Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DODY Qori Utama hanya bisa tidur jika lampu dan penyejuk udara di kamarnya menyala plus diiringi musik bernada lembut. Dengan begitu, tidurnya akan lelap. Namun, semakin larut malam, tidurnya sering terganggu oleh suhu ruangan yang kian dingin. Terkadang Dody juga terbangun lantaran cahaya lampu yang menyilaukan.
Dari pengalaman pribadinya itu tercetuslah ide membuat Hoome, aplikasi sekaligus sistem rumah pintar yang dapat membuat rumah beradaptasi dengan penghuninya. Berkat Hoome, rumah akan secara otomatis mengatur suhu penyejuk udara, tingkat kecerahan cahaya lampu, aroma terapi, atau volume pemutar musik. Semua disesuaikan dengan kondisi tubuh penghuni yang sedang tidur.
Meski bekerja berdasarkan sensor tubuh, Hoome buatan Dody tak seperti smarthome alias rumah pintar milik Tony Stark, karakter fiksi dalam cerita Iron Man. "Rumah pintar Stark adalah artificial intelligence yang tetap butuh perintah suara," ujar Dody, 28 tahun, dosen peneliti di Fakultas Teknik Informatika Universitas Telkom, Bandung, ketika ditemui di kantornya pada akhir Mei lalu. Adapun Hoome bekerja berdasarkan kondisi otak, otot, dan detak jantung penghuni. Ia menyebut sistem ini sebagai adaptive smarthome.
Dody tak bekerja sendiri dalam mewujudkan Hoome. Ia mengajak rekannya sesama peneliti, Alfian Akbar Gozali, dan dibantu lima mahasiswa lintas jurusan, yakni Masyitah Nur Aulia, Annisa Riyani, dan Muhammad Hafizh Akmal dari Teknik Informatika; Aghnia Dwi Larastika dari Teknik Telekomunikasi; serta Andika Pradana Arif dari Teknik Elektro.
Meski terbilang baru, Hoome sudah berhasil menyabet penghargaan tingkat nasional dan internasional. Pada April lalu, Hoome tampil sebagai juara kompetisi Microsoft Imagine Cup 2016 yang digelar di @america, Pacific Place, Jakarta Selatan, untuk kategori Innovation. Sebelumnya, Dody dan tim berhasil menjuarai Global Mobile Innovators Tournament 2016 di Barcelona, Spanyol.
Hoome dikembangkan sejak 2015 dari aplikasi Brainstat, yang sebelumnya dibuat Dody dan tim. Brainstat dilengkapi perangkat untuk menganalisis kondisi tubuh pengendara mobil secara langsung. Ada alarm pengingat saat pengendara mengalami kelelahan, tidak fokus, kekurangan oksigen, stres, ataupun dalam pengaruh obat dan alkohol. "Analisis kondisi personal ini lantas dikembangkan ke sistem dan aplikasi Hoome," ucap Alfian.
Aplikasi Hoome bekerja berdasarkan tiga alat sensor tubuh, yakni electroencephalography (EEG) untuk membaca sinyal otak; electromyography (EMG), sensor otot; serta jam tangan pintar yang dapat membaca detak jantung dan kadar oksigen penghuni rumah. "Bisa dipakai salah satu saja," katanya. Untuk alat sensor ini, tim masih menggunakan barang pabrikan yang diimpor dari Amerika Serikat.
Tingkat akurasi dari tiap alat berbeda. Jam pintar, misalnya, tingkat akurasinya sekitar 60 persen. Sedangkan sensor otot berbentuk arm pad lentur dapat mengukur kondisi pergerakan tubuh penghuni rumah dengan tingkat akurasi hingga 75 persen. Akurasi paling tinggi adalah EEG, sekitar 95 persen. Hal itu lantaran alat ini membaca organ pusat kegiatan manusia. Sayangnya, alat yang mirip bando plastik dengan penjepit kecil di bawah telinga ini kurang nyaman digunakan saat tidur.
Semua alat tersebut terhubung dengan aplikasi Hoome melalui koneksi nirkabel Bluetooth. Cara beroperasinya berdasarkan algoritma fuzzy logic, yang biasa digunakan untuk menjalankan robot.
Hoome tak hanya berfungsi sebagai alat pemantau tubuh saat tidur, tapi juga dapat dipakai mengurangi stres penghuni rumah. Tempo sempat menjajal Hoome menggunakan alat EEG dan EMG. Grafik pada layar aplikasi Hoome menunjukkan kondisi kami sedang dalam keadaan stres.
Suasana miniatur rumah di samping kami, yang terhubung dengan Hoome, berubah. Lampu seketika meredup. Penyejuk udara mengembuskan udara yang tak begitu dingin. Dan pengharum ruangan mengeluarkan aroma terapi yang menenangkan. Grafik yang sebelumnya tampak runcing perlahan menjadi landai—tanda bahwa aktivitas otak mulai stabil. "Hoome bisa membantu orang relaks di dalam rumahnya sendiri setelah seharian bekerja," ujar Dody.
Bukan hanya itu, Hoome juga bisa menambah kebahagiaan seseorang yang sedang gembira. Caranya kurang-lebih sama, yaitu dengan menyesuaikan cahaya lampu dan memutarkan musik yang sesuai dengan kondisi penghuni rumah. Bedanya, warna lampu yang menyala lebih kuning kejinggaan—simbol warna kebahagiaan.
Tentu semua peralatan di dalam miniatur rumah tersebut harus terhubung dengan kotak microcontroller, yang terhubung dengan Hoome lewat jaringan Wi-Fi (untuk proses kerja, lihat infografis). Kotak tersebut berisi rangkaian elektronik yang disambungkan dengan aliran setrum peralatan elektronik rumah, seperti lampu, pemutar musik, dan penyejuk udara.
Andika, anggota tim, menjelaskan, untuk cakupan satu rumah bisa menggunakan lebih dari satu microcontroller. "Bisa satu ruangan satu pengendali atau dua ruangan satu pengendali," katanya.
Selain di rumah, Hoome bisa digunakan di rumah sakit. Nuansa ruangan dibuat sesuai dengan kondisi pasien. Selain itu, data tiap pasien bisa terekam secara otomatis dan disimpan dalam jaringan cloud computing. Berangkat dari data inilah dokter dan psikolog bisa menganalisis langkah yang tepat untuk mempercepat pemulihan pasien.
Konsep rumah pintar, bagian dari perkembangan teknologi Internet of things seperti buatan Dody dan timnya ini, sebenarnya ada sejak tiga tahun terakhir. Bahkan, Januari lalu, teknologi dan konsep rumah pintar dipajang besar-besaran dalam Consumer Electronics Show di Las Vegas, Amerika Serikat. Sekitar 1.000 peserta yang membawa produk rumah pintar tampil dalam pameran tersebut.
Dua raksasa teknologi Google dan Apple juga bersaing membangun rumah yang terkoneksi dengan Internet. Google mengembangkan Nest, rumah pintar yang aplikasinya dipasang pada telepon seluler pintar. Adapun Apple membangun HomeKit, program yang dirancang untuk menjalankan semua peralatan elektronik di rumah. Ponsel pintar dan jaringan Internet menjadi kunci operasional rumah pintar.
Banyak perusahaan teknologi, termasuk start-up, memproduksi aplikasi program dan peralatan rumah tangga yang saling terkoneksi. Tapi untuk membangun sistem yang cukup mumpuni butuh waktu dan dana yang tak sedikit. "Pada saatnya rumah pintar akan muncul," ucap Johnny Won, pendiri perusahaan konsultan teknologi Hyperstop, seperti dikutip dari The Independent.
Kini Dody dan timnya sedang melakukan riset untuk membuat alat sensor yang dapat diletakkan di tengah ruangan. Nantinya para penghuni tak perlu direpotkan oleh alat sensor yang terpasang di tubuh mereka. "Saat masuk rumah, Anda langsung akan dibuat nyaman," ujar Dody. AMRI MAHBUB, ANWAR SISWADI (BANDUNG)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo