KINI kiblat tenis meJa dunia berpindah dari daratan Asia ke Eropa. Swedia menggusur dominasi Cina di arena itu. Pada Kejuaraan Dunia Tenis Meja ke-40 yang berakhir Minggu lalu di Westfallen Hallen Dortmund, Jerman Barat, tim Swedia merebut dua gelar di nomor bergengsi: beregu putra dan tunggal putra. Di nomor beregu putra, untuk pertama kalinya dalam final kejuaraan dunia, juara bertahan Cina dipecundangi trio Swedia -- Jan Ove Waldner, Mikael Applegren, dan Jorgen Persson -- tanpa balas, 5-0. Bahkan di nomor tunggal putra -- yang sudah 20 tahun didominasi pemain-pemain Cina -- justru terjadi All Swedian Final. Sebelum ini, Swedia tiga kali dihadang Cina dalam kejuaraan serupa. Kini pemain Swedia mampu membalikkan ambisi pemain negara tirai bambu itu. Kemenangan ini mengingatkan kembali kejayaan Swedia, tatkala trio Stellan Bengtsson, Kjell Johansson. dan Bo Persson, meraih gelar serupa di Sarajevo, Yugoslavia, 1973. Ini berarti, Swedia adalah satu-satunya negara di Eropa yang mampu merebut dua kali gelar juara putra beregu, terhitung sejak bergabungnya Cina di gelanggang tenis meja dunia, 1961. "Kami memang sudah mempersiapkan diri selama 10 tahun untuk mengalahkan pemain-pemain Cina yang mempunyai tipe menyerang," ujar Glenn Osth, pelatih tim nasional Swedia, seusai kejuaraan. Unggulan kedua tunggal putra, Jan Ove Waldner, 23 tahun, melengkapi kebangkitan Swedia di arena tenis meja. Di final Waldner mengalahkan rekan senegaranya Jorgen Persson -- unggulan ke-6 -- dalam maraton set 21-17, 21-18, 20-22, 18-21, dan 21-10. Sebelumnya, di semifinal Waldner menghentikan pemain veteran Andrej Grubba dari Polandia. Sedangkan Persson menggulingkan satu-satunya harapan Cina, Yu Shentong -- yang mengalahkan rekan senegaranya unggulan pertama, Jiang Jialiang di perempatfinal. Di bagian putra, peta kekuatan sudah mencapai titik balik. Pemain-pemain Cina yang nyaris tak tergoyahkan dalam setiap kejuaraan dunia -- minimal meraih 4 gelar dari 7 gelar yang perebutkan sejak 1971 kini mengalami krisis. Prestasinya jauh menurun. Sebenarnya hal itu sudah terlihat dalam kejuaraan penting selama tiga tahun terakhir ini. Di Asian Games Seoul 1986 misalnya, gelar juara beregu dan tunggal putra direbut pemain-pemain tuan rumah, Korea Selatan. Begitu juga di Olimpiade Seoul, tahun lalu, juara tunggal putra direbut Yoo Nam-Kyu, juga dari Korea Selatan. Dan yang lebih parah lagi, tak satu pun pemain Cina yang mampu mencapai babak final di arena duel Eropa-Asia, awal tahun ini di Bangkok. Duel yang hanya mempertandingkan tunggal putra ini dihadiri 24 pemain tenis meja terbaik dunia. Saat itu gelar juara diraih petenis meja muda usia Korea Selatan, Kim Taik Soo. Pada kejuaraan dunia di Jerman Barat ini, nama Cina masih diselamatkan oleh keperkasaan tim putrinya -- baik di nomor beregu maupun perseorangan. Jika tim putranya tidak mampu merebut satu gelar pun, putri-putri Cina memboyong tiga gelar: juara beregu, ganda, dan tunggal. Di nomor ganda putri, Cina benar-benar memperlihatkan kekuatannya dengan menempatkan 4 pasangan di semifinal. Hanya saja, Chen Jing, juara dunia 1987 -- yang -- diharapkan mampu mempertahankan gelar tunggal putri -- ternyata keok di semifinal oleh Li Bun Hui, dari Korea Utara. Tapi gelar itu diselamatkan Qiao Hong, 20 tahun. Kemenangan Qiao ini menjadikan Cina merajai nomor tunggal putri selama 6 kali kejuaraan berturut-turut. Bahkan secara mengejutkan Qiao -- berpasangan dengan Deng Yaping -- juga merebut gelar ganda putri. Tuan rumah Jerman Barat tidak mau ketinggalan. Ia meraih satu gelar, yakni ganda putra, melalui pasangan Jorg Rosskof/Steffen Fetzner. Di final pasangan ini menundukkan pasangan gado-gado Polandia/Yugoslavia, Laszek Kucharski/Zoran Kalinic, 18-21, 21-17, dan 21-19. Kuda hitam Korea Selatan hanya kebagian satu gelar, yakni ganda campuran -- lewat pasangan Yoo Nam Kyu/Hyun Jung Hwa. Akan halnya Indonesia yang mengirimkan 9 pemain (5 putra dan 4 putri) harus puas di tempat ke-33 beregu putra dan ke-25 untuk beregu putri, tanpa menggondol juara apa-apa. Bagi regu putera, hasil ini merupakan kemunduran 3 tingkat dibandingkan dengan prestasi di tahun silam di New Delhi, India. Sedangkan regu putrinya naik 2 tingkat. Di nomor perorangan, pemain nasional -- yang dipersiapkan ke SEA Games XV di Kuala Lumpur, Agustus mendatang -- hanya sampai di babak pertama. Kiat Swedia memasyarakatkan tenis meja mungkin patut dipelajari. Padahal, semula olah raga ini tak banyak digandrungi oleh penduduk Swedia yang berjumlah sekitar 8,4 juta. Jika dibandingkan dengan olah raga tenis lapangan yang melahirkan nama-nama seperti Mats Wilander dan Stefan Edberg, tenis meja hanya menempati urutan kelima ada bawah hoki es, ski, sepak bola dan tenis lapangan. Menurut Glenn Osth, fasilitas yang memadai dibarengi dengan pengabdian para pelatih yang tak mengenal lelah membuat olah raga pingpong ini berkembang dengan pesat. Di sana, siapa pun boleh berlatih di gelanggang olah raga yang sudah disediakan, tanpa dipungut bayaran. "Di setiap gelanggang tersedia pelatih yang siap mengawasi," tutur Osth. Bila seorang anak mempunyai bakat, dia akan dibina secara khusus. "Dan pembinaan terhadap mereka dilakukan sedini mungkin, saat usia mereka di bawah 15 tahun." Bukan aspek teknis saja yang diajarkan kepada atlet-atlet cilik berbakat itu. Untuk pembinaan mental, mereka dilatih ala militer sekitar setahun, di samping diajarkan juga masalah sportivitas dan sosial. Sekarang di Swedia terdapat sekitar 13 ribu pemain tenis meja. "Keuntungan kami kali ini pemain-pemain berbakat muncul secara bersamaan sehingga kekuatan tim cukup merata," kata Osth bangga. Rudy Novrianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini