Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Bergantung pada Mesin

13 Juni 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bayu sebut saja begitu menjalani masa tuanya dengan penuh kerepotan. Ke mana pun ia pergi, slang oksigen selalu tertancap pada kedua lubang hidungnya. Slang kecil itu tersambung dengan generator oksigen alias mesin penghasil oksigen. Pria 62 tahun itu tak bisa lepas dari slang sepanjang 18 meter itu. Jadi, ketika dia ingin keluar dari kamar tidur, misalnya ke ruang tamu, slang mesin oksigen yang harganya puluhan juta itu ikut serta. Jika slang dilepas, Bayu bisa megap-megap karena fungsi parunya tinggal 23 persen.

”Mesin ini saya pakai sejak Maret tahun lalu, saat dokter memvonis saya terkena PPOK,” kata Bayu saat ditemui Tempo di rumahnya, kawasan Pondok Kelapa, Jakarta Timur, Selasa pekan lalu. Dengan kerepotan seperti itu, mantan perokok berat ini—sehari bisa empat bungkus rokok kretek—lebih banyak menghabiskan waktu di atas ranjang sambil memelototi siaran televisi.

PPOK atau penyakit kerusakan paru kronis, menurut Bayu, adalah penyakit yang sangat asing di kalangan perokok. Yang dia tahu adalah kanker paru. Menurut Profesor Tjandra Yoga Aditama, dokter spesialis paru dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta, penyakit ini terjadi lantaran ada hambatan udara di saluran napas. Sifat penyakit ini progressive nonreversible (tak dapat kembali ke bentuk semula).

Penyakit paru obstruktif kronis terdiri atas bronkitis kronis dan emfisema atau gabungan keduanya. Asap rokok adalah penyebab utamanya. Dengan adanya peningkatan jumlah perokok aktif di Indonesia, Tjandra percaya angka kejadian penyakit ini juga makin tinggi.

”Kalau saya tahu penyakit ini gara-gara rokok, saya pasti sudah berhenti merokok sejak usia 40 tahun,” kata ayah dua anak yang mulai merokok sejak sekolah menengah pertama ini. Kala itu ia sempat menjalani pemeriksaan kesehatan umum karena mengalami batuk-batuk. Namun ia berkukuh tetap merokok karena tak pernah ada yang menjelaskan momok bernama PPOK, yang kini menjeratnya. Dengan kondisi sekarang, ”Saya membenarkan pernyataan orang, yakni rasanya mau mati tapi kok enggak mati-mati.”

Demi menyambung napas, Bayu harus merelakan sekitar Rp 6 juta saban bulan untuk perawatan agar kondisi paru dan tubuhnya tak makin buruk. Uang itu dipakai membayar obat-obatan paru, fisioterapi, terapi otot, dan oksigen. ”Ini siksaan pedih akibat ulah saya sendiri,” katanya.

Dwi Wiyana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus