"BERTAMBAH lagi 'orang gila' satu," desah Ir. Rio Tambunan,
seorang pembina olahraga tinju nasional. Ia berbicara 5 tahun
lalu sewaktu mendengar Benny Tengker mendirikan kamp tinju
Benteng AMI/ASMI, Jakarta.
Menurut Tambunan, hanya 'orang gila' yang mau mengurus
olahraga, yang banyak menyita waktu dan juga menguras kantung
sendiri. "Imbalannya cuma kebanggaan. Itu pun kalau anak
asuhannya berprestasi," lanjut Tambunan.
Kecintaan pada olahraga memang sering membuat orang 'gila'.
Ketua Bidan Pembinaan KONI Jawa Timur, Drs. Soewignyo,
misalnya. Sekalipun sudah punya 8 putra, ia masih mengambil 4
orang 'anak angkat'. Hingga rumahnya jadi mirip padepokan.
Keempat 'anak angkat' Soewignyo itu adalah atlet wanita Sri
Winarsih, Lasmi, Mulyani dan Suwarti. Soewignyo melihat mereka
punya potensi untuk menjadi atlet berprestasi. "Seandainya tidak
ikut Pak Soewignyo ke Surabaya, barangkali setamat SMP dulu saya
sudah kawin," kata Sri.
Sri, asal Desa Nggawang, Blitar, ditemui Soewignyo dalam Pekan
Olahraga Pelajar Seluruh Indonesia (POPSI) 1975 di Jakarta.
Empat musim kemudian Sri berhasil mematok rekor baru nasional
lari 400 m gawang putri. Waktu tempuhnya 64,2 detik (rekor lama
64,8 detik atas nama Eklivina Rumayauw). Sri, yang berijazah
SMEA, kini mengikuti kursus Tata Buku dan Bahasa Inggris.
Sukses Sri itu membuat Soewignyo tambah keranjingan. Tahun 1978
ia memboyong Mulyani dan Suwarti dari Desa Jogorogo. "Sebagai
Ketua PASI saya sering melihat kejuaraan di daerah terpencil,"
kata Soewignyo. "Hingga tahu kalau ada atlet berbakat." Di Jawa
Timur, ia memang menjabat Ketua I PASI.
Soewignyo, meskipun hidup dengan gaji pegawai negeri, tidak
merasa berat dengan tambahan anggota keluarganya. Biaya hidup,
termasuk ongkos sekolah, atlet yang bersangkutan ditanggungnya
semua. "Kami diperlakukan seperti anak sendiri," ujar Mulyani.
Beberapa atlet lain ingin pula menjadi 'keluarga' Soewignyo.
Tapi kapasitas tampungnya pun terbatas. "Kalau saj anggota
Muspida mau mengangkat satu anak tiap orang, wah, itu
menyenangkan sekali," kata Soewignyo yang juga menjabat Dekan
Fakultas Keguruan Ilmu Keolahragaan IKIP, Surabaya.
Untuk meningkatkan prestasi di lapangan, Soewignyo tidak turun
tangan sendiri. Ia mempercayakan tugas itu kepada pelatih
atletik PASI Jawa Timur. Tak heran jika ia tak begitu menonjol
untuk dipersaingkan sebagai Pembina Terbaik menurut versi
Departemen Olahraga (d/h SIWO) PWI.
Juga berjasa tapi tak dikenal secara nasional ialah pembina
seperti Ismail Hasyim dari Bandung. Ia sudah 23 tahun
berkecimpung dalam dunia tenis meja Jawa Barat. Pernah dibinanya
pemain nasional seperti Shinta Siregar, Beatrix Pieterz, dan
Noval Pesulima.
Ismail, pegawai sipil Inminad dengan golongan II/C, tidak mampu
menampung orang seperti Soewignyo. Tapi terhitung besar
pengorbanannya sebagai pelatih di Klub VVV maupun tingkat
daerah. Bayangkan, tiap hari sepulang dari kantor ia langsung
menangani atlet, dan baru pulang sekitar jam 23.00. Dan semua
itu tanpa imbalan.
Sekalipun pernah menangani pemain top, Ismail belum
berkesempatan mengasuh tim nasional. Mungkin ini karena sikap
orang di pusat yang menyepelekan pembina maupun pelatih di
daerah. "Pemain daerah yang telah menjadi milik bangsa diakui
begitu saja sebagai hasil pembinaan nasional. Hal ini sangat
menyakitkan hati," cerita Ismail.
Di Medan, ada pembina bernama Robert (Bob) Tumpal Hutauruk, 37
tahun, 'orang gila' PABSI. Kerjanya sehari-hari ngobyek apa
saja. Ia tak segan membuka kocek pribadi untuk atlet angkat besi
dan binaraga asuhannya. Pernah sewaktu membawa tim ke Singapura,
Kuala Lumpur dan Bangkok, Hutauruk berangkat dengan dana yang
dicarinya sendiri.
Berhubung adanya kejuaraan nasional di Pekan Baru akhir Mei,
katanya. "sejak sekarang kami sudah mulai lintang pukang
mengumpulkan biaya untuk memberangkatkan tim. " Dalam
pengabdiannya selama 15 tahun Hutauruk merasa cukup senang jika
anak asuhannya berprestasi. Drs. Komaidi, pemegang medali emas
angkat besi di kelas ringan junior waktu kejuaraan nasional 1979
di Jakarta, menjadi kebanggaannya.
Lain pula cerita bekas pembalap sepeda nasional Sanusi, kini
pelatih di PBSMS, Medan. Untuk hidup sehari-hari, ia menarik
becak, sementara istrinya, Erma membuat kantung ketupat. Kini
becaknya telah terjual. Tapi ia tetap melatih 4 kali seminggu
dengan honor yang tak menentu, dan tak dihargai pula. "Kalau
tahu bakal begini, saya tidak pulang ketika di Italia dulu,"
katanya. "Di sana jadi tukang sapu pun bisa hidup senang." Di
Italia tahun 1960-an, Sanusi mengikuti kejuaraan balap sepeda
internaslonal.
Iswadi Idris
Di Jakarta, juga ada yang bekerja tanpa pamrih seperti Joel E.
Lambert, pembina sepakbola bocah Merdeka Boys Football
Association. Pegawai Departemen P8zK dengan golongan II/B ini
sudah berkecimpung di lapangan bola sebagai pelatih selama 30
tahun. Iswadi Idris, Bob Hippy, Berty Tutuarima, dan sejumlah
pemain nasional lainnya pernah dibinanya. "Mereka itulah
kebanggaan saya," katanya. Seringkali pelatih ini, sekalipun
bergaji kecil, membuka dompetnya untuk anak asuhannya.
Lelyana Tjandrawidjaja telah terkenal sebagai pelari jarak jauh
nasional, tapi belum banyak kedengaran sebagai pembina. Hasil
pembinaannya di Klub Union Makes Strength (UMS) yang bisa
dibanggakan adalah Starlet, juara nasional lomba lari 800 m dan
1.500 m. "Kegembiraan untuk seorang pelatih adalah kalau anak
asuhannya berprestasi," kata Lelyana. Targetnya dalam waktu
dekat ini ialah mengorbitkan Starlet sebagai juara Asia.
Diungkapkannya dari melatih ia tidak memperoleh sepeser pun.
Tapi ia tidak mengeluh. Ia menikmati rasa kekeluargaan dari
mereka yang dibinanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini