MAKAN tidak makan asal berkumpul (mangan ora mangan angger
kumpul) kerap diucapkan sebagai sikap hidup yang menghambat
mobilitas orang Jawa. Konon, menurut teori, jiwa mereka
ditenteramkan oleh kebudayaan yang kaya dan struktur sosial yang
khas, walau perut mungkin keroncongan. Maka mental mereka tidak
bisa di-switch begitu saja sehingga berfilsafat sebaliknya:
kumpul tidak kumpul asal makan. Kalau orang Minang disenggol
saja sudah lari merantau, orang Jawa disepak pun tidak
berangkat. Laki-laki Minang, kata seorang ahli, tidak betah di
kampung halaman karena digencet oleh beban adat matrilineal.
Teori kentut (menurut seorang rekan) sudah puas diterapkan di
Jawa tapi tidak mempan. Yang dimaksud dengan teori kentut ialah
pendekatan dengan menakut-nakuti: "Hai, pulau Jawa ini sudah bau
kentut, sudah busuk, kamu sudah miskin, hayo pergilah
bertransmigrasi." Tidak mempan karena mungkin orang tidak merasa
mencium bau kentut. Atau mungkin dia sudah mencium bau kentut,
tapi khawatir di tanah seberang akan mencium bau mayat. Bau
kentut masih mendingan. Mangan ora mangan angger kumpul. Maka
teori lain, terserah apa namanya, mutlak diperlukan untuk
menggalakkan transmigrasi, baik yang tidak spontan tapi terutama
yang spontan.
Petani Gurem
Kacamata yang manapun dipakai, keadaan pulau Jawa memang sudah
parah. Penduduk pedesaan bertambah, penduduk pekotaan bertambah
dan pulau Jawa tidak bertambah luas. Malah sebaliknya daerah
pertanian terus menyempit untuk menunjang manusia yang lebih
banyak. Pada tahun 1905 sebanyak 31% petani kecil (petani gurem)
menguasai tanah rata-rata 0,27 ha sedangkan pada tahun 1973
sudah sebanyak 59% petani kecil menguasai rata-rata 0,25 ha.
Seiring dengan itu jumlah mereka yang sama sekali tidak
mempunyai tanah bertambah besar. Cari kerja tambah susah dan
upah riil menurun. Pendek kata, semakin banyaklah bangsa kita,
terutama di Jawa, tergiring ke bawah garis kemiskinan.
Transmigrasi adalah mutlak walau daya tampungnya terbatas.
Mengapa terbatas? Ternyata selama 19 tahun pada periode
1950-1968 jumlah transmigran yang dikirim hanya sebanyak 424.380
jiwa. Rata-rata 22.336 jiwa setahun. Pada Pelita I (1969-1973)
rata-rata ditransmigrasikan 36.150 jiwa setahun dan selama 3
tahun Pelita II ini (1974-1977) rata-rata 41.463 setahun. Apa
artinya ini? Ini artinya bahwa sejak kita merdeka sampai
sekarang belum ada dikirim 1 juta jiwa melalui program
transmigrasi. Kalau beginian terus, untuk memindahkan 1 juta
jiwa saja memerlukan waktu 30 sampai 40 tahun. Padahal penduduk
pulau Jawa kini bertambah lebih dari 1 « juta jiwa setahun. Yah,
usaha meratakan distribusi penduduk Nusantara pun cuma jadi
sebuah mitos.
Betul banyak juga transmigran spontan ke luar Jawa tetapi
sebaliknya transmigran spontan dari luar Jawa juga mengalir ke
Jawa. Sesudah diperhitungkan yang datang dan yang pergi pada
periode 1966-1971, menurut Biro Pusat Statistik, terdapat
migrasi neto: sebanyak rata-rata 19.974 jiwa per tahun ke luar
Jawa. Jadi tidak terhitung tinggi.
Lebih Dari Habis
Kembali kepada soal tanah, cara kasarnya tanah pertanian di Jawa
sudah habis. Malah lebih dari habis. Luas tanah pertanian
potensiil di Jawa diperkirakan 8 juta ha. Areal tanah pertanian
yang sudah dikerjakan seluas 8,4 juta ha, jadi sudah kelewat
batas. Luas tanah pertanian potensiil di luar Jawa, walau tidak
sesubur Jawa, diperkirakan 51,3 juta ha. Dari jumlah tersebut
baru dikerjakan 9,1 juta ha atau 17,7 persen.
Mengingat itu semua, digabung dengan alasan-alasan lainnya yang
berkaitan dengan pembangunan, pertahanan dan integrasi nasional,
Pemerintah telah merencanakan untuk memindahkan 500.000 kepala
keluarga atau kira-kira 2 « juta jiwa pada Pelita III. Jadi
rata-rata 100.000 kk atau 500.000 jiwa setahun. Target ini lebih
dari 10 kali lipat dari jumlah yang dapat dicapai akhir-akhir
ini.
Apakah ini terjangkau? Apakah pola Sitiung, pola Rimbo Bujang,
pola spontan atau pola majemuk dapat memberi jalan keluar?
Tentunya tidak ada jawaban yang sederhana untuk persoalan yang
rumit ini.
Namun apa yang dikemukakan Menteri Muda Urusan Transmigrasi
baru-baru ini membawa harapan baru. Menurut Menteri Muda
Martono: "Untuk menunjang transmigrasi swakarsa atau
transmigrasi spontan secara besar-besaran Pemerintah perlu
memberi bantuan kemudahan berupa angkutan dan penginapan gratis
dalam perjalanan dari tempat asal ke daerah tujuan."
Dapat diberi penafsiran bahwa jalan-jalan baru akan ditempuh
untuk menggalakkan transmigran spontan. Dan ini memang persoalan
yang menentukan. Tanpa penggalakan transmigran spontan, bisa
dibayangkan bagaimana penyakit target menjadi merajalela. Target
pusat menular ke propinsi, dari sana ke kabupaten, dari situ ke
kecamatan yang serta merta menelusuri desa-desa. Lalu mereka
yang enggan mendaftarkan diri bisa dicap anti pembangunan atau
yang sejenisnya yang tidak sedap dibawa tidur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini