Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Kalap versus kalap

PN Simalungun mengadili 3 kakak beradik: Rusdi, Sukarjo dan Rasman karena membunuh iparnya, Ngatimin. Karena si ipar, yang jagoan, menggergaji saudara dan ibu kandung mereka. Ini soal harga diri.

14 April 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERAPA harga diri seseorang? Tiga kakak-adik Rasman, 22 tahun, Sukarjo, 24 tahun, dan Rusdi, 2 tahun, menghargainya senilai nyawa ipar mereka, Ngatimin. Mereka mengeroyok dan membunuh Ngatimin karena korban menyiksa Salmini dan Musinem, yang tak lain dari saudara dan ibu kandung mereka sendiri. Gara-gara itu, pekan-pekan ini ketiga bersaudara itu diseret ke Pengadilan Negeri Simalungun, Sumatera Utara. Di persidangan, ketiga bersaudara itu membenarkan tuduhan jaksa. Menurut Rusdi, mereka terpaksa mengeroyok Ngatimin, yang bertubuh tegap itu, karena iparnya dikenal sebagai bos preman dan ditakuti. Di Desa Bahalat Bayu, Tanah Jawa, Simalungun, korban memang dikenal suka menyisipkan pisau di pinggangnya. Kekasaran Ngatimin, 30 tahun, ternyata tak hanya di luar rumah. Salmini, 25 tahun, yang dinikahinya sejak 1978, kabarnya, setiap hari digampar dan ditendang suaminya itu. Padahal, biaya keluarganya beserta tiga anak ditanggung Salmini, yang bekerja sebagai buruh perkebunan. Pada 26 Agustus 1988, Ngatimin, konon, menyuruh istrinya menyetrumkan aki untuk menghidupkan pesawat televisi hitam putih mereka. Kabarnya, Salmini menolak. Sebab, selain sedang menyusui anaknya yang paling kecil, dia juga tak punya uang. Merasa tak dilayani, Ngatimin kumat lagi. Dia merepet, lalu menggebuk istrinya. Tapi Salmini tetap menolak perintah suaminya itu. "Kubunuh kau," Ngatimin mengancam. Toh Salmini tak bergeming. Maka Ngatimin meraih gergaji kayu. Ya, ampun tak disangka ia menggergaji Salmini. Tentu saja Salmini berteriak-teriak minta tolong. Musinem, 47 tahun, yang bersebelahan rumah dengan menantunya itu, segera datang. Dia terkejut melihat Salmini digergaji. "Sudah lima sentimeter dada Salmini koyak digergaji menantu saya itu," kata Musinem kepada TEMPO. Musinem mencoba menyabarkan Ngatimin, "Nanti dia mati. Ingat anakmu," kata Musinem. Tapi mantunya itu bagai kerasukan setan. "Alaah, jangan turut campur. Ini urusanku," kata Ngatimin. Laki-laki kalap itu menyambar lampu teplok, lalu melemparkannya ke bahu Musinem. Yang kena lempar lari, sambil berteriak-teriak "Menantu apa kau." Ngatimin semakin kalap dan membunuh Musinem. Dia menjambak rambut mertuanya. Lalu, dengan gergaji tadi, dia menggergaji leher Musinem. Darah menyembur. Wanita itu pingsan di halaman rumah. Rasman, anak Musinem, datang membela. Tapi dia bukan imbangan Ngatimin, yang kabarnya punya ilmu kebal itu. Ngatimin "membal-bal" Rasman hingga semaput. Sejenak memandang ketiga korbannya, Ngatimin masuk ke rumahnya. Sementara itu, Musinem dan kedua anaknya, setelah sadar setengah jam kemudian, menangis berpelukan. Setelah itu, Rasman memanggil abangnya, Sukarjo dan Rusdi, yang tinggal 10 km dari tempat kejadian itu. Dua jam kemudian, Sukarjo dan Rusdi ditemani Rasman masuk ke rumah Ngatimin. Rusdi menyapanya, dan bertanya kenapa Ngatimin tega seperti itu. "Itu bukan urusan kalian," kata Ngatimin. Tapi Rusdi tetap mendesak Ngatimin supaya memberi alasan masuk akal. Ngatimin malah membalasnya dengan menendang barang-barang di ruang tamu rumahnya. Kemudian dia keluar rumah lalu memukul Rusdi dan Sukarjo. Perkelahian tak terelakkan. Rasman menyaksikan kedua abangnya tersuruk-suruk dihajar Ngatimin. Ketika itulah, Rasman teringat cuka getah yang, katanya, anti-ilmu kebal. Dia mengambil cuka getah yang sehari-hari dipakai Salmini bekerja, dan segera menumpahkannya ke tengkuk dan wajah Ngatimin. Nampaknya mujarab. Ngatimin berputar-putar. Kulit wajahnya hangus, dan matanya buta. Maka, dengan sebilah celurit, Rasman membacok bagian tubuh Ngatimin yang tersiram cuka tadi. Ngatimin tersungkur dan mati di situ juga. Setelah itu, Rasman dan kedua abangnya lari merantau ke Pulau Jawa. Toh akhir Desember lalu mereka pulang. Polisi setempat, yang masih memburu mereka, segera menangkap ketiga orang itu. "Kami pasrah, ini soal harga diri," kata Rusdi. Monaris Simangunsong & Bey Hutasuhut (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus