Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mestinya, ulang tahun ke-49 yang dirayakan hari itu merupakan saat yang membahagiakan bagi Prabowo. Tapi, kenyataannya justru sebaliknya. Sebuah nota diplomatik Amerika Serikat yang bocor ke pers pekan lalu membuat sesak dada Prabowo. Dalam nota tadi, Amerika menuduh putra begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo itu terlibat dalam insiden Atambua, yang menewaskan tiga staf Komisi Tinggi PBB Urusan Pengungsi (UNHCR).
Ceritanya berawal dari Washington, Amerika Serikat. Adalah Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk kawasan Asia-Pasifik, Stanley Roth, yang melontarkan tuduhan. Dalam pertemuannya dengan Duta Besar Indonesia untuk Amerika, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, 27 September lalu, Roth menyatakan kehadiran Prabowo di Indonesia dan dua kali di Kupang, Nusatenggara Timur, telah memicu meningkatnya insiden di sana. Roth bahkan meminta Indonesia mengusir Prabowo dan mengembalikannya ke Amman, Yordania. Setelah dipecat dari dinas ketentaraan karena kasus penculikan aktivis, Prabowo memang lebih banyak tinggal dan berbisnis di Yordania. Baru beberapa bulan terakhir ia kembali ke Tanah Air.
Pertemuan Dorodjatun dengan Roth itulah yang kemudian dilaporkan kepada Abdurrahman Wahid saat Presiden berada di Brasil. Tanggal 2 Oktober lalu, laporan itu dikirim oleh Sekretariat Negara kepada Panglima TNI, Menteri Pertahanan, Kapolri, jaksa agung, dan Prabowo sendiri. Kepada yang terakhir, surat disampaikan Setneg melalui anggota DPR dan keponakan Presiden, Saifullah Yusuf.
Prabowo membantah tuduhan tersebut. "Saya ada di Timur Tengah saat itu," katanya. Menurut Prabowo, ia tidak pernah datang ke Kupang dalam dua tahun terakhir.
Yang tidak jelas adalah dari mana Departemen Luar Negeri AS mendapat informasi tentang keterlibatan Prabowo di Atambua tersebut. Roth sendiri tidak bisa dikontak, dan staf kedutaan AS di Jakarta memilih tutup mulut. Yang menguatkan info ini hanyalah laporan majalah Far Eastern Economic Review, 21 September lalu. Dalam artikelnya, Far Eastern memastikan bahwa Prabowo berada di Kupang pada 31 Agutus 2000, beberapa hari menjelang rusuh massa itu meletus. Prabowo, yang tidak pernah diminta konfirmasi oleh majalah yang berbasis di Hong Kong itu, melayangkan surat bantahan yang kemudian dimuat setelah diedit. "Saya tidak puas dan akan menggugat FEER," katanya.
Seorang sumber TEMPO di East Timor Action Networksebuah lembaga yang membantu Timor Loro Sa'e menjelang dan pascakemerdekaanmengaku mendengar kabar kehadiran Prabowo dari seorang pejabat Sekretariat Negara AS. Pejabat itu pun mendengar dari mata-mata Barat.
Karena tidak bisa dirunut asal-usulnya, banyak yang menduga cerita itu hanyalah bualan Amerika. "Baru kali ini saya melihat Amerika bermain sekotor itu," kata Farid Prawiranegara, politisi Partai Bulan Bintang yang juga karib dekat Prabowo.
Beberapa kali memang Amerika mengintervensi berbagai kebijakan politik dalam negeri Indonesia. Duta Besar AS di Jakarta, ketika dijabat Robert S. Gelbert, disebut-sebut pernah mengusulkan Kuntoro Mangkusubroto sebagai Direktur PLN. Ketua MPR Amien Rais juga sempat marah ketika Amerika ikut campur dalam pembentukan kabinet Abdurrahman Wahid. Terakhir, Menteri Pertahanan Mahfud M.D. mengaku bahwa AS ikut merekomendasikan Agus Wirahadikusumah menjadi Kepala Staf Angkatan Darat untuk menggantikan Jenderal Tyasno Sudarto.
Spekulasi lain yang melatarbelakangi serangan terhadap Prabowo adalah proyek bisnis yang dijalin Prabowo dengan Irak. Prabowo memang kini sedang mengembangkan bisnis barter minyak untuk makanan (food for oil) dengan Negeri 1001 Malam tersebut. Sejatinya, proyek ini adalah program resmi PBB. Tapi karena berhubungan dengan Irakmusuh besar Amerikanegara digdaya itu tidak rela.
Menurut seorang sumber yang dekat dengan kalangan diplomat AS, kedatangan Prabowo di Indonesia juga dicurigai potensial untuk membangkitkan gerakan Islam anti-Amerika. Harap maklum, Prabowo memang dekat dengan berbagai politisi Islam. Tapi, menduga Prabowo bisa mengerahkan massa untuk menggangu kepentingan bisnis dan politik Amerika di Indonesia rasanya berlebihan. Biaya politik yang mesti dikeluarkan Prabowo untuk aksi itu tampaknya kelewat mahal.
Pemerintah sendiri belum bereaksi terhadap "saran" Amerika ini. Apalagi Abdurrahman Wahid sendiri masih membutuhkan Prabowo. Proyek food for oil saat ini merupakan kerja sama Prabowo dengan Perta Oilperusahaan yang sebagian sahamnya dimiliki Pertamina. Lancarnya proyek itu disebut-sebut juga karena kedekatan Prabowo dengan sejumlah pengusaha Arab.
Dengan kata lain, hasrat Amerika untuk mengenyahkan Prabowo rasanya belum akan kesampaian. Kecuali, negara itu punya bukti-bukti lain yang lebih meyakinkan.
Arif Zulkifli, Arif A. Kuswardono, Edy Budiyarso, Purwani Dyah Prabandari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo