Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga jam 39 menit yang menguras tenaga. Pertarungan empat set itu mengakhiri catatan fantastis Novak Djokovic, rekor terbaik tunggal putra tenis seperempat abad terakhir: menang dalam 43 laga resmi berturut-turut. Di lapangan tanah liat Roland Garros, Jumat dua pekan lalu, pria Serbia itu kalah oleh Roger Federer pada semifinal Prancis Terbuka.
Rakyat Serbia tetap bangga akan dia. Presiden Boris Tadic dan Perdana Menteri Mirko Cvetkovic langsung mengirim pesan pendek pribadi berisi dukungan moral. "Sementara negara lain punya tambang emas atau gas alam dan pantai indah, kami memiliki Novak Djokovic," ujar Menteri Luar Negeri Vuk Jeremic.
Pecahan Yugoslavia ini baru merdeka pada 2006 dengan nama Republik Federal Sosialis Serbia. Orang lebih ingat negeri di Semenanjung Balkan ini sebagai tempat para pembantai warga etnis Bosnia-salah satunya yang baru tertangkap, Ratko Mladic. Catatan tentang Serbia lebih berwarna gelap ketimbang cemerlang akibat perang saudara pada 1990-an.
Untung, Serbia memiliki Djokovic. Awal 2008, dia mengangkat trofi tunggal putra Australia Terbuka. Ini gelar juara grand slam pertama dalam sejarah yang diraih seorang Serbia. Nole-panggilannya-mengundang seorang penyanyi lagu-lagu rakyat negerinya ke ruang ganti Melbourne Park untuk berdendang.
Desember 2010, petenis bertinggi badan 188 sentimeter itu memimpin rekan-rekannya mengalahkan Prancis 3-2 pada final Piala Davis di Beograd. Lagi-lagi, ini gelar "Piala Dunia" pertama bagi negara yang berluas tiga perempat Pulau Jawa itu.
Tahun ini lebih fantastis bagi Nole. Bermula dari gelar Australia Terbuka, gelar juara grand slam kedua baginya, Djokovic lantas menjuarai enam turnamen berkelas Masters berturut-turut. Lazimnya, anak sulung dari tiga bersaudara ini tak pernah mengoleksi trofi lebih dari lima dalam semusim.
Bukan cuma itu, Rafael Nadal dan Roger Federer, dua petenis tunggal putra terhebat dalam satu dasawarsa terakhir, dia hajar habis-habisan. Nadal, si raja tanah liat dan petenis peringkat pertama dunia, ditekuk Djokovic empat kali. Dua kemenangan terakhir ia peroleh pada final Madrid dan Roma Masters di lapangan tanah liat.
Federer, pengoleksi gelar juara grand slam terbanyak sepanjang sejarah-16 trofi-dia kalahkan tiga kali. Baru pada pertemuan keempat Djokovic takluk, ya di semifinal Prancis Terbuka itu. Namun Federer juga harus puas cuma sebagai runner-up setelah dikalahkan Nadal pada partai puncak.
Kekalahan oleh Federer membuat Djokovic gagal mengejar rekor Guillermo Vilas, yang meraih kemenangan secara beruntun 46 kali pada 1977. Catatan Djokovic berjarak tiga partai dari Vilas. Si Joker-julukan Djokovic-juga gagal menyamai rekor John McEnroe, yang membukukan 42 kali kemenangan beruntun per awal musim, Djokovic 41 kali.
Namun lelaki kelahiran Beograd itu tetaplah pahlawan bagi Serbia. April lalu, Gereja Ortodoks Serbia menganugerahinya gelar order of St. Sava yang sangat terhormat. Hampir bersamaan, pemerintah memberinya paspor diplomatik bersama anggota tim Piala Davis yang lain.
Sebuah kebetulan yang menyenangkan bagi pemerintah Serbia. Kegemilangan kemenangan beruntun Nole datang bersamaan dengan upaya keras mereka menjadi anggota Uni Eropa. Pemerintah bekerja di lapangan politik, Djokovic menaikkan citra negara di lapangan tenis.
Akhir bulan lalu, pemerintah berhasil menangkap penjahat perang Ratko Mladic dan mengirimnya ke Pengadilan Kriminal Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa di Den Haag, Belanda. Mladic adalah mantan komandan militer Serbia yang dianggap bertanggung jawab atas genosida rakyat Bosnia. Tangan Mladic berlumuran darah tak kurang dari 8.000 orang Bosnia pada perang saudara 1992-1995.
Uni Eropa menyambut baik penangkapan itu dan berjanji akan menjadikannya sebagai pertimbangan menerima Serbia sebagai anggota Uni Eropa. Pada hari penangkapan Mladic, Wakil Jaksa Agung Bruno Vekaric mengatakan, "Kami tak ingin dunia mengingat kami sebagai negara asal penjahat perang, melainkan sebagai negara asal Novak Djokovic."
Andaikata Djokovic menuruti nasihat ibunya pada masa lalu, harapan Vekaric mungkin tak terkabul. Peristiwa ini terjadi pada awal 2006, sesaat setelah Djokovic berhasil menembus peringkat 100 besar dunia sebagai petenis termuda.
Sang ibu, Dijana, gundah karena kehabisan uang membiayai karier tenis ketiga anaknya-Nole serta dua adiknya, Marko dan Djordje. Dijana mengusulkan kepada suaminya, Srdjan, untuk mendekati Asosiasi Tenis Inggris yang kaya. Bila dikabulkan, mereka sekeluarga berpindah kewarganegaraan.
"Ide itu saya hentikan," ujar si sulung Nole. "Saya tak akan berganti negara karena kami semua bangga dengan asal-usul kami." Beruntung, Djokovic bertemu dengan Marian Vajda, pelatih asal Slovakia, yang lantas menggemblengnya menjadi lebih baik. Uang bukan soal lagi setelah gelar juara kian banyak menghampiri.
Djokovic lahir pada 1987 dari keluarga pengusaha restoran di kaki pegunungan Beograd. Pasangan Srdjan-Dijana juga menjadi instruktur ski es. Pada masa mudanya, Srdjan adalah pemain sepak bola amatir. Wajar bila sang ayah berharap anak-anaknya memilih ski atau sepak bola sebagai olahraga mereka.
Semua berubah setelah sebuah akademi tenis dibangun di seberang jalan restoran keluarga mereka. Bocah Djokovic yang baru berusia empat tahun lebih tertarik pada bola-bola kecil tenis daripada bola besar sepak bola. "Dia bakat terbaik yang pernah saya lihat setelah Monica Seles (legenda putri kelahiran Yugoslavia)," kata Jelena Gencic, pelatih di akademi itu. Gencic bak ibu kedua bagi Djokovic: mengajarinya tenis, bernyanyi, juga membaca puisi.
Musim semi 1999 menjadi mimpi buruk bagi keluarga mereka. Selama 11 pekan tentara NATO membombardir Serbia untuk menghentikan ekspansi negara itu ke negara-negara tetangganya, terutama Kosovo. "Bila sekarang mendengar suara keras, saya masih trauma," ujar Djokovic mengenang, yang saat itu berusia 12 tahun
Namun ada berkah lain. Karena takut mortir menjatuhi rumah mereka, Srdjan dan Dijana mengajak ketiga anaknya bermain di lapangan tenis. "Mereka memukul-mukul bola dari pukul 10 pagi sampai empat sore," kata Dijana.
Selepas berlatih di kamp milik mantan kapten tenis Jerman, Nicola Pilic, dua tahun kemudian Djokovic menjadi petenis yang sangat disegani di kelompok junior. Sayangnya, sejak masuk kategori senior, Nole sekadar menjadi bayang-bayang Federer-Nadal. Dia lebih dikenal sebagai petenis konyol, yang suka menirukan gesture rekan-rekan seprofesinya: menyibakkan rambut ala Maria Sharapova, memantul-mantulkan bola ala McEnroe, atau berlogat seperti Nadal saat wawancara. Dari situ julukan Si Joker bermula.
Kehadiran Igor Cetojevic sejak pertengahan tahun lalu mengubah peruntungannya. Cetojevic seorang pakar kesehatan holistik kelahiran Bosnia yang lebih banyak menghabiskan hidupnya di Siprus dan Amerika Serikat. Dia pernah belajar terapi tradisional di India dan nutrisi di Cina. "Igor tak mengerti tenis. Dia bahkan tak tahu cara memegang raket," kata Djokovic mengenai konsultan kesehatannya yang baru ini.
Cetojevic menemukan bukti, Nole alergi terhadap gluten, zat perekat yang terdapat pada banyak jenis gandum. Solusinya, Djokovic harus menjauhi banyak makanan favoritnya: pizza, pasta, dan berbagai jenis roti. "Sungguh berat karena saya tumbuh bersama makanan-makanan itu di restoran kami." Hasilnya, Si Pelawak lebih langsing, sehingga gerakannya menjadi lebih cepat. Dan tak lagi gampang cemas-gejala yang kerap ditemukan pada penderita alergi gluten.
Pesta ulang tahun ke-24 Djokovic diselenggarakan di Kedutaan Besar Swedia di Prancis di sela Prancis Terbuka. Menteri Jeremic menjadi tuan rumahnya. Semua hidangan tanpa gluten, termasuk kue tar berbentuk raket. Meski tak jadi juara, Djokovic tetap merupakan kebanggaan Serbia.
Andy Marhaendra (NYTimes, AFP, Guardian)
Novak Djokovic
- Lahir: Beograd, 22 Mei 1987
- Peringkat ATP (tunggal): 2 (9 Mei 2011)
- Juara Australia Terbuka 2008, 2011
- Semifinalis Prancis Terbuka 2007, 2008, 2011
- Semifinalis Wimbledon 2007, 2010
- Finalis Amerika Terbuka 2007, 2010
- Medali perunggu Olimpiade 2008
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo