LUPAKAN dulu bintang-bintang lapangan hijau Brasil seperti Pele, Zico, atau Romario Faria, yang kini sedang top di PSV Eindhoven, Belanda. Di arena balap mobil, Brasil juga punya Emerson Fittipaldi, juara dunia balap mobil 1972 dan 1974 itu. Bahkan ada Nelson Piquet, Nigel Mansell, dan Roberto Moreno. Sudah lupa juga? Jika ya, nah, ini dia bintang baru Brasil di dunia balap yang melesat laksana meteor: Ayrton Senna. Senna makin meroket setelah Ahad pekan lalu di Grand Prix Monaco berhasil memacu mobil McLaren MP4/5-nya paling depan dan menyelesaikan 77 lap dengan waktu tersingkat: 1 jam 53 menit 33,251 detik. Kemenangan Senna di Kota Monte Carlo itu mempecundangi saingan berat dan rekan satu timnya di McLaren-Honda: Alain Prost. Padahal, Prost bukan anak ingusan di dunia balap. Pembalap Prancis berusia 34 tahun ini dua kali juara dunia (1985 dan 1986), tiga kali runner up dunia dan 139 kali ikut grand prix. Tahun ini bukan milik Alain Prost lagi. Di Grand Prix Brasil, Maret lalu, yang mengawali musim balap formula satu tahun ini, Prost hanya bisa masuk 10 Besar. Cuma saja, Prost tak terlalu dibuat malu karena Senna juga sial. Mobilnya bersenggolan di garis start dan akhirnya Senna terlempar dari 10 besar. Pembalap Brasil lainnya Nigel Mansell yang bertanding dengan mobil Ferrari keluar sebagai juara. Setelah Grand Prix Brasil, Ayrton Senna seperti tak terhadang. Di Grand Prix San Morino di Imola, April lalu, pembalap Brasil yang kini menetap di Inggris itu herada di tempat terdepan dan merebut nilai 9 -- angka tertinggi dalam balap mobil formula satu itu. Di San Morino itulah pertama kali dalam tahun ini Prost menyerah dari Senna. Prost yang berambut gondrong itu berada di urutan kedua. Prost sangat kesal atas kekalahannya itu. Sebagai pembalap andalan McLaren-Honda, sebenarnya ia punya perjanjian tak tertulis dengan rekan timnya, Ayrton Senna: siapa yang duluan start, dia yang harus diberi kesempatan menang. Prostlah yang lebih dahulu melesat. Karena itu, ia merasa aman. Namun, Senna rupanya bosan terus-terusan jadi pelicin jalan kemenangan Prost. Dan melesatlah Senna menembus finish, hanya 0,54 detik di depan Prost. Saking jengkelnya Prost, ia menolak menjabat tangan Senna di panggung penghormatan pemenang. Setelah kejadian itu, kedua pembalap ini tampaknya berbaik-baik. Namun, pada Grand Prix berikutnya di Monte Carlo, Monaco, yang merupakan balapan seri ketiga, keduanya bertarung habis-habisan. Sirkuit yang berkelok-kelok dan dikenal sangat berbahaya itu merupakan pertandingan Prost-Senna. Monte Carlo memang jadi saksi persaingan dua jago balap itu. Tahun lalu, Prost mengalahkan Senna di ibu kota Monaco itu. Kali ini Senna luar biasa. "Ia bertarung seolah tanpa cacat," puji pers setempat. Padahal, di lap-lap awal, gigi satu persnelingnya rontok. Memasuki lap-lap pertengahan dari 77 laps, gii dua mobil Senna juga "ngadat". Untung saja, "Prost tak tahu saya mengalami kesulitan dengan mesin saya," ujar Senna. Ia masuk finish 50 detik di depan Prost. Tapi Prost masih bisa menghibur diri. Sampai seri ketiga, ia masih bisa mengumpulkan nilai 18 dan memimpin seri balap tahun ini bersama Senna. Senna dilahirkan di Sao Paulo, Brasil, 29 tahun lalu, dari keluarga yang dekat dengan urusan mobil. Ayahnya, Milton Senna da Silva, bekerja di perusahaan perakitan mobil. Pada usia empat tahun, Senna kecil sudah mendapat hadiah go-kart dari ayahnya. Bakat balap rupanya mengalir deras dalam darahnya. Di usia 14 tahun ia sudah menjuarai sebuah balap mobil lokal di Sao Paulo. Karier Senna berkembang ketika ia menginjak dataran Inggris pada 1980. Mulanya ia hanya sebagai tenaga penguji mobil di perusahaan The Van Diemen Company di negeri itu. Melihat bakatnya, Senna diberi kesempatan membalap dengan mobil formula empat. Fantastis, ia memenangkan 22 dari 28 race yang diikutinya. Anehnya, Senna lalu rindu kampung dan memutuskan pensiun dari balap. Tapi ketika pada Maret 1982 lomba balap mobil Formula Empat 2000 dimulai, Senna tak bisa menahan kegatalannya untuk ikut berpacu. Ia balik ke Van Diemen dan berhasil menjuarai lomba itu. Pada 1983, Senna berpacu untuk tim Toleman di formula tiga. Ia hanya butuh setahun unuk menyabet gelar juara Grand Prix Monaco 1984. Makin lama, ia butuh mobil yang makin cepat. Dan Toleman tak punya cukup peralatan canggih untung mendukung ambisi Senna. Maka, pada 1985, Senna bergabung dengan Lotus di formula satu. Dan Grand Prix pertama di formula satu yang dimenangkannya adalah di Portugal pada 1985. Tak puas di Lotus, ia kemudian pindah ke McLaren-Honda dan menjadi juara dunia 1988. Tahun 1989 ini, masih tersisa 13 grand prix yang tersebar di berbagai belahan dunia. Dan Senna, yang kini tinggal di rumah mewah di Esher, barat daya London, masih akan terus dijajal kebolehannya. Tampaknya, jago Brasil ini akan terus berjaya. Sebab, kendati ia arogan dan pendiam, ia hafal betul setiap "gelitik" mesin mobilnya. Tampaknya, Senna tahu betul bagaimana ia harus jadi juara.Toriq Hadad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini