Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM hal memberangkatkan kesebelasan nasional ke Asian Games Beijing, keputusan KONI Pusat memang beda dengan "keputusan" angket pembaca TEMPO. KONI sudah tegas membatalkan keberangkatan PSSI, sedangkan hasil pol TEMPO mencatat: 43,8% dari 560 pengisi angket, atau 245 responden, setuju tanpa syarat PSSI mengirim tim ke Cina. Yang setuju dengan persyaratan KONI, yakni boleh berangkat asal menjadi juara di Piala Kemerdekaan, ada 157 orang (28%). Adapun yang menjawab "tidak mengirim sama sekali daripada malu" sebanyak 147 responden atau 26,3%. Sementara itu, ada 11 orang (2%) yang tidak menjawab. Angket pembaca TEMPO disebarkan sebelum ketahuan siapa yang menjadi juara Piala Kermerdekaan. Diedarkan 600 kuesioner di sembilan kota yang dikenal berpenduduk "gila bola" - Jakarta, Bandung, Semarang, Solo, Yogya, Kudus, Surabaya, Malang, dan Medan. Di semua kota itu ada klub Galatama, kecuali di Kudus. Tetapi di kota kretek ini, kompetisi Galakarya berlangsung seru, dan Kudus dikenal sebagai gudang pemain-pemain yunior. Nah, di antara penggemar bola itulah, angket tersebar dan hanya 40 buah yang tak kembali. Banyak hal menarik yang bisa diungkap, tak cuma urusan berangkat tidaknya bola ke Beijing. Misalnya, soal kosong melompongnya stadion-stadion Indonesia akhir-akhir ini. Hampir separuh responden (47,3%) mengaku tak pernah lagi nonton sepak bola langsung ke stadion dalam setahun terakhir ini. Alasannya bermacam-macam, mutu buruk, ada suap, dan sebagainya (Lihat Tabel 1). Memang, masih banyak pencandu bola yang mendatangi stadion, yakni 284 responden (50,7%) -- ada 11 responden tak menjawab. Namun, dari jumlah itu hampir separuhnya yang menonton di stadion kurang dari 10 pertandingan selama setahun. Hanya 29 responden (5,2%) yang menonton 11 sampai 20 kali dan hampir sama jumlahnya yang menonton lebih dari 20 kali. Artinya, golongan "fanatik" ini pun tak tentu sebulan sekali ke stadion. Kesebelasan apa yang ditonton? Terlepas dari mutunya, Galatama paling banyak peminatnya (2-4,5%), menyusul kompetisi perserikatan (16,1%), dan tim nasional (12,0%). Sisanya menonton Galakarya atau pertandingan antarkampung. Ini membuktikan bahwa hanya kompetisi Galatama yang teratur setiap tahun, sementara kompetisi klub di Perserikatan hampir tak jalan -- malah bukan rahasia umum bahwa banyak Perserikatan yang tak menjalankan kompetisinya. Sedangkan kompetisi Perserikatan secara nasional (bukan lagi wakil klub) berlangsung setiap dua tahun. Walaupun Galatama belum menyumbang banyak pada pembentukan tim nasional, banyak responden yang masih menaruh hati pada lembaga ini. Sebagian besar responden setuju Galatama dipertahankan. Dengan catatan, perlu ada perubahan radikal dalam tubuh sepak bola semiprofesional Indonesia itu. Misalnya, diperbolehkannya pemain asing dan profesionalisasi penuh Galatama (Lihat Tabel 2). Galatama memang serba tanggung. Mau disebut wakil daerah, belum mengakar. Mau disebut profesional, masih jauh karena pengelolaan klub dan mutu permainan masih amatiran. Itu membuat Galatama sukar menjaring fans dan bahkan belakangan ini ditinggal pergi penontonnya. Klub-klub peringkat bawah Inggris, atau daratan Eropa lainnya, walau sering kalah, ternyata punya penggemar penggemar fanatik karena klub itu punya "akar" di lingkungan sekitarnya. Ambil contoh, betapa fanatiknya pendukung AS Roma atau Lazio kendati sama-sama berpangkalan di Roma. Di Eropa, pemain asing menjadi daya tarik penonton, sekaligus mendongkrak mutu sepak bola yang dimasuki pemain asing itu. Entah kenapa, di sini pemain asing diharamkan walau pada awal awalnya Galatama tak dilarang. Tapi mungkin masalahnya sekarang sudah berbeda. Bagaimana mau bicara pemain asing kalau manajemen klub semakin amburadul! Apa semua klub mampu menggaji "si asing", sementara masih ada klub Galatama yang telat membayar gaji pemainnya sampai tiga bulan? Pemain Galatama ada yang bergaji Rp 75 ribu walau ada juga bergaji Rp 750 ribu sebulan. Nah, akan timbul "kesenjangan sosial" karena pemain asing minimal bergaji Rp 2 juta sampai Rp 5 juta untuk bersedia main di Galatama. Tapi rupanya 69,5% responden berharap hadirnya pemain asing agar Galatama punya pamor lagi. Tak peduli pemain asing dari belahan dunia mana pun. Lalu, 12,7% responden mengharap hanya pemain asing tingkat Asia dulu yang boleh main di sini. Yang jelas menolak pemain asing 15,4%. Bagaimana dengan Perserikatan? Ada 80 responden minta Perserikatan dipertahankan. Suara ini datang dari 76,2% responden yang berpendidikan akademi atau universitas. Juga 76,1% golongan berpendidikan menengah sampai SLA. Rupanya, golongan inilah yang rajin menonton sepak bola Perserikatan. Sedang yang ingin Perserikatan dibubarkan hanya 18,4% atau 103 orang dari 560 responden. Untuk membenahi Perserikatan, 188 orang (33,6%) menginginkan agar kompetisi antarklub Perserikatan dibenahi. Dan 25,2% mengharapkan "main sabun" ditindak tegas. Kompetisi dibuat lebih teratur diharapkan oleh 20 7% responden. Lainnya, 27 orang (4,8%), mengharapkan pengurus Perserikatan jangan dirangkap oleh pejabat daerah. Kali ini, organisasi PSSI mendapat sorotan tajam. Ada 145 responden (25,9%) yang melihat terlalu banyak hal yang diurus oleh PSSI, misalnya Galatama, Galakarya, Galanita, Perserikatan, Diklat Sepak Bola, Sekolah Sepak Bola, dan sekian banyak kategori tim nasional. Lalu, 135 orang (24,1%) menilai organisasi PSSI sekarang ini terlalu besar dan 134 orang (23,9%) mensinyalir adanya mismanajemen yang cukup parah di tubuh PSSI. Yang mengatakan cukup baik ada 131 orang (23,4%). Yang tak mau menjawab pertanyaan soal organisasi PSSI ini juga banyak, 133 orang atau 23,8%. Pengurus PSSI pun banyak dikecam (Lihat Tabel 3). Sebagian besar responden menginginkan PSSI dikelola oleh mereka yang benar-benar mengerti sepak bola, tepatnya bekas pemain sepak bola nasional. Juga berpenghasilan memadai agar tak mencari "makan" di PSSI, (Lihat Tabel 4). Di tengah banyaknya kritik terhadap PSSI dan prestasi sepak bola Indonesia ini, sebenarnya ada banyak peluang untuk berbenah diri. Misalnya, memanfaatkan sebaik mungkin penggunaan dana sponsor karena banyak perusahaan besar yang mau mengucurkan dana iklannya untuk promosi di lapangan hijau. Perusahaan rokok Bentoel, misalnya, menyediakan sekitar Rp 700 juta untuk biaya transportasi klub-klub Galatama kompetisi 1989/1990. Namun, karena penonton makin menyusut, Bentoel tak lagi tertarik ikut membiayai Galatama pada kompetisi musim mendatang. Diperkirakan akan banyak klub Galatama yang rontok. Jadi, bagaimana seharusnya dana sponsor itu dimanfaatkan? Sejumlah 294 orang (52,5%) memilih sebaiknya dana sponsor dipakai mendidik pemain-pemain berbakat dan menggemblengnya dalam jangka panjang dengan pelatih berbobot. Model inilah sekarang dicoba oleh Bank Summa dengan mendirikan Summa Football Club di Dili, Timor Timur. Summa mendatangkan Prof. Manuel E. Neto dari Brasil untuk mendidik pemain-pemain asli Tim-Tim. Diharapkan, dari sana muncul sebuah kesebelasan tangguh yang akan mewakili Indonesia di Piala Dunia 1994 mendatang. Ada 96 orang (17,1%) menyarankan agar dana sponsor dipakai untuk mendirikan sekolah-sekolah bola bermutu di seantero Nusantara. Lalu, 81 orang (14,5%) menganggap dana sponsor tetap perlu untuk kompetisi seperti sekarang ini dan 55 orang (9,8%) menganggap lebih tepat dipakai untuk menggaji pemain nasional setinggi-tingginya. Memang, kalau saja pemain nasional bergaji tinggi, ada dampaknya. Selain bisa membangkitkan kebanggaan, juga semangat berkompetisi untuk masuk ke tim nasional. Siapa tahu langkah ini bisa pula menangkal suap. Hasil angket ini barangkali belum mewakili suara para "gila bola" seTanah Air, tetapi toh ada baiknya didengar dan perlu. Toriq Hadad TB. 1 -------------------------------------------------------------- Mengapa Tak Pernah Menonton Ke Satadion Setahun Terakhir Ini -------------------------------------------------------------- Mutu buruk & membosankan 224 40% Tidak menarik 36 6,4% Ada suap 22 3,9% Takut insiden & cukup di TV 145 25,9% -------------------------------------------------------------- TB. 2 ----------------------------------------------------------- Apa Perlu Galatama Dibubarkan -------------------------------------------------------------- Ya 102 18,2% Tidak 445 79,5% -------------------------------------------------------------- Jika Tak Dibubarkan Lantas? -------------------------------------------------------------- Rombak susunan pengurus 41 7,3% Masukkan pemain asing 143 25,5% Batasi jumlah klub 109 19,5% Bikin prof penuh 179 32% Klub menciptakan penggemar fanatik 29 5,2% -------------------------------------------------------------- TB. 3 -------------------------------------------------------------- Pengurus PSSI Sekarang Ini -------------------------------------------------------------- Kepemimpinan kurang 286 51,1% Terlalu banyak merangkap jabatan di luar PSSI 138 24,6% Kurang mengerti bola 67 12,0% Sudah cukup baik 49 8,8% -------------------------------------------------------------- TB. 4 -------------------------------------------------------------- Kalau Pilih Pengurus PSSI, Kriteria Paling Penting -------------------------------------------------------------- Usia di bawah 40 tahun 22 3,9% Pejabat tinggi pemerintah 34 6,15 Mantan pemain bola senior 290 51,8% Penghasilannya sudah memadai 159 28,4% Tidak tahu 41 7,3% --------------------------------------------------------------
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo