Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MALAM nan celaka terjadi di Saint-Denis, Prancis. Akibat paha kirinya kena hajar Dimitri Payet, Cristiano Ronaldo menjerit dan terpincang-pincang. Setelah bangkit dan memaksakan diri untuk terus bermain, akhirnya lelaki asal Madeira itu pun menyerah. Dia minta diganti. Ban kapten pun dia pasangkan di lengan kiri Luis Nani.
Siapa pun yang menyimpan hatinya untuk Portugal langsung patah semangat. Ronaldo adalah roh permainan Selecao—julukan tim itu. Tanpa pemain Real Madrid itu, tuan rumah Prancis akan melenggang menjadi juara dengan mudah.
Fernando Santos, sang pelatih, tak kalah cemas. Namun satu yang menenangkan hatinya. Di lapangan, selain ada kapten pengganti, dia masih punya Pepe, bek tengah yang bermain di Real Madrid.
Pada pemain naturalisasi asal Brasil itu, Santos sepenuhnya memberikan kepercayaan yang melimpah untuk memimpin teman-temannya di lapangan. "Dia adalah tangan kanan saya di lapangan. Sejak semula saya sangat percaya kepadanya. Dia memiliki sikap seorang pemimpin," katanya dalam konferensi pers beberapa hari sebelumnya.
Tak salah pilihan Santos. Sesaat setelah Ronaldo ditandu ke luar lapangan, Pepe meminta teman-temannya di lapangan bermain habis-habisan.
"Ini sangat sulit karena kami kehilangan pemain utama kami dan menggantungkan harapan kami pada dia, yang memiliki kemampuan mencetak gol di setiap saat," ujarnya. "Saya meminta kepada anak-anak buat mempersembahkan kemenangan untuknya."
Suntikan semangat yang langsung berkhasiat. Dua puluh menit setelah Ronaldo pergi, gawang Portugal tak juga bobol oleh tuan rumah. Begitu juga yang terjadi pada babak kedua, hingga akhirnya dilanjutkan dengan perpanjangan waktu.
Masanya pun tiba. Pada menit ke-109, Portugal kemudian yang mencetak gol lewat tendangan Eder, yang bermain di klub Prancis, Lile. Satu gol cukup untuk merebut piala. Setelah Hugo Lloris kebobolan, pasukan Didier Deschamps tak kuasa lagi membuat gol balasan.
Portugal menjadi juara, tapi memang bukan yang ideal. Pada babak penyisihan, Selecao hanya bisa bermain imbang. Poin yang dikumpulkannya pun terbatas pada angka 3. Namun bersyukurlah Portugal.
Dengan peserta yang mencapai 24 tim, turnamen ini membutuhkan 4 tim yang berada di posisi ketiga dengan catatan poin yang paling bagus. Maka pasukan Fernando Santos pun ikut berangkat ke babak 16 besar.
Sampai akhirnya melenggang ke final, setelah mengalahkan Kroasia, Polandia, dan Wales di semifinal, pasukan Santos tetap dipandang sebelah mata. Hanya kemenangan atas Wales yang diraih dalam waktu normal. Selebihnya, Portugal harus melalui perpanjangan waktu, bahkan dengan adu penalti.
Portugal juga dikritik karena memainkan strategi bertahan, tapi Santos mengaku tak terganggu. "Kami bermain sederhana saja seperti burung merpati dan seanggun seekor ular," kata Santos.
SEBENARNYA Fernando Santos adalah seorang insinyur telekomunikasi. Gelar sarjana itu diraihnya pada 1977. "Hidup saya di bidang engineering, bukan sepak bola," ujarnya dalam sebuah wawancara dengan koran Portugal, Sol, dua tahun lalu.
Namun, saat bekerja, dia juga menghabiskan waktunya sebagai pemain sepak bola di klub Estoril, yang bermain di divisi II Portugal.
Hidup Santos kemudian benar-benar berlabuh di lapangan sepak bola setelah sepuluh tahun kemudian dia diangkat menjadi manajer di klub itu. Kariernya makin mengkilap, termasuk mendapatkan tawaran menangani Porto. Selanjutnya, kariernya dihabiskan di Yunani.
Santos punya gaya melatih yang unik, tak biasa, dan berbeda dengan pelatih lain. Saat datang pertama kali menjadi pelatih di klub AEK Athens di Yunani pada 2001, dia meminta pemainnya berlatih pada pagi hari, pukul 8. Alasannya, Santos ingin para pemainnya bisa menghirup udara pagi yang segar. Lagi pula matahari belum lagi tinggi.
Tak satu pun pemain setuju. Alasannya, mereka bisa terjebak macet. Maklum, pada jam-jam seperti itu lalu lintas di Athena sedang sibuk. Santos tak lantas mengikuti keinginan para pemain itu. "Ya, sudah. Kalau begitu, kalian bisa datang lebih awal, pukul 7. Sebelum lalu lintas macet," katanya.
Yunani kemudian menjadi kampung halamannya yang kedua. Hingga akhirnya Santos diangkat menjadi pelatih negeri itu, yang diantarkannya tampil di Piala Eropa 2012 dan Piala Dunia 2014 di Brasil.
Tak dinyana, setelah gagal bersama Yunani, Santos mendapatkan pekerjaan dari negerinya sendiri. Dua tahun lalu, dia ditawari menjadi Manajer Portugal setelah tim itu pulang dari Piala Dunia.
Di luar dugaan tentu saja. Masalahnya, ketika itu Santos tengah menjalani hukuman dilarang menangani delapan pertandingan akibat ulahnya di Brasil. Ketika dikalahkan Kosta Rika, dia diusir setelah dianggap menyerang wasit Ben Williams. Larangan itu kemudian dikorting menjadi dua pertandingan saja setelah dia mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Arbitrase Olahraga.
Menangani Portugal bukanlah pekerjaan mudah. Tim ini selalu punya problem besar yang tak pernah bisa dicarikan solusinya, yakni peran Cristiano Ronaldo yang teramat sentral.
Berbeda dengan pelatih sebelumnya, Paulo Bento, yang dalam berbagai kesempatan selalu mengungkapkan bahwa Ronaldo sebagai andalannya untuk memenangi pertandingan, Santos malah menihilkan ketergantungan mereka pada pemain itu. "Dalam setiap pertandingan, setiap orang harus menganggap dirinya sebagai leader," ucapnya.
Ronaldo pun menyadari situasi baru di timnya. Meski tak mencegah statusnya sebagai megabintang, di saat lain Ronaldo menurunkan egonya dengan bermain lebih ke dalam dan berperan dalam beberapa gol yang dicetak Portugal. Tiga assist dia buat dalam turnamen ini.
"Permainan Ronaldo tetap penting. Tapi kini tim jauh lebih penting bagi dia," kata gelandang Andre Gomes. "Orang mungkin menunggu gol-golnya, tapi sekarang dia telah memberikan kontribusi yang baik untuk tim."
Itulah yang terjadi saat Portugal bertanding melawan Hungaria. Selain Ronaldo yang mencetak dua gol, pemain lain, Renato Sanches, ikut menyumbangkan gol.
Langkah tak biasa dilakukan Santos adalah meramu tim yang berisi kombinasi pemain muda dan senior. Dia memanggil Ricardo Carvalho, yang sudah berusia 38 tahun, dan Renato Sanches, yang masih kinyis-kinyis.
Dua generasi yang berbeda tentu saja. Saat Carvalho membela Portugal di Piala Eropa 2004, Sanches belum lagi genap berumur 7 tahun.
Cara ini ternyata cocok untuk skuadnya. Ricardo Quaresma, 33 tahun, mengaku mendapatkan hal positif dari upaya Santos ini. "Dia merupakan satu dari sedikit pelatih yang berhasil memberikan kepercayaan diri yang saya butuhkan. Dia pantas mendapatkan respek selamanya."
Pembentukan skuad yang dilakukan Santos persis saat ia menangani timnas Yunani, yang saat berada di tangannya berhasil mencatatkan 17 kemenangan beruntun. Dia menerapkan metode latihan yang sama. Dengan tak memiliki banyak penyerang, Santos berhasil menyihir Portugal menjadi tim yang sulit dikalahkan. Ia menghapuskan luka 12 tahun lalu saat Selecao kalah di final Piala Eropa dari Yunani di kandangnya sendiri.
SEKETIKA Mark Clattenburg meniup peluitnya, pusat Kota Lisabon, ibu kota Portugal, sesak oleh orang. Mereka memakai baju merah, kuning, dan hijau menari riang. Belasan ribu orang turun ke jalan. Mobil membunyikan klakson. Kembang api pun pecah di langit malam Lisabon. Di Marques de Pombal, ribuan orang meneriakkan nama Eder, sang pahlawan mereka.
"Kami juara Eropa," kata Ruben Sardinha, 22 tahun. "Akhirnya kami bisa membungkam Prancis dan siapa saja yang bicara hal buruk tentang kami. Kami telah membuktikan, kami lebih kuat," dia menambahkan.
Kemenangan ini tak hanya menjadi pengobat luka 12 tahun lalu ketika Portugal dikandaskan Yunani di babak final, tapi juga menjadi suntikan moral bagi penduduk negeri yang kini tengah berjuang keluar dari krisis ekonomi yang membelit itu. Portugal pun terancam sanksi dari Komisi Eropa.
Presiden Marcelo Rebelo de Sousa, yang menyaksikan pertandingan di Stade de France, merayakan kemenangan ini bersama semua penduduk negeri itu. "Kita menjadi yang terbaik di Eropa saat ini. Kita telah menunjukkan kekuatan serta persatuan dan kita bisa mengatasi masalah yang ada di depan kita," ujarnya. IRFAN BUDIMAN (GUARDIAN, BBC, GOAL, UEFA)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo