Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sang Hakim Meniti Godaan

Berawal sebagai hakim daerah, dia kini memimpin kasus-kasus besar sekelas korupsi mantan presiden Soeharto. Siapakah dia?

22 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI arah Jalan Alamsegar di kompleks perumahan mewah Pondokindah, Jakarta, sebuah Kijang Grand Extra abu-abu meluncur setiap pukul 08.00 ke Kantor Pengadilan Jakarta Selatan. Mobil itu membawa seorang laki-laki kekar yang mengenakan baju safari biru gelap. Perjalanan itu makan tempo setengah jam—bila lalu-lintas tidak macet. Kemacetan lalu-lintas termasuk hal baru bagi si penumpang mobil: baru lima bulan lalu dia hijrah dari Lombok, yang tenang, tempatnya berdiam dan bekerja selama bertahun-tahun.

Di luar soal kemacetan, Lalu Mariyun, 55 tahun, menghadapi persoalan yang jauh lebih pelik di Jakarta: ia mesti memimpin sebuah pengadilan negeri yang sarat dengan perkara besar dan melibatkan sederet tokoh penting. Awal pekan lalu, ia baru saja mengadili Sapuan, mantan Wakil Kepala Badan Urusan Logistik yang dituduh terlibat dalam Buloggate—yang melibatkan nama Presiden Abdurrahman Wahid. Dan sejak Agustus lalu, namanya muncul di media massa tatkala ia memimpin majelis hakim yang mengadili mantan presiden Soeharto.

Pengadilan yang berlangsung tiga kali di Gedung Departemen Pertanian itu berakhir dengan kontroversi pada 28 September 2000. Lalu Mariyun menetapkan: perkara Soeharto tidak dapat diterima, sidangnya dihentikan, dan terdakwa ia bebaskan dari tahanan kota. Keputusan itu disambut demonstrasi yang galak dan teriakan Presiden Abdurrahman Wahid yang meminta Ketua Mahkamah Agung mencarikan hakim lain yang bersih, tegas, dan tidak bisa dibeli.

Benarkah dia menerima suap? "Itu fitnah. Saya tidak akan pernah melakukan hal yang goblok, ceroboh, dan riskan seperti itu," ujarnya kepada TEMPO.

Jadi, apa pertimbangan Lalu Mariyun membuat keputusan yang menantang rasa keadilan dari seluruh pelosok negeri? Bekas Ketua Pengadilan Negeri Mataram ini menunjuk salah satu rujukan yuridis: surat edaran MA tanggal 22 Januari 1981. Butir ketiga yang ditandatangani Ketua MA Prof. Dr. Oemar Seno Adji (saat itu) menyebutkan, bila sejak semula terdakwa tidak hadir dan tidak ada jaminan dapat dihadapkan ke persidangan, perkaranya tidak dapat diterima.

Kasus Soeharto dan Tommy telah melambungkan Lalu Mariyun dalam deretan "selebriti" Ibu Kota. Kehidupannya diamati. Media massa mulai menaruh perhatian pada kisah hidupnya.

Lalu Mariyun lahir di Selong, Lombok, dari sebuah keluarga bangsawan (Lalu adalah gelar bangsawan seperti halnya Datuk di Sumatra Barat). Cita-citanya menjadi hakim banyak dipengaruhi kakeknya, Lalu Rembang—seorang hakim yang amat berpengaruh di Lombok pada masa itu. Maka, selepas sekolah menengah, ia mendaftar di Sekolah Hakim dan Djaksa di Malang, Jawa Timur.

Gelar sarjana hukum diperoleh Lalu Mariyun di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ia lama menjadi hakim di Selong, Praya, dan Mataram—semuanya di Lombok. Di tempat kelahirannya, Lalu punya reputasi tidak bisa dibeli. "Ia hakim yang bersih," ujar Makmum, Ketua Ikatan Penasihat Hukum Nusatenggara Barat. Putusan-putusannya membuat warga Nusatenggara Barat enggan berurusan dengannya. Ia pernah mengalahkan Pemerintah Daerah Lombok Tengah yang salah menangkap seorang gadis tanggung dengan tuduhan wanita tunasusila.

Beberapa bulan silam, ia menganvaskan John Edward Hohetotler, warga Amerika Serikat, dengan hukuman penjara seumur hidup karena menenteng ribuan gram heroin dalam wilayah yurisdiksinya. "Saya suka bekerja di daerah. Tenang dan kita jadi dekat dengan keluarga," ujar ayah tiga putri ini.

Hidup sang hakim memang mengalir tenang di Lombok. Hingga suatu hari di bulan Mei 2000, surat Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Yusril Ihza Mahendra, mendarat di mejanya. Ia diminta memimpin Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Jabatan baru ini sekaligus menjadi ajang ujian baru: apakah kehidupan Lalu Mariyun akan tetap tenteram saat dihadapkan pada bertalam-talam godaan khas Ibu Kota?

Entahlah. Banyak mata menatapnya jauh lebih awas sejak ia "berpihak" pada Keluarga Cendana. Orang jadi tertarik bagaimana dengan gaji Rp 3.338.400 (gaji hakim golongan IV-C) ia menempati sebuah rumah mentereng di kawasan Pondokindah. "Saya menumpang," katanya, "Ini rumah seorang kawan di bidang kehakiman yang sedang berdinas ke luar daerah." Tapi lain penuturan Sitepu, ketua RT di lingkungan tempat tinggal Lalu: "Itu rumah pengusaha swasta Sutawijaya." Nilai kontrak rumah di kawasan itu—menurut penelusuran TEMPO—Rp 30-40 juta per tahun.

Toh, tinggal di Pondokindah tidak banyak mengubah gaya hidup Lalu. Ke mana-mana ia tetap naik mobil Kijang. Ia juga masih gemar senam dan aerobik—kini ditambah main golf. Namun, perjalanan Lalu Mariyun di Jakarta akan jauh lebih panjang daripada sekadar rute dari rumah ke kantornya. Ia akan mengadili banyak kasus besar dan terlibat dengan perkara sederet orang penting. Maka, ia tak boleh jumawa walau pernah punya reputasi tak bisa dibeli. Godaan bisa muncul setiap saat, dalam setiap dering telepon atau ketukan pintu.

Hermien Y. Kleden, Ardi Bramantyo, Moehammad S. Khafid (Mataram)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus