Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Transmigrasi

Sejak merdeka sampai sekarang belum ada 1 juta orang yang bertransmigrasi. Menurut Menmud Martono, untuk menunjang transmigrasi spontan pemerintah perlu memberikan kemudahan angkutan dan penginapan.

9 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MAKAN tidak makan asal berkumpul (mangan ora mangan angger kumpul) kerap diucapkan sebagai sikap hidup yang menghambat mobilitas orang Jawa. Konon, menurut teori, jiwa mereka ditenteramkan oleh kebudayaan yang kaya dan struktur sosial yang khas, walau perut mungkin keroncongan. Maka mental mereka tidak bisa di-switch begitu saja sehingga berfilsafat sebaliknya: kumpul tidak kumpul asal makan. Kalau orang Minang disenggol saja sudah lari merantau, orang Jawa disepak pun tidak berangkat. Laki-laki Minang, kata seorang ahli, tidak betah di kampung halaman karena digencet oleh beban adat matrilineal. Teori kentut (menurut seorang rekan) sudah puas diterapkan di Jawa tapi tidak mempan. Yang dimaksud dengan teori kentut ialah pendekatan dengan menakut-nakuti: "Hai, pulau Jawa ini sudah bau kentut, sudah busuk, kamu sudah miskin, hayo pergilah bertransmigrasi." Tidak mempan karena mungkin orang tidak merasa mencium bau kentut. Atau mungkin dia sudah mencium bau kentut, tapi khawatir di tanah seberang akan mencium bau mayat. Bau kentut masih mendingan. Mangan ora mangan angger kumpul. Maka teori lain, terserah apa namanya, mutlak diperlukan untuk menggalakkan transmigrasi, baik yang tidak spontan tapi terutama yang spontan. Petani Gurem Kacamata yang manapun dipakai, keadaan pulau Jawa memang sudah parah. Penduduk pedesaan bertambah, penduduk pekotaan bertambah dan pulau Jawa tidak bertambah luas. Malah sebaliknya daerah pertanian terus menyempit untuk menunjang manusia yang lebih banyak. Pada tahun 1905 sebanyak 31% petani kecil (petani gurem) menguasai tanah rata-rata 0,27 ha sedangkan pada tahun 1973 sudah sebanyak 59% petani kecil menguasai rata-rata 0,25 ha. Seiring dengan itu jumlah mereka yang sama sekali tidak mempunyai tanah bertambah besar. Cari kerja tambah susah dan upah riil menurun. Pendek kata, semakin banyaklah bangsa kita, terutama di Jawa, tergiring ke bawah garis kemiskinan. Transmigrasi adalah mutlak walau daya tampungnya terbatas. Mengapa terbatas? Ternyata selama 19 tahun pada periode 1950-1968 jumlah transmigran yang dikirim hanya sebanyak 424.380 jiwa. Rata-rata 22.336 jiwa setahun. Pada Pelita I (1969-1973) rata-rata ditransmigrasikan 36.150 jiwa setahun dan selama 3 tahun Pelita II ini (1974-1977) rata-rata 41.463 setahun. Apa artinya ini? Ini artinya bahwa sejak kita merdeka sampai sekarang belum ada dikirim 1 juta jiwa melalui program transmigrasi. Kalau beginian terus, untuk memindahkan 1 juta jiwa saja memerlukan waktu 30 sampai 40 tahun. Padahal penduduk pulau Jawa kini bertambah lebih dari 1 « juta jiwa setahun. Yah, usaha meratakan distribusi penduduk Nusantara pun cuma jadi sebuah mitos. Betul banyak juga transmigran spontan ke luar Jawa tetapi sebaliknya transmigran spontan dari luar Jawa juga mengalir ke Jawa. Sesudah diperhitungkan yang datang dan yang pergi pada periode 1966-1971, menurut Biro Pusat Statistik, terdapat migrasi neto: sebanyak rata-rata 19.974 jiwa per tahun ke luar Jawa. Jadi tidak terhitung tinggi. Lebih Dari Habis Kembali kepada soal tanah, cara kasarnya tanah pertanian di Jawa sudah habis. Malah lebih dari habis. Luas tanah pertanian potensiil di Jawa diperkirakan 8 juta ha. Areal tanah pertanian yang sudah dikerjakan seluas 8,4 juta ha, jadi sudah kelewat batas. Luas tanah pertanian potensiil di luar Jawa, walau tidak sesubur Jawa, diperkirakan 51,3 juta ha. Dari jumlah tersebut baru dikerjakan 9,1 juta ha atau 17,7 persen. Mengingat itu semua, digabung dengan alasan-alasan lainnya yang berkaitan dengan pembangunan, pertahanan dan integrasi nasional, Pemerintah telah merencanakan untuk memindahkan 500.000 kepala keluarga atau kira-kira 2 « juta jiwa pada Pelita III. Jadi rata-rata 100.000 kk atau 500.000 jiwa setahun. Target ini lebih dari 10 kali lipat dari jumlah yang dapat dicapai akhir-akhir ini. Apakah ini terjangkau? Apakah pola Sitiung, pola Rimbo Bujang, pola spontan atau pola majemuk dapat memberi jalan keluar? Tentunya tidak ada jawaban yang sederhana untuk persoalan yang rumit ini. Namun apa yang dikemukakan Menteri Muda Urusan Transmigrasi baru-baru ini membawa harapan baru. Menurut Menteri Muda Martono: "Untuk menunjang transmigrasi swakarsa atau transmigrasi spontan secara besar-besaran Pemerintah perlu memberi bantuan kemudahan berupa angkutan dan penginapan gratis dalam perjalanan dari tempat asal ke daerah tujuan." Dapat diberi penafsiran bahwa jalan-jalan baru akan ditempuh untuk menggalakkan transmigran spontan. Dan ini memang persoalan yang menentukan. Tanpa penggalakan transmigran spontan, bisa dibayangkan bagaimana penyakit target menjadi merajalela. Target pusat menular ke propinsi, dari sana ke kabupaten, dari situ ke kecamatan yang serta merta menelusuri desa-desa. Lalu mereka yang enggan mendaftarkan diri bisa dicap anti pembangunan atau yang sejenisnya yang tidak sedap dibawa tidur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus