PAK Kromo dan ketiga anaknya terus menggali kubur leluhurnya. Seorang cucu menemaninya. Tulang-tulang dan tengkorak keluarganya dikumpulkan dan dibungkus daun pisang. Lalu diikatnya. Mereka bekerja berpacu dengan waktu. Seb.lb, air memallg terus meningkat daya genangnya. Di sekitar ubur sudah mulai becek. Untung, lahan kubur ini agak di ketinggian. Namun, jika mereka lengah sedikit, air akan menyantapnya, dan penggalian sudah tidak mungkin dilakukan. Pak Kromo adalah seorang warga yang patuh. Ketika diminta indah, ia segera menyanggupinya. Ketika menerima uang ganti tanahnya, ia tidak bertanya atau berkomentar. Hampir-hampir ia tidak menghitung jumlah uangnya. Ia -- bersama keluarganya langsung mengemasi barang-barang miliknya, termasuk mbedo, membongkar, rumahnya. Lalu ia dirikan kembali di permukiman baru. Pak Kromo dan keluarganya -- tiga anak dan tiga menantu, ditambah delapan cucu -- kelihatannya baik-baik saja. Ia yang pendiam mewariskan wataknya kepada ketiga anaknya. Bahkan kepada para menantunya. Mereka memilih bekerja keras, misalnya, daripada menghadiri rapat-rapat RT. Inilah keluarga yang tenteram . Jika sekarang Pak Kromo gelisah, itu disebabkan memikirkan kubur leluhurnya. Ia yakin, kubur leluhur adalah harta terakhir tiap orang. Siapa pun orangnya--baik orang desa maupun orang kota - sangat menghormati kubur leluhur. Jangankan kubur Ieluhur, terhadap kubur orang lain pun orang sangat menghormatiya. Jika ada orang tidak dapat menghormati kubur, itu artinya bukan orang. Kubur leluhur sering dianggap lebih penting daripada rumah sendiri. Ia harus terawat baik. Bersih dan dapat mendatangkan perasaan nyaman. Dalam hati Pak Kromo, kubur haruslah mendatangkan wibawa, hingga keluarga yang masih hidup tetap mengingatnya. Jika tidak demikian, hubungan dengan leluhur tidak lebih dari hubungan dengan semak belukar. Ikatan batin yang tumbuh dapat menghujam makin dalam ke kubur leluhur, suatu ikatan batin antara dunia dan akhirat. Pak Kromo tertegun bahwa selama berembuk mengenai ganti rugi tanah, pembicaraan tentang kubur tidak ada sama sekali. Ia menjadi takut, karena lupa. Dan ini dosa besar. Betapa roh luhur akan marah dahsyat dan menguber-uber hidupnya terus-menerus. Lalu ia memisalkan dirinya yang terbaring di sana, dan anak cucunya tidak mempedulikannya, betapa hatinya akan luka. Ia ingat, itulah salah satu sebab yang menopang semangat Pangeran Diponegoro mengangkat senjata melawan penjajah. Ia banyak mendapat pelajaran dari hal kubur itu. Orang-orang kota datang berduyun membawa tulisan-tulisan. Mereka muda-muda dan kelihatan bergembira. Mereka menyanyi. Lalu mereka tiduran di sembarang tempat. Baju mereka bagus-bagus. Mereka sungguh nampak sehat-sehat. Sekilas Pak Kromo membayangkan cucu-cucunya kelak juga sehat-sehat, berpakaian pantas, cerdas, penuh semangat, dan pandai bergembira. Orang-orang muda itu tentu meluhurkan kubur, pikir Pak Kromo. Meski mereka kelihatan bertingkah laku bebas, Pak Kromo yakin, jika mereka berjalan melewati kubur tentu langsung cek-klakep, diam meredam, untuk tidak mendatangkan cemooh bagi yang terbaring. Pak Kromo ingat bagaimana Pak Kiai wanti-wanti, sambil mengutip sabda Kanjeng Nabi Muhammad, bahwa daripada tidak menghargai kubur lebih baik berdiri selama empat puluh tahun lamanya. Dan Pak Kromo selalu gemetar jika ingat pesan itu. Apakah orang-orang muda itu juga mendapat semangat dari Kanjeng Nabi, itu pertanyaan Pak Kromo. Yang terang, mereka berwajah cerah, dan itu tercurah dalam tulisan-tulisan mereka di atas kertas putih yang besar. Mereka selalu mengacung-acungkan tulisan mereka yang banyak bertebaran. Tuhan, merasuklah kekuatan-Mu ke sanubariku supaya aku mampu bertahan terhadap kesewenang-wenangan Ini zaman bebal, Tuhan Orang edan gentayangan menginjak-injak pekarangan orang tanpa sungkan-sungkan Tuhan lama sudah aku menunggu datangnya nabi tapi yang nongol ternyata gergasi Aku memandang jauh: kuman di Kedongombo nampak gajah di pelupuk mata tak nampak Tolong, Tuhan, tolong, merasuklah kekuatan-Mu ke sanubariku Tapi Pak Kromo dan ketiga anaknya berlalu. Ia tak paham tentang semuanya itu. Apa hubungan tulisan itu dengan kubur, begitu pikirnya. Ia ingin diam dan hanya ingin tinggal tenteram bersama tulang-tulang leluhurnya. Ia peluk tulang-tulang itu, seperti memeluk kebijaksanaan. Ia tanam kembali tulang-tulang leluhurnya di kubur baru yang ia ciptakan. Ia bersyukur. Ia memandang jauh ke langit. Rasanya, jari tangannya mengetuk pintu langit tempat Tuhan bertakhta. Ia hanya ingin laporan bahwa ia telah menepati janjinya. Pak Kromo merasa ikut membangun kembali kampung akhirat Allah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini