Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebilah keris dengan dhapur (bentuk bilah) Nagasasra Kinatah Emas ditimang-timang Haryono Haryoguritno, kolektor keris. Keris bertatahkan emas dengan luk (lekuk) 9 bergaya Yogyakarta di zaman Sultan Agung itu berusia sekitar 350 tahun. Selang beberapa saat kemudian, Haryono menimang satu keris lagi: keris dhapur Pasopati—keris lurus dengan gaya Surakarta di zaman Pakubuwono IX.
Kedua keris koleksi Haryono, 80 tahun, itu sama-sama tampak istimewa dan ada geregetnya. Yang membedakan adalah pamor (pola dekorasi) yang menghiasi wilah (bilah) keris-keris itu. Pada keris Nagasasra, pamor beras wutah terlihat tak begitu istimewa dibanding pamor ron kendhuru yang menghiasi bilah keris Pasopati. ”Pamor ron kendhuru ini komplet enggak hanya di wilah-nya, tapi di seluruh kerisnya,” kata Haryono kepada Tempo di rumahnya di Jakarta Timur pertengahan Mei lalu.
Pamor merupakan obyek visual yang paling utama pada bilah keris. Dari bahan hingga pola gambarnya kerap menjadi acuan penilaian mutu keris secara keseluruhan. Pamor juga memiliki filosofi: dipercaya bisa memberikan pengaruh dalam kehidupan pemilik keris yang diwariskan sang empu. Misalnya, pamor beras wutah diyakini ngrejekeni atau bisa mendatangkan rezeki berlimpah bagi pemiliknya, atau pamor ron kendhuru memiliki filosofi dapat membantu pemilik dalam usaha atau persahabatan.
Menurut Haryono, ada 114 pamor yang menghiasi keris di Tanah Air, antara lain ron kendhuru, beras wutah, blarak ngirit, lawe setukel, dan udan mas. Tapi dia sendiri melihat ada dua pamor yang paling elok. ”Pamor ron kendhuru dan blarak ngirit menurut saya paling indah,” kata mantan ajudan Presiden Sukarno itu.
Tentu ini subyektif. Sebab, bagi para kolektor keris—seperti barang seni lain—berlaku adagium Latin: de gustibus non est disputandum (masalah selera tidak dapat diperdebatkan). Mantan Sekretaris Jenderal Sekretariat Nasional Perkerisan Indonesia KPA Wiwoho Basuki Tjokrohadiningrat mengakui motivasi orang memiliki keris itu berbeda-beda. Keris pamor udan mas, misalnya, sering menjadi incaran kolektor dari kalangan pelaku bisnis karena dianggap membawa rezeki. Adapun para pejabat cenderung suka dengan pamor bolo rojo karena dianggap bisa melanggengkan unsur kekuasaan.
Pedagang keris di Galeri Wesi Aji di Rawabening, Jakarta Timur, Hengki Joyopurnomo, mengatakan sampai sekarang keris pamor blarak sineret, udan mas, ron kendhuru, dan klabang sayuto tak pernah berhenti dicari pejabat. ”Ini pamor sepanjang masa yang menjadi favorit. Banyak pejabat yang mencari keris dengan pamor-pamor itu,” ujarnya.
Bahkan Sungkowo Harum Brojo, empu pembuat keris di Yogyakarta, bercerita kepada Tempo bahwa seorang bupati di Jawa Tengah pernah datang menemuinya meminta dibuatkan sebilah keris dengan tiga pamor: beras wutah (kemakmuran) di pangkalnya, ron kendhuru (kewibawaan), dan junjung drajat (agar derajatnya terangkat) di ujungnya. ”Dibuat demikian agar sang bupati tak didemo oleh masyarakatnya,” katanya (lihat ”Dari Empu Brojo sampai Empu Supo”).
Menurut Hengki, para kolektor rela membeli keris incaran mereka dengan harga tinggi. ”Sampai hari ini kolektor, misalnya, masih memburu keris Singa Barong dan Nagasasra yang berkinatah emas. Keris itu dibanderol dari Rp 100 juta hingga Rp 500 juta.”
Itu sebabnya bisnis keris bagi orang-orang yang tahu cukup menggiurkan. Apalagi sejak UNESCO pada 25 November 2005 menetapkan keris sebagai warisan dunia. Bisnis ini terus mengalami peningkatan. Tak mengherankan, dalam dunia bisnis ini juga banyak pialang. Para pialang itu menawarkan keris Majapahit (abad ke-14 hingga ke-16), keris Mataram Baru (abad ke-17-18), serta keris buatan setelah Kemerdekaan.
Namun, menurut Hardi, perupa yang kini terjun ke dunia keris, bisnis keris banyak akal-akalannya. Sebuah keris yang sesungguhnya hanya berharga Rp 500 ribu, di tangan seorang pialang yang pandai bercerita macam-macam—mulai keris itu pernah dimiliki priayi tertentu sampai punya daya magis yang menguntungkan pemiliknya—bisa laku puluhan juta rupiah. ”Itu semu, karena tidak mengangkat keris sesungguhnya,” kata Hardi. Maka, menurut Hardi, sesungguhnya parameter baik-buruknya keris harus dikembalikan semata-mata pada estetika, yang melepaskan diri dari hal-hal berbau klenik.
Hardi prihatin, misalnya, sampai sekarang masih banyak pencinta keris mendengung-dengungkan bahwa keunggulan keris dibanding senjata lain terletak pada pamornya. Padahal, bila dicermati, dari zaman Majapahit sampai kini, pamornya ya itu-itu juga alias stagnan. Mayoritas keris baru yang dibuat setelah Kemerdekaan mengulang-ulang pamor keris-keris klasik.
”Dari dulu tidak ada perubahan. Maka harus ada orang yang berani mendobrak pakem, harus ada orang yang berani membikin pamor-pamor baru,” ujar Hardi. Menurut dia, yang disebut empu-empu besar dulu sesungguhnya empu yang bisa membuat pamor-pamor baru. Maka ia menyarankan banyak seniman atau desainer yang terlibat dalam seni pembuatan keris. ”Bayangkan kalau Affandi masih hidup, lalu ada empu membuat keris berdasarkan desainnya, tentu harga keris itu melejit. Balai Lelang Christie pun pasti tertarik.”
Hardi sendiri sekarang mengaku banyak membuat keris dengan cara mengorder ke empu-empu di Aeng Tong Tong, Madura. ”Namun dengan desain dan bahan dari saya,” katanya.
Bila diamati, perbedaan keris sepuh dan kamardikan terletak pada proses pembuatannya. Keris sepuh, yang dibuat sebelum abad ke-19, masih menggunakan bahan logam mentah yang diambil dari sumber alam, pertambangan, dan meteorit. Karena saat itu belum ada pabrik peleburan bijih besi, perak, dan nikel, logam yang dipakai masih mengandung banyak jenis campuran lainnya. Misalnya, bijih besinya mengandung titanium, cobalt, perak, timah putih, nikel, dan tembaga.
Keris kamardikan biasanya menggunakan bahan besi, baja, dan nikel dari hasil peleburan bijih besi atau besi bekas (onderdil kendaraan, besi jembatan, dan besi rel kereta api) yang rata-rata olahan pabrik. Jenis logam keris kamardikan dapat langsung diketahui karena para empu membeli bahan bakunya—seperti besi, nikel, dan kuningan—di toko besi. Mereka jarang menggunakan bahan dari bijih besi mentah (misalnya diambil dari pertambangan ) atau batu meteorit.
Proses pembuatan keris zaman dulu juga tak sembarangan. Sebelum membuat keris sepuh, para empu menjalani sejumlah proses ritual, seperti berpuasa dan menyiapkan sesaji. Membuat keris bagi para empu di era kuno merupakan wujud pengabdian dan cinta mereka terhadap raja. Kedahsyatan proses itulah yang jarang ditemukan pada proses pembuatan keris kamardikan.
Menurut Haryono, secara teknik pembuatan, keris kamardikan lebih maju dibanding keris sepuh. Begitu pula bahan yang digunakannya, karena dibikin di pabrik yang modern. Tapi keris kamardikan tak dibuat oleh empu sebagai bentuk pengabdian dan cinta kepada raja. ”Sehingga dari aspek apresiasi budaya mengalami kemunduran,” katanya.
Dengan merujuk pada kriteria yang dibuat oleh Gusti Hadiwijaya di zaman Mataram, Haryono memberikan 12 kriteria dalam menentukan mutu sebilah keris: wutuh (utuh; keutuhan bentuk dan kelengkapan bilah), wesi, garap (mutu garapan), sepuh (tua umurnya), pamor, waja, wangun, dhapur, tantingan (jika benar proses pembuatannya, akan enak dibawa), ting (bunyi dentingan keris), sang empu pembuatnya, dan tangguh (perkiraan masa pembuatan).
Namun, bagi Andri, kolektor muda, itu bukan berarti keris kamardikan memiliki nilai yang selalu lebih rendah dibanding keris sepuh. Toh, meteorit sekarang bisa diimpor (lihat ”Memburu Meteorit di Internet”). Menurut marketing manager sebuah perusahaan swasta di kawasan Bekasi itu, keris kamardikan yang digarap oleh empu bagus, wesi-nya bagus, dan menggunakan batu meteorit bisa memiliki nilai jual yang lebih bagus dibandingkan dengan keris sepuh. ”Yang menggunakan batu meteorit bisa Rp 25 juta, bisa mengalahkan keris sepuh,” ujar Andri.
Apalagi di era sekarang masih ada pembuat keris yang mempertahankan tradisi empu masa lampau. Meski para empu itu memakai bahan-bahan keris yang modern bikinan pabrik, proses pembuatannya masih mengikuti tata cara tradisional: mereka menjalani laku puasa, menyiapkan sesaji, dan membuat keris hanya di hari-hari khusus. Mereka juga membuat keris hanya berdasarkan pesanan.
Andri menambahkan, kolektor muda seperti dia berburu keris lebih karena tertarik pada aspek keindahannya (aspek estetika), bukan unsur mistiknya. Ia ingin menjadikan keris sebagai salah satu alternatif investasi. Di kalangan kolektor muda, keris dinilai sebagai barang seni yang indah dan memiliki nilai tinggi.
Menurut Hardi, keris bisa menjadi investasi dan merambah pasar anak muda asalkan ada inovasi-inovasi baru dengan desain dan bahan yang bagus. ”Saya misalnya membuat keris yang saya namakan Kyai Kanjeng Yudhoyono. Pamornya saya namakan samudra sabar. Saya pasang harga Rp 45 juta. Keris itu dibeli oleh Jero Wacik.”
Hardi bercerita, ia sampai berburu materi dasar keris seperti nikel. ”Saya punya nikel 12 kilogram, nikel murni dari Jerman, untuk 600 pamor keris.” Menurut Hardi, nikel tetap bahan campuran terbaik untuk membikin pamor bagus mengkilap. ”Yang menyatakan meteor bagus untuk membuat pamor itu terperangkap mitos.” Menurut Hardi, itulah sebabnya banyak empu di Madura yang memburu pelek-pelek mobil atau bagian-bagian otomotif untuk mengambil lapisan nikelnya.
Penulis buku Sejarah Keris, Arief Syaifuddin Huda, mengatakan, seiring dengan perkembangan zaman dan berubahnya pola pikir para kolektor, lambat-laun pemahaman bahwa keris merupakan barang klenik akan berkurang. Mindset para kolektor muda, para pencinta keris kamardikan, sudah berbeda dengan peminat keris sepuh.
Suryani Ika Sari, Nurdin Kalim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo