Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Tak Muncul Bintang di Lebanon

Piala Asia tahun ini masih didominasi kekuatan lama. Kurang gereget dan tak ada pemain yang betul-betul cemerlang.

22 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KONFLIK di Jalur Gaza pekan lalu sedikit mereda. Namun, di Lebanon, ”pertempuran” baru justru pecah. Tapi tak perlu panik atau berunjuk rasa. Pertarungan yang ini terjadi di lapangan sepak bola. Turnamen Piala Asia tahun ini memang agak unik karena dibayangi perang yang bisa meletus tiap saat. Akibatnya, stadion tempat pertandingan terlihat lengang. Suporter dari tim peserta enggan datang karena dihantui kecemasan, sedangkan penonton tuan rumah sendiri masih segelintir karena sepak bola belum terlalu populer di sana.

Kondisi ini diperparah dengan mutu turnamen yang tidak terlalu istimewa. Pertandingan yang tergelar berjalan kurang menarik kecuali di bagian-bagian akhir, ketika tim-tim unggulan bertemu. Penyebab utama adalah timpangnya kekuatan tim peserta. Tim seperti Jepang, Cina, Korea Selatan, serta Arab Saudi masih mendominasi. Sementara itu, tim yang ikut karena ”penjatahan” macam Indonesia, Thailand, dan tuan rumah Lebanon tampil tak lebih sebagai penggembira.

Tim nasional kita, misalnya, tak mampu mencetak satu gol pun dalam tiga pertandingan. Hasil terbaik Aji Santoso dan kawan-kawan adalah ketika meraih satu angka setelah bermain imbang tanpa gol melawan Kuwait. Setelah itu, mereka ditekuk oleh Cina dengan skor 4-0 dan oleh Korea Selatan dengan skor 3-0.

Turnamen yang kurang gereget ini punya akibat serius. Tak muncul pemain yang benar-benar bersinar cemerlang. Perkecualiannya adalah penampilan tim Jepang secara keseluruhan. Kekuatan tim Negeri Sakura ini terlihat jelas di atas tim lainnya. Misalnya saja, juara bertahan Arab Saudi digulung telak dengan skor 4-1. Kehebatan Jepang tak lain adalah buah kompetisi lokal yang cukup tinggi mutunya. Kemajuan berarti juga dicatat Cina, yang kini punya liga profesional. Dua tim inilah yang tampil paling menonjol. Sementara itu, tim yang lain boleh disebut masih jalan di tempat bila acuannya adalah pentas dunia.

Meski begitu, ada beberapa pemain yang cukup layak dicatat kiprahnya dalam ajang ini. Dari Jepang, gelandang senior Hiroshi Nanami seakan menebus penampilannya tahun lalu yang mengecewakan dalam Seri A Italia. Saat itu, klub Venezia yang dibelanya terpuruk jatuh ke Seri B. Nanami pun balik ke klub lamanya, Jubilo Iwata. Pemain bergaji sekitar US$ 1 juta ini tampaknya telah menemukan bentuk permainan terbaiknya. Duet striker muda, Shunsuke Nishizawa dan Naohiro Takahara, juga tampil menawan ketika keduanya masing-masing mencetak tiga gol saat Jepang melumat Uzbekistan 8-1.

Striker tim Cina, Man Mingyu, menunjukkan bahwa klub Perugia, Italia, tak salah merekrutnya. Dengan posturnya yang tinggi, bola-bola atas jadi santapan empuk baginya. Sayangnya, di klub barunya ini, Man belum mendapatkan tempat inti. Rekan Man, gelandang Fan Zhiyi, yang juga tampil bagus, lebih beruntung dalam persoalan tempat inti dalam klub. Sayangnya, Fan hanya bermain di klub Crystal Palace, yang kini cuma berkiprah di Divisi Dua Inggris.

Di tim Iran, Ali Daei, striker veteran berusia 31 tahun, masih terlihat tajam. Ia memang tak seganas empat tahun lalu di Qatar dengan delapan gol. Maklum, staminanya tak seprima dulu. Namun, penyerang yang kini bergabung dengan klub Hertha Berlin, Jerman, ini masih menjadi panutan pemain Asia lainnya. Daei termasuk di antara sedikit pemain Asia yang lumayan berhasil di liga Eropa. Ia pernah bergabung dengan klub besar Bayern Muenchen. Pemain yang kini bergaji sekitar US$ 1,6 juta per tahun ini tahun depan berencana pindah ke kompetisi Inggris. Pemain Iran lainnya yang tampil bagus adalah gelandang Mehdi Mahdavikia, yang kini bergabung dengan klub Hamburg. Dalam tahun-tahun mendatang, tampaknya, pemain yang terkenal dengan kecepatan lari dan umpan matangnya ini akan menjadi bintang nomor satu Iran.

Sayangnya, Piala Asia kali ini tak berhasil membuat Hidethosi Nakata ikut berlaga. Gelandang klub AS Roma, Italia, itu saat ini boleh dibilang pemain terbaik Asia. Pemain bergaji US$ 2,2 juta setahun ini memang lebih mementingkan mendapat tempat di klubnya. Maklum, persaingan untuk menjadi pemain inti di klub besar demikian sengit.

Sikap Nakata ini tak bisa disalahkan. Bahkan, bila ia tampil baik di liga Italia, citra sepak bola Asia secara keseluruhan bisa terangkat. Ujung-ujungnya, permintaan terhadap pemain Asia pun meningkat. Saat ini, baru sekitar 40 pemain Asia yang berlaga di Eropa. Sebagai perbandingan, pemain asal Afrika yang merumput di Eropa berjumlah sekitar 200 orang. Pengamat sepak bola Kusnaeni menyebut, bila kompetisi di negara Asia makin meningkat mutunya, dalam waktu empat tahun, pemain asal Asia—khususnya Jepang dan Cina—akan makin diminati pasar dunia. Masih lumayan lama, memang.

Yusi A. Pareanom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus