Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH ada kepastian, walau untuk sebagian orang menyakitkan: kesebelasan Indonesia gagal ke Beijing untuk mengikuti Asian Games akhir September nanti. Kepastian itu terjadi setelah tim nasional Indonesia A dibantai kesebelasan Australia 0-3, pada final Piala Kemerdekaan, Sabtu pekan lalu. Anatholy F. Polosin, pelatih Indonesia A asal Soviet, berkomentar dalam bahasa Indonesia, "Anak-anak sudah beri yang mereka bisa main, tapi lawan main bagus." Agaknya, pelatih lulusan Graduated Kazakh Institute of Sports di Moskow yang berusia 54 tahun itu bukan cuma paham omong Indonesia, tetapi betul-betul belajar berbasa-basi khas Indonesia. Peluhnya mengucur deras, membasahi wajahnya yang tegang. Ia kelihatan capek dalam setelan jas abu-abunya. Polosin adalah pelatih yang aktif memberikan instruksi ketika pemain berlaga. Ia duduk di atas sebuah bola di samping para pemain cadangan, didampingi asistennya, Danurwindo, dan manajer tim, Acub Zainal. "Kasihamajzu," teriaknya suatu ketika. Ternyata itu bukan bahasa Soviet, tetapi memberi perintah untuk bek Eryono Kasiha agar maju. Toh sering ia kelihatan geram menahan jengkel. "Mungkin saya harus belajar tata bahasa Indonesia lebih bagus, supaya pemain mengerti," ujarnya, usai pertandingan. Kesebelasan lawan memang punya rekor lebih baik. Dari tiga pertandingan, Australia membobol gawang lawan 12 kali dan tak pernah kemasukan sebuah gol pun. Rekor Indonesia A juga lumayan, memasukkan delapan gol tanpa sekalipun kebobolan, sebelum final. Tapi di final, kesebelasan Indonesia hanya bermain lumayan di babak pertama. Di babak kedua, Ferrel Hattu dkk. kewalahan menghadapi anak buah pelatih Les Scheinflug itu. Apalagi setelah gol kedua hasil kecerobohan pemain belakang Toyo Hartono terjadi, mental tim Indonesia betul-betul hancur. Australia pantas menang. Tim ini disiapkan untuk Pra-Piala Dunia 1994 dan banyak pemain bagus. Misalnya Mike Peterson, yang pernah dua tahun main di Ajax Amsterdam dan tiga pemain tim Pra-Piala Dunia 1990. Mike Peterson dan Tom Mcculloch sudah memperkuat tim nasional masing-masing 30 kali dan 50 kali. Sebenarnya, tim Pra-Piala Dunia 94 ini dilatih oleh Eddy Thomson asal Skotlandia, sedangkan Les Scheinflug melatih tim di bawah 23 tahun yang digodok untuk Olimpiade Barcelona 1992. Sementara itu, tim Indonesia A belum teruji. Memang menang 6-0 dari Singapura, tapi negara pulau itu mengirim tim mahasiswanya. "Mereka rata-rata berusia di bawah 20 tahun," ujar Majid, pelatih Singapura. Menghadapi Malaysia di semifinal, Indonesia "ditolong" wasit dan hakim garis. "Saya hitung sampai 20 kali hakim garis membiarkan posisi off side penyerang Indonesia," kata Carlos Roberto de Carvalho, pelatih Muangthai yang mengamati pertandingan itu. Yang jadi wasit adalah Kil Ki Chul asal Korea Selatan, hakim garisnya Sakka Djamain dan Suwiji, dua-duanya asal Indonesia. Malaysia kalah 0-2. Sudahlah. Sepak bola Indonesia masih perlu banyak belajar sebelum terjun di turnamen bergengsi semacam Asian Games. "Saya harus konsekuen, kami siap tak berangkat ke Beijing," kata Brigjen (Purn.) Acub Zainal, manajer tim kesebelasan nasional. Sekjen KONI Pusat, Sarengat, sudah menyatakan PSSI tak akan berangkat ke Bejing. Ini sesuai dengan komitmen antara KONI dan PSSI, bahwa tolok ukurnya adalah juara di Piala Kemerdekaan. Padahal, menurut sumber TEMPO, para pemain PSSI sudah membuat paspor dan menyelesaikan urusan imigrasi lainnya. Tadinya, sepak bola bersama golf dan softball dimasukkan KONI sebagai prioritas ketiga ke Beijing. Maksudnya, berangkat tanpa target medali. Namun, KONI berubah. Muncul persyaratan bahwa Piala Kemerdekaan jadi tolok ukur. Perjanjian itu dikemukakan secara lisan dalam pertemuan PSSI-KONI. Ibaratnya, "Kami disuruh ganti baju dan ganti sepatu dulu baru boleh ikut," ujar Sekum PSSI Nugraha Besoes. Softball dan golf juga batal ke Beijing. Kalau tim Indonesia A saja begitu buruk mutunya, bagaimana pula Indonesia B. Padahal, Indonesia B hampir seluruhnya diperkuat pemain Galatama. Mereka dihantam 0-7 oleh Australia. Maka, beralasan kalau muncul pertanyaan kritis, apa sebenarnya sumbangan Galatama pada sepak bola nasional. Banyak yang menyebutkan Galatama sudah mundur. "Pemainnya saja malas berlatih. Dan suap sudah merupakan penyakit kronis yang akut," ini komentar pelatih klub BPD Jawa Tengah, Sartono Anwar. Sampai sekarang, ujar pelatih ini, ada pemain -pemain yang masih "dibina" bandar suap. Sartono enggan menyebut nama, padahal ia mengaku tahu. Gaji pemain Galatama yang timpang merupakan potensi suap yang rawan. Pemain yang baru dicoba gajinya cuma Rp 75 ribu sebulan. Yang sudah main penuh tiga kali Rp 175 ribu. Sedang klub besar seperti Pelita Jaya, misalnya, menggaji pemainnya Rp 250-700 ribu. Dan bisa memberi bonus Rp 17,5 juta per pemain ketika keluar sebagai juara Galatama, awal Agustus lalu. Sementara Galatama minim sumbangannya pada tim nasional, perserikatan juga penuh kericuhan. Pekan-pekan ini di Pengadilan Negeri Medan, "Opung" Kamaruddin Panggabean, 71 tahun, tengah bersilat dengan Komda PSSI Sum-Ut, Amru Daulay, S.H. Semula Opung dituduh Amru sebagai dalang penyebab kalahnya PSDS Deli Serdang 1-6 dari Persib Bandung pada Turnamen Universitas Dharma Agung ke-6, Mei lalu. Opung, yang ketika itu Ketua Panitia Penyelenggara, dituduh menginstruksikan agar PSDS mengalah, supaya PSMS Medan tersingkir. Opung kemudian diskors 6 bulan. Kini di pengadilan Opung menggugat Amru Rp 1 milyar untuk pencemaran nama baik. Itulah wajah sepak bola Indonesia sekarang ini. Di lapangan buruk, di luar lapangan juga tak kompak. Toriq Hadad, Yudhi Soerjoatmodjo, Affan Bey, dan Nanik Ismiani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo