SATU setengah tahun Prof. Dr. Soerjono Soekanto, S.H. menghilang dari sirkuit ceramah dan seminar. Kemudian, pekan lalu, harian Kompas menyiarkan latar belakangnya. Rupanya, akibat stres, ahli sosiologi hukum terkemuka itu terkena gangguan neurologis. Soekanto memang penceramah dan dosen supersibuk. Ia sekaligus memberikan kuliah dan cermah di berbagai kota. Beban fisik dan padatnya permasalahan dalam pikiran membuat kondisinya selalu diserempet arus "tegangan tinggi". Bahkan, ketika rumahnya terancam kebakaran, Soekanto roboh. Ia terkena ishemik atau defisit oksigen di otaknya. Sebagian besar ingatannya hilang. Syukur, kemampuan berpikir Soekanto bisa kembali lagi. Berkat ketekunan dan kesabaran istrinya, Nani Wardani, seluruh memori Soekanto pulih. Salah satu kemampuan yang terganggu berat pada Soekanto adalah penguasaan bahasa. Melihat kondisi ini, dr. Dede Gunawan, Kepala Bagian Neurologi RS Hasan Sadikin Bandung, menduga defisit oksigen itu terjadi pada otak sebelah kiri, tempat pusat bicara dan pusat bahasa. Dan itu terjadi karena penyumbatan, bisa juga karena pendarahan. Yang terganggu bukan pusat motorik untuk bicara, tapi pusat memori bahasanya. Gangguan pada pusat memori biasanya memang bisa diatasi. Sirkuit ini pulih kembali, karena pada umumnya pusat memori tak hanya satu. Setelah beberapa saat, pusat memori yang terblokir otomatis mencari jalan lain. "Bila diikuti latihannya, dalam waktu 3 sampai 6 bulan bisa normal kembali," kata Dede. Bagaimana dengan peran stres? Secara langsung memang sulit ditentukan. "Tapi beban mental dan fisik yang berlebihan ada pengaruhnya, karena kerja badan mengikuti suatu keseimbangan yang kait-mengait," kata ahli saraf itu. Sedangkan stres yang bisa berakibat fatal sulit diukur. Kalau toh akan dianalisa, secara teoretis menunjukkan: mungkin di otak Soekanto sebelumnya ada keletihan pada bagian tertentu. Misalnya, bagian otak yang mengatur fungsi luhur, yang fungsinya antara lain mengendalikan kemampuan bahasa. Karena seringnya Soekanto berceramah dan berbicara dalam seminar, selain tugas regulernya di Universitas Indonesia, sangat mungkin timbul keletihan tersebut. Dekat di bagian otak yang mengatur fungsi luhur ini terdapat susunan limbik. Inilah pusat emosi, marah, kesal, dan tegang, yang bukan mustahil menjadi picu keguncangannya. Stres berat awalnya dialami Soekanto ketika kebakaran terjadi, yang mengganggu susunan sarafnya. Waktu itulah Soekanto mengalami kepanikan. "Karena susunan limbik itu terganggu," kata Dede. Kemudian, gangguan merambat ke pusat fungsi luhur di dekatnya, yang memang sudah mengalami keletihan. Gangguan lalu meluas lagi ke pusat integrasi data yang dikenal dengan nama Gyrus Angkulais. Pusat integrasi, yang juga di kiri otak, bertugas mengatur dan menyusun semua data di otak. Setelah diatur, data yang keluar dan yang masuk itu disimpan di berbagai pusat memori. "Kalau seseorang gegar otak, biasanya dalam beberapa waktu ia kehilangan memorinya," kata Dede. Hal ini terjadi karena ada benturan pada pusat memori, sehingga terjadilah kekacauan. Tapi dalam beberapa waktu akan sembuh lagi, karena yang rusak fungsi pusat memori, bukan strukturnya. Gangguan yang dialami Soekanto kurang lebih sama. Lalu bagaimana terapi untuk pasien seperti dia? Menurut Dede, tidak ada terapinya. Sedangkan yang dinamakan terapi itu bukan penyembuhan pada jaringan yang rusak itu, tetapi menjaga bagian sekelilingnya agar sedapat mungkin tak ikut mati. Jaringan otak, seperti juga otot, tidak bisa mengalami regenerasi. Di otak terdapat susunan saraf yang mempunyai bentuk seperti kisi-kisi. Kalau ada terjadi gangguan pada jaringan saraf ini, fungsi salah satu kisi yang mengalami kerusakan senantiasa bisa diambil alih oleh kisi lain. Berbeda, misalnya, dengan jaringan otak yang mempunyai satu alur, seperti pada pusat suatu gerak. Begitu pusatnya terserang, maka akibatnya fatal: lumpuh, atau mati separo, dan bahkan orangnya meninggal. Kerusakan saraf ini sulit dipulihkan. Sedangkan peran keluarga, untuk menyembuhkan penderita seperti kasus Prof. Soekanto, turut menentukan. Karena tidak ada terapi khusus, maka kalau pasier ditinggalkan begitu saja ibarat barang rongsokan, ia bisa berubah putus asa. Kemauan dan gairah hidup tak ada. "Otomatis dia akan tambah parah," kata Dede. Kejadian yang dialami Prof. Soerjono Soekanto juga menimpa Drs. Bayu Surjaningrat. Dosen senior di beberapa perguruan tinggi swasta ini tahun lalu mengalami penyakit "lupa nama istri, anak-anak, bahkan namanya sendiri". Bayu, 66 tahun, tak tahu bagaimana gejalanya. Mulanya biasa-biasa saja. Hanya, sewaktu ngobrol dengan asistennya, bicaranya ngawur. Memeriksa hasil ujian juga kacau. Lalu Bayu pulang. Ketika sudah di rumah ia menerima telepon, tapi pembicaraannya tak nyambung. "Sampai teman saya yang menelepon itu bertanya kenapa saya ini, bicaranya ngelantur," katanya. Lalu kakek 10 cucu itu ke dokter, apalagi dia sudah lama menderita penyakit jantung. Setelah diperiksa, tak ada kelainan. Cuma, anehnya, kondisi memorinya semakin parah. Sampai sekitar tiga hari ia lupa nama benda dan orang. Namun, setelah seminggu, ia sudah mulai mengingatnya kembali satu per satu. Terapinya? Dokter ahli saraf hanya menganjurkan agar dia lebih sering belajar, mengetik, dan banyak bicara. "Alhamdulillah, setelah setahun, sekarang sudah 90% dapat mengingat kembali," ujar Bayu, yang memang suka bicara. Selama proses merekonstruksi memori yang hilang tadi, cerita Bayu, yang paling susah diingat-ingat adalah bahasa Belanda, Inggris, dan Sunda. Kalau sedang mengingat bahasa Belanda, ia lupa bahasa Inggris yang dikuasainya. Support dari keluarga? Mereka ikut membantu. "Latihan, kalau tidak dengan keluarga, ya, dengan siapa? Karena sering bertemu dengan mereka, tentu yang pertama kali saya ingat adalah anak, istri, dan cucu," kata Bayu. Berkat latihan tadi, kini ia menghasilkan tiga buku, di samping menyiapkan diktat-diktat untuk mengajar. Ida Farida
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini