PASAR terbakar dan kemudian dibangun lagi, lumrah. Tapi tak begitu dengan kasus Pasar Anyar Bogor. Begitu pasar baru dan megah dengan nama Kebon Kembang Plaza akan diresmikan berbagai kabar buruk pun beredar. Misalnya, ada tuduhan bahwa pasar itu sengaja dibakar, agar pembangunannya bisa diobyekkan. Selain itu ada kabar bahwa penjualan kios pasar itu sengaja dimanipulasi sehingga PPN (Pajak Pertambahan Nilai) yang disetor ke pemerintah kecil dibanding yang dibayar para pedagang. Berkat permainan itu, konon, milyaran rupiah masuk ke kantung developer PT Braja Mustika. Akibat berbagai dugaan itu, pekan-pekan ini Tim Pemeriksa Irjen Departemen Dalam Negeri terpaksa turun tangan. Tapi, sebelum tim itu bekerja lebih jauh, "korban" sudah jatuh. Rabu pekan lalu, Kasubag Pembinaan Perekonomian Daerah Kodya Bogor, Cece Suparman, meninggal dunia. Ceritanya, Rabu siang itu Cece diminta keterangannya oleh Tim Irjen (Drs. H.M. Said, Drs. J. Wideo Basen, dan Ir. Sapto Supomo) soal pembangunan Pasar Anyar itu. Selesai itu, Cece yang punya penyakit darah tinggi merasakan badannya tak enak, lalu ke dokter. Dalam perjalanan pulang ke rumah Cece meninggal. Pasar Anyar (blok I dan II) terbakar pada 2 Juni 1987, tepat pada ulang tahun Kodya Bogor. Pada 20 Juni dibangunlah 1.000 kios darurat di samping lokasi kebakaran oleh Dinas Pasar setempat. Hanya saja, sampai kini belum jelas ke kas mana uang hasil penjualan kios Rp 450 juta masuk. Tapi yang lebih ramai dari itu memang cerita pembangunan kembali pasar itu oleh PT Braja Mustika (BM). Kontrak kerja pembangunannya 1 Oktober 1987 ditandatangani Wali Kota Bogor, ketika itu, Ir. Muhammad, dan Arief Dharyanto selaku Dirut PT BM. Empat bulan setelah ditandatangani, barulah kontrak itu disampaikan ke DPRD. Pada perjanjian itu disebutkan total investasi pembangunan pasar di atas tanah 18.650 meter persegi berlantai II itu sebesar Rp 6,5 milyar. Dan mengenai pengembalian investasi itu, developer diberi hak sepenuhnya untuk: "Menjual seluruh kios yang dibangun, dengan harga yang layak, kecuali lantai semi-basement yang harus diserahkan kepada Pemda Kodya Bogor." Klausal di atas itu kemudian menimbulkan berbagai penafsiran. Ada yang menuduh kontrak itu sebagai "permainan" antara Wali Kota dan developer. Sebab, pada pembangunan Pasar Anyar sebelum ini -- dikerjakan developer lain -- dijelaskan rinci total investasi, termasuk rencana penjualan kios, tapi pada perjanjian antara Ir. Muhammad dan Arief Dharyanto "gundul" saja. Akibatnya, biaya pembangunan pasar itu berubah-ubah. Kepada TEMPO, Arief bilang biayanya Rp 6,5 milyar. Lalu diralat jadi Rp 12 milyar dan diperbaiki lagi jadi Rp 9 milyar. Sedang kepada Wali Kota Bogor, ia menyodorkan angka Rp 12,3 milyar lebih. Sementara itu, dalam perhitungan Pemda Kodya Bogor per 1 April 1989, biaya yang dikeluarkan developer hanya sekitar Rp 7 milyar. Perbedaan taksiran inilah yang membuat harga jual kios melambung, dan tentu saja keuntungan developer membengkak. Arief, yang punya hak menjual dengan harga "layak" itu, memasang tarif Rp 1,7 juta sampai Rp 4 juta per meter persegi. "Apakah itu bukan harga gila?" kata seorang pedagang di Pasar Anyar yang tak mau disebut namanya. Akibat lebih jauh, komposisi pedagang di pasar itu, yang semula 70 persen pribumi dan 30 persen nonpri, berubah sebaliknya. Berkat kewenangan menentukan tarif kios itulah, kabarnya. Arief bisa mengeduk uang Rp 30 milyar lebih. Atau paling tidak keuntungan bersih Rp 20 milyar lebih -- setelah dipotong investasi yang ditanamkan. Belum lagi adanya permainan PPN dan bea meterai yang dilakukan Arief atas 85 persen kios (dari 1.168 kios) yang terjual. Sebagai contoh: kios di blok E lantai I nomor 4, dalam catatan Arief, dijual Rp 1,7 juta per meter persegi. Tapi kenyataannya pemilik kios itu membelinya Rp 3,3 juta per meter persegi (termasuk PPN). Kios di sampingnya, yang bernomor 5, menurut Arief, dijual Rp 2,5 juta per meter, tapi pemiliknya mengaku membeli Rp 3,850 juta/m2. "Perbuatannya ini merugikan pemerintah. Arief menggelapkan pendapatan negara," kata sumber TEMPO. Permainan harga kios itu tentu saja dibantah Ir. Muhammad, yang 7 Maret lalu menyerahkan jabatan wali kota kepada penggantinya, Drs. Suratman. Penetapan kios itu, "bukan seperti padi, yang harus ditentukan harga dasarnya," kata Muhammad 50 tahun. Sebab, harga itu tak lepas dari kualitas dan prasarana bangunan pasar itu. Bahwa kemudian ada pedagang ribut, itu wajar. "Namanya pedagang, harga dua perak akan ditawar jadi seperak," katanya. Membengkaknya biaya investasi dari Rp 6,5 milyar menjadi Rp 12 milyar, bagi Ir. Mohammad, juga tak jadi soal. "Sebab, semakin besar investasi, semakin menguntungkan pemda. Pasar itu kan aset pemda," kata Mohammad, yang menjadi calon kuat Bupati Sukabumi itu. Seperti juga Mohammad, Arief menyesalkan sikap pedagang yang ribut-ribut. "Mereka sulit diatur. Maunya hanya hanya korting harga melulu," kata Arief. Tapi ia mengakui bahwa harga jual kiosnya agak mahal dibanding pasar-pasar lainnya. Dan kepada TEMPO Arief mengaku sudah berhasil memasarkan kiosnya 85 persen, sebesar Rp 15 milyar. Kelebihan dari investasi? "Lho, bagian itu keuntungan saya, dong," kata Arief, 46 tahun, tangkas. Tak jelas memang apakah benar begitu aturannya. Tapi begitulah yang diyakini Arief. "Saya kan yang menanggung risiko rugi. Nah, kalau rugi, siapa yang merasakan, kan saya juga. Begitu juga kalau untung," katanya. Soal tudingan bermain PPN dan bea materai, ia tak bergeming. "Ah, itu bohong. Itu cuma omongan pedagang yang tak bisa beli dan berkoak-koak di luar," lanjutnya gregetan. Pendeknya, atas segala tudingan itu, Arief siap diperiksa. "Tak ada yang saya takuti. Saya siap menjawab pertanyaan siapa pun," katanya. Sementara itu, Ketua Tim Pemeriksa Irjen Departemen Dalam Negeri. Drs. H.M. Said, tak mau memberikan keterangan. "Kasus ini sedang kami periksa dan sudah hampir selesai," katanya. Akibat ribut-ribut itu, peresmian pasar Kebon Bunga Plaza diundurkan. Entah sampai kapan.Widi Yarmanto, Agung Firmasyah (Jakarta), dan Hedy Susanto (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini