Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Suatu Kepuasan "Orang Gila"

Masih ada pembina olah raga tak dapat uang, namun pelatih ini membuka dompet untuk atlet asuhannya. masalahnya perlu ditanyakan.

26 April 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"BERTAMBAH lagi 'orang gila' satu," desah Ir. Rio Tambunan, seorang pembina olahraga tinju nasional. Ia berbicara 5 tahun lalu sewaktu mendengar Benny Tengker mendirikan kamp tinju Benteng AMI/ASMI, Jakarta. Menurut Tambunan, hanya 'orang gila' yang mau mengurus olahraga, yang banyak menyita waktu dan juga menguras kantung sendiri. "Imbalannya cuma kebanggaan. Itu pun kalau anak asuhannya berprestasi," lanjut Tambunan. Kecintaan pada olahraga memang sering membuat orang 'gila'. Ketua Bidan Pembinaan KONI Jawa Timur, Drs. Soewignyo, misalnya. Sekalipun sudah punya 8 putra, ia masih mengambil 4 orang 'anak angkat'. Hingga rumahnya jadi mirip padepokan. Keempat 'anak angkat' Soewignyo itu adalah atlet wanita Sri Winarsih, Lasmi, Mulyani dan Suwarti. Soewignyo melihat mereka punya potensi untuk menjadi atlet berprestasi. "Seandainya tidak ikut Pak Soewignyo ke Surabaya, barangkali setamat SMP dulu saya sudah kawin," kata Sri. Sri, asal Desa Nggawang, Blitar, ditemui Soewignyo dalam Pekan Olahraga Pelajar Seluruh Indonesia (POPSI) 1975 di Jakarta. Empat musim kemudian Sri berhasil mematok rekor baru nasional lari 400 m gawang putri. Waktu tempuhnya 64,2 detik (rekor lama 64,8 detik atas nama Eklivina Rumayauw). Sri, yang berijazah SMEA, kini mengikuti kursus Tata Buku dan Bahasa Inggris. Sukses Sri itu membuat Soewignyo tambah keranjingan. Tahun 1978 ia memboyong Mulyani dan Suwarti dari Desa Jogorogo. "Sebagai Ketua PASI saya sering melihat kejuaraan di daerah terpencil," kata Soewignyo. "Hingga tahu kalau ada atlet berbakat." Di Jawa Timur, ia memang menjabat Ketua I PASI. Soewignyo, meskipun hidup dengan gaji pegawai negeri, tidak merasa berat dengan tambahan anggota keluarganya. Biaya hidup, termasuk ongkos sekolah, atlet yang bersangkutan ditanggungnya semua. "Kami diperlakukan seperti anak sendiri," ujar Mulyani. Beberapa atlet lain ingin pula menjadi 'keluarga' Soewignyo. Tapi kapasitas tampungnya pun terbatas. "Kalau saj anggota Muspida mau mengangkat satu anak tiap orang, wah, itu menyenangkan sekali," kata Soewignyo yang juga menjabat Dekan Fakultas Keguruan Ilmu Keolahragaan IKIP, Surabaya. Untuk meningkatkan prestasi di lapangan, Soewignyo tidak turun tangan sendiri. Ia mempercayakan tugas itu kepada pelatih atletik PASI Jawa Timur. Tak heran jika ia tak begitu menonjol untuk dipersaingkan sebagai Pembina Terbaik menurut versi Departemen Olahraga (d/h SIWO) PWI. Juga berjasa tapi tak dikenal secara nasional ialah pembina seperti Ismail Hasyim dari Bandung. Ia sudah 23 tahun berkecimpung dalam dunia tenis meja Jawa Barat. Pernah dibinanya pemain nasional seperti Shinta Siregar, Beatrix Pieterz, dan Noval Pesulima. Ismail, pegawai sipil Inminad dengan golongan II/C, tidak mampu menampung orang seperti Soewignyo. Tapi terhitung besar pengorbanannya sebagai pelatih di Klub VVV maupun tingkat daerah. Bayangkan, tiap hari sepulang dari kantor ia langsung menangani atlet, dan baru pulang sekitar jam 23.00. Dan semua itu tanpa imbalan. Sekalipun pernah menangani pemain top, Ismail belum berkesempatan mengasuh tim nasional. Mungkin ini karena sikap orang di pusat yang menyepelekan pembina maupun pelatih di daerah. "Pemain daerah yang telah menjadi milik bangsa diakui begitu saja sebagai hasil pembinaan nasional. Hal ini sangat menyakitkan hati," cerita Ismail. Di Medan, ada pembina bernama Robert (Bob) Tumpal Hutauruk, 37 tahun, 'orang gila' PABSI. Kerjanya sehari-hari ngobyek apa saja. Ia tak segan membuka kocek pribadi untuk atlet angkat besi dan binaraga asuhannya. Pernah sewaktu membawa tim ke Singapura, Kuala Lumpur dan Bangkok, Hutauruk berangkat dengan dana yang dicarinya sendiri. Berhubung adanya kejuaraan nasional di Pekan Baru akhir Mei, katanya. "sejak sekarang kami sudah mulai lintang pukang mengumpulkan biaya untuk memberangkatkan tim. " Dalam pengabdiannya selama 15 tahun Hutauruk merasa cukup senang jika anak asuhannya berprestasi. Drs. Komaidi, pemegang medali emas angkat besi di kelas ringan junior waktu kejuaraan nasional 1979 di Jakarta, menjadi kebanggaannya. Lain pula cerita bekas pembalap sepeda nasional Sanusi, kini pelatih di PBSMS, Medan. Untuk hidup sehari-hari, ia menarik becak, sementara istrinya, Erma membuat kantung ketupat. Kini becaknya telah terjual. Tapi ia tetap melatih 4 kali seminggu dengan honor yang tak menentu, dan tak dihargai pula. "Kalau tahu bakal begini, saya tidak pulang ketika di Italia dulu," katanya. "Di sana jadi tukang sapu pun bisa hidup senang." Di Italia tahun 1960-an, Sanusi mengikuti kejuaraan balap sepeda internaslonal. Iswadi Idris Di Jakarta, juga ada yang bekerja tanpa pamrih seperti Joel E. Lambert, pembina sepakbola bocah Merdeka Boys Football Association. Pegawai Departemen P8zK dengan golongan II/B ini sudah berkecimpung di lapangan bola sebagai pelatih selama 30 tahun. Iswadi Idris, Bob Hippy, Berty Tutuarima, dan sejumlah pemain nasional lainnya pernah dibinanya. "Mereka itulah kebanggaan saya," katanya. Seringkali pelatih ini, sekalipun bergaji kecil, membuka dompetnya untuk anak asuhannya. Lelyana Tjandrawidjaja telah terkenal sebagai pelari jarak jauh nasional, tapi belum banyak kedengaran sebagai pembina. Hasil pembinaannya di Klub Union Makes Strength (UMS) yang bisa dibanggakan adalah Starlet, juara nasional lomba lari 800 m dan 1.500 m. "Kegembiraan untuk seorang pelatih adalah kalau anak asuhannya berprestasi," kata Lelyana. Targetnya dalam waktu dekat ini ialah mengorbitkan Starlet sebagai juara Asia. Diungkapkannya dari melatih ia tidak memperoleh sepeser pun. Tapi ia tidak mengeluh. Ia menikmati rasa kekeluargaan dari mereka yang dibinanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus