NAMA Isetan atau Yaohan sudah lama dikenal orang Indonesia yang gemar berbelanja ke Singapura. Kabarnya, kedua pusat pertokoan raksasa dari Jepang itu sudah mau membuka cabang pula di Kuala Lumpur dan Bangkok. Bagaimana dengan Jakarta? Peluang itu sudah lama diharapkan oleh Tokyo. Tapi beleid baru investasi yang diumumkan pekan silam, ternyata, belum membuka peluang seperti itu. Beleid yang dituangkan dalam Keputusan Presiden No. 21 tahun 1989 mencabut Daftar Skala Prioritas (DSP) 1987, dan menggantikannya dengan dua Daftar Negatif Investasi (DNI). DNI pertama masih melarang investasi bagi PMA dan PMDN di 75 bidang usaha: antara lain peternakan ayam, minyak goreng, tepung terigu, jasa saluran televisi, sampai dengan jasa pembangunan dan pengusahaan gedung-gedung bioskop. Tapi bidang usaha yang benar-benar dilarang untuk dimasuki baik oleh PMDN maupun PMA ada sembilan: pengolahan bunga karang, perkebunan ganja, industri balok (blockboard), penggergajian kayu, kayu lapis, veneer, pengolahan rotan mentah, rotan setengah jadi, dan barang jadi rotan. Semua larangan itu, menurut Pemerintah, adalah "demi menjaga lingkungan dan kelestarian alam." Bidang lain boleh saja dibuka bagi PMA atau PMDN jika mereka mau bekerja sama dengan BUMN atau koperasi. Tapi tiga sektor usaha peternakan ayam -- yakni pembibitan ayam nenek, pembibitan induk, dari pembibitan ayam niaga -- masih bisa dibuka bagi PMA dan PMDN, asalkan 100% hasil produksinya untuk diekspor. Ketentuan ini mencerminkan bahwa perusahaan-perusahaan pembibitan ayam yang menguasai pasar dalam negeri masih perlu dilindungi. Alkisah, DNI kedua menyebutkan 35 bidang usaha, seperti pengawetan makanan buah-buahan, sayuran, ikan dan udang kering, gula merah, tempe, peternakan itik, sampai dengan perkebunan cengkeh dan lada, hanya boleh dimasuki industri atau pengusaha kecil. Tapi yang masih menjadi pertanyaan di sini adalah, apakah para pengusaha kecil itu akan mampu bersaing dengan industri besar dan menengah yang sudah ada. Beberapa perusahaan perdagangan swasta, seperti Matahari, Hero Supermarket, Kumbo, kini berjaya di berbagai kota besar di Indonesia, menyaingi BUMN Sarinah dan usaha koperasi. PMA seperti Isetan dan Yaohan toh tidak diizinkan bekerja sama dengan BUMN atau koperasi, kecuali dalam usaha produksi. Kenapa begitu? Rasidi, M.A., Wakil Ketua BKPM, menunjuk Peraturan Pemerintah No. 36 yang sudah berusia 12 tahun silam. "Itu belum dicabut," katanya. Pemerintah pun beranggapan peluang usaha bagi swasta semakin lebar. "Apa yang tak dilarang dalam keppres ini berarti sektor itu dianjurkan untuk dikelola pengusaha swasta nasional atau asing, tanpa ada keharusan partisipasi BUMN atau pemerintah daerah," kata Ketua BKPM Sanyoto Sastrowardoyo. Dalam hubungan ini, menurut Rasidi, calon investor dari negara mana saja boleh melakukan investasi. "Kecuali RRC," katanya. Dia seakan-akan ingin menanggapi berita akhir bulan lalu tentang rencana Kadin Indonesia dan RRC untuk mendirikan perusahaan patungan. Persyaratan modal minimum bagi PMA, kini juga sangat ringan. Semula ditentukan US$ 1 juta, kini cukup dengan US$ 250 ribu atau sekitar Rp 440 juta. Perlukah Indonesia menarik investor asing membawa modal yang senilai tiga mobil Baby Benz? "Investasi itu dinilai padat karya jika penanaman modal senilai US$ 25.000 bisa menyerap satu tenaga kerja. Sedangkan yang dianggap investasi itu adalah modal dalam bentuk aktiva tetap. Misalnya industri garmen, hanya membutuhkan aktiva tetap yang kecil, tapi perputaran produksinya bisa besar," kata Rasidi. Penurunan persyaratan modal itu, menurut Rasidi, untuk menampung keinginan calon investor kecil dari Korea Selatan, Taiwan, dan juga Jepang agar mau masuk kemari. Tak terkecuali adalah para pengusaha dari AS. Seperti dituturkan Harvey Goldstein, Ketua Kadin Amerika (Amcham) di Jakarta, dewasa ini tak sedikit investor kecil dari AS ingin ke Indonesia. Mereka, menurut Goldstein, berminat masuk di bidang industri tekstil, perabotan, produk agrikultur, cendera mata, mainan anak-anak. Kendati begitu, kata Ketua Amcham itu, perusahaan kecil tak bisa disuruh beroperasi di pelosok seperti perusahaan raksasa. "Anda bayangkan jika sebuah perusahaan kecil harus pindah bisnis dari Negara Bagian Iowa di AS ke Irian Jaya. Mereka akan sulit bergerak di sana. Tak ada prasarana jalan, listrik, dan telekomunikasi," katanya kepada Yudhi Soerjoatmodjo dari TEMPO. Lain halnya kalau yang masuk ke sana itu para big boys, seperti maskapai minyak Mobil Oil, Exxon, dan perusahaan penambangan tembaga Freeport yang cukup bermodal untuk membangun sendiri prasarananya. Harvey Goldstein mengingatkan, jangan disangka perusahaan Amerika itu semua raksasa. Ekonomi Amerika pun dibangun oleh perusahaan menengah dan kecil. "Hal ini patut dilakukan di Indonesia, jika hendak menciptakan kesempatan kerja bagi 12 juta orang. Sebab jelas sekali perusahaan kecil itu lebih efisien dan lebih berani bertualang," katanya. Ketua Jetro (Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Perdagangan Luar Negeri Jepang) Shuji Kita juga sependapat dengan rekannya dari AS. "Tampaknya, Pemerintah sedang mengalihkan kebijaksanaan dari proyek berskala besar ke proyek menengah dan kecil," kata Shuji. Ia menilai DNI 1989 sangat baik dan menguntungkan investor Jepang. Alasannya: sangat sederhana, sangat jelas, dan mudah dimengerti. Bisa diharapkan para investor bermodal kecil dari Jepang akan segera datang. sebagaimana beberapa bank Jepang telah antre untuk memanfaatkan peluang investasi setelah keluarnya Pakto. Tapi, mengapa investasi Jepang kini melamban? "Jepang tak mau lagi menjadi investor nomor satu di Indonesia," kata Keiichi Oguro, salah satu pengurus Jetro Jakarta, seperti dikutip harian The Straits Times Singapura. Rupanya, pihak Jepang tak ingin dituding mendominasi perekonomian di Indonesia. Data investasi PMA -- baik proyek baru maupun perluasan -- yang disetujui BKPM tahun 1988 seluruhnya berjumlah 145 dengan nilai US$ 4108 juta. Jumlah terhesar disodorkan Jerman Barat (6 proyek bernilai US$ 955 juta dolar), menyusul Taiwan (15 proyek bernilai US$ 910 juta), kemudian AS (6 proyek senilai US$ 671 juta). Proyek yang diajukan oleh Jepang, 25 buah, memang paling banyak. Tapi nilai total investasinya hanya US$ 247 juta. Berarti masih di bawah investasi gabungan beberapa negara yang bernilai US$ 304 juta untuk 12 proyek. Tahun silam, Jepang rupanya masih giat masuk ke Muangthai dan mulai memasang kaki di Filipina. Nilai investasi asing yang masuk ke Muangthai tahun 1988 ternyata masih kalah dengan data investasi asing di Indonesia. Menurut Board of Investment (BoI) Muangthai, investasi asing yang disetujui pada 1988 berjumlah 29,7 milyar baht atau hanya sekitar US$ 1.159 juta. Investasi terbanyak untuk tahun itu datang dari Jepang (57%), Taiwan (12,5%), dan AS (5,8%). Muangthai, menurut Ketua Amcham di Bangkok, Thomas Seale, dewasa ini merupakan negara paling memikat investor asing di ASEAN. Perbedaan paling mencolok antara Muangthai dan Indonesia ialah soal birokrasi. "Birokrasi Muangthai juga rumit, tapi penyelesaiannya lebih cepat. orang bilang, keruwetan birokrasi di Muangthai dibelah langsung dari bawah ke atas sedangkan di Indonesia diiris secara horisontal," kata Ketua Amcham itu kepada koresponden TEMPO di Bangkok. Selain itu, menurut Thomas, semua yang diinginkan investor Amerika bisa diperoleh di Muangthai. Buruh murah, masa bebas pajak, prasarana dan sistem perhubungan yang memadai, di samping iklim politik yang relatif stabil dan aman. Mental bisnis juga sudah maju sehingga tak ada kesulitan dalam soal pengawasan mutu produk. Pendek kata, harga produksi barang jadi akan jatuh lebih murah dibandingkan dengan investasi di negara lain. Barangkali juga di Muangthai kriteria perlindungan untuk usaha dalam negeri kalau ada -- tidak karena adanya hubungan khusus dengan pemegang kendali pemerintah.Max Wangkar, Bambang Aji, Yudhi Soorjoatmojo (Jakarta) dan Yuli Ismartono (Bangkok)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini