DI sirkuit Ancol, Jakarta, persaingan merek kendaraan bisa
merubah suasana balapan jadi panas. Contoh: Ketika pembalap
Jepang, T. Ezaki dari tim Yamaha turun di lintasan Minggu lalu,
ofisial tim Honda tak dapat menahan diri.
Puncak peristiwa terjadi ketika ia membelok masuk pit. Pembalap
Sidarto SA dari tim Honda yang menempel ketat di belakangnya,
terbawa masuk ke dalam bersama Ezaki. Ofisial tim Honda tak
dapat menerima begitu saja gaya tersebut. Mereka lalu menuduh
bahwa Ezaki telah menghalang-halangi lawan untuk mendahuluinya.
Dan Ezaki lantas dipukul.
Betulkah Ezaki telah menghalang-halangi laju lawan? "Sukar
dibuktikan," jawab Ketua Harian Panitia Grand Prix, ir.
Wardiman. Dari catatan waktu putaran demi putaran, Ezaki
ternyata lebih unggul dari lawannya.
Persaingan dalam Grand Prix ke-17 kali ini tampak tak seketat
dulu. Pembalap-pembalap asing, kecuali dari Jepang, tak banyak
lagi yang turun. Pembalap tamu yang diundang hanya Stuy Avant
(Selandia Baru) dan Rick Perry (Australia). "Soalnya, biaya
untuk mengundang mereka itu terbatas," kata Sekretaris Panitia
Grand Prix, Mohtar Latif. Ia semula bahkan merencanakan
mengundang bekas juara dunia, Giaco Agostini, dari Italia.
Jumlah bantuan sponsor telah menurun. "Ini mungkin disebabkan
Kebijaksanan 15 Nopember," katanya, menunjuk pada devaluasi
rupiah. Jadi, berkurang semaraknya.
Mengapa pembalap Jepang mau datang dengan biaya sendiri? "Mereka
'kan mengingat pasaran produksi motor mereka di sini," lanjut
Latif. Umumnya, mereka adalah pembalap pabrik.
Kehadiran mereka ternyata tak sia-sia. Tiga urutan pertama
mereka kuasai. Juara adalah Hideo Kanaya dari tim Yamaha.
Sementara pembalap Indonesia, Bambang Sudarsono dan Sarsito SA
menempati urutan ke-4 dan ke-6.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini