Dalglish harus mencatat bahwa penjaga gawang Bruce Grobbelaar bermain ceroboh. Paling tidak dua gol Palace tercipta karena penjaga gawang asal Zimbabwe itu tak lengket menangkap bola. Grobbelaar tampak bingung menghadapi serangan Andy Gray, Mark Bright, Alan Pardew yang datang bak gelombang pasang. Liverpool pun pada awalnya kelihatan menyepelekan Palace. Apalagi kolumnis ternama Inggris Alex Ferguson, yang juga manajer Manchester United, sudah memastikan Palace tersingkir dan Liverpool menapak Wembley. Ternyata, Ferguson salah. Semua pengamat salah. Palace membuat sejarah baru, masuk final FA. Sebuah sejarah yang paling membanggakan sejak klub itu dibentuk pada 1861 di Selhurst Park, London. Bayangkanlah, klub yang dijuluki "Si Elang" ini baru setahun di divisi I. Masuk divisi I ini pun berkat manajer Steve Coppell yang dengan berani membeli Martyn dan juga gelandang menyerang Andy Gray. Striker Alan Pardew, yang mencetak gol keempat yang menentukan kemenangan Palace dari Liverpool, direkrut Coppell dari Yeovil, sebuah klub lemah yang belum masuk divisi. Kejelian Coppell inilah kuncinya. Di Wembley, 12 Mei nanti, Crystal Palace akan ditantang pemenang semifinal antara Oldham (dari divisi II) dan Manchester United (divisi I). Semifinal ini adalah pertandingan ulang karena sebelumnya berakhir seri 2-2. Toriq Hadad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini