Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Nasib Presiden Setelah Soewondo Ditangkap

22 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MELONTARKAN guyonan adalah kegemaran Abdurrahman Wahid sejak dulu, jauh sebelum menjadi presiden republik ini. Tak lama se-telah terpilih menjadi Ketua Nahdlatul Ulama, misalnya, ia pernah mengumpamakan keragaman orang yang masuk ke organisasi NU seperti rombongan jamaah yang pergi ke masjid. "Kebanyakan memang ingin beribadah, tapi ada juga yang datang untuk mencuri sandal."

Kini lelucon tak lucu tapi sulit dibantah itu mungkin juga tepat untuk menggambarkan kebinekaan para pengikutnya ke Istana Negara. Terutama setelah kasus Buloggate terjadi, perkara yang memunculkan nama Suwondo, tukang pijat yang berhasil meyakinkan seorang Wakil Kepala Bulog yang ambisius untuk mengucurkan dana Yayasan Yanatera senilai Rp 35 miliar.

Alip Agung Suwondo, yang sempat buron sejak lima bulan silam itu, sekarang berada di ruang tahanan polisi. Berarti kasus sudah terungkap dan segera dapat ditutup? Belum tentu. Hasil pelacakan jejak aliran uang dari rekening yayasan milik karyawan Bulog yang digondolnya menunjukkan Suwondo "mencuri sandal" bukan untuk dirinya saja. Sebagian besar bahkan dikucurkan lagi ke orang-orang yang dikenal dekat dengan Presiden Abdurrahman. Ada yang kemudian langsung mengembalikannya ke polisi sambil menyatakan tak tahu-menahu bahwa dana itu berasal dari kegiatan haram, tapi ada juga yang tetap menyimpannya dengan alasan uang yang diterimanya adalah buah transaksi yang halal. Apa pun alasannya, keterlibatan mereka dalam aliran dana memberi petunjuk bahwa Suwondo tidak bertindak sebagai lone ranger, alias sendirian, melainkan menjadi bagian dari sebuah persekongkolan.

Apalagi Sapuan, bekas Wakil Kepala Bulog yang kini meringkuk di ruang tahanan, menuding Presiden Abdurrahman terlibat di dalamnya. Dalam keterangannya kepada polisi, ia menuturkan bahwa Kepala Negara memintanya mengucurkan separuh dana taktis Bulog untuk membiayai proyek perdamaian Aceh. Selain itu, bekas Kepala Bulog Jusuf Kalla mengaku pernah mendapat pertanyaan via telepon dari Menteri Luar Negeri Alwi Shihab tentang jumlah dana yang dicairkan dari Yayasan Yanatera. Semua itu menunjukkan memang ada operasi rahasia untuk memindahkan dana taktis Bulog ke brankas Istana.

Kegiatan ini segera mengingatkan kita pada perkara Irangate, yang terjadi di Amerika Serikat ketika Presiden Ronald Reagan berkuasa. Sengketa Gedung Putih dengan Kongres dalam kebijakan luar negeri di Nikaragua membuat para pembantu Reagan mencari jalan untuk membantu gerilya antikomunis Contras, tanpa menggunakan anggaran negara. Maklum, para wakil rakyat telah mengeluarkan undang-undang yang melarang bantuan kepada kelompok ini karena reputasi mereka yang kerap meremehkan hak asasi manusia dalam kegiatannya. Kasus ini segera mencuatkan nama Kolonel Oliver North, perwira marinir yang diperbantukan pada Dewan Keamanan Nasional di Gedung Putih.

North secara rahasia berkolusi dengan dinas rahasia Israel untuk menjual peluru kendali AS kepada Iran dengan harga yang digelembungkan. Keuntungan dari transaksi ini kemudian digunakan untuk membiayai Contras. Bocornya kegiatan North memberi peluang bagi partai oposisi Demokrat untuk mencoba menggulingkan Reagan.

Upaya ini terbukti gagal karena North menyatakan semua operasinya itu semata-mata merupakan inisiatifnya. Namun, yang lebih penting adalah karena Reagan memerintahkan dilakukan penyidikan hukum secara terbuka, yang mengakibatkan North dan beberapa atasannya harus dipecat. Reagan tampaknya belajar dari pengalaman pahit Presiden Richard Nixon, yang semakin terpuruk karena mencoba menutupi kegiatan anak buahnya dalam perkara Watergate.

Kebijakan yang manjur. Cukup banyak kalangan orang ramai Amerika Serikat yang menganggap North sebagai pahlawan dan Kongres AS sebagai kumpulan politisi oportunis dalam kasus Irangate. Buktinya, tak lama setelah perkara ini mencuat, Oliver North nyaris terpilih sebagai senator dari Negara Bagian Virginia. Partai Republik pendukung Reagan pun tak banyak tercemar oleh kasus ini karena calon mereka, George Bush, kemudian terpilih sebagai pengganti Reagan.

Presiden Abdurrahman, agaknya, ingin mengikuti jejak Reagan. Tapi Suwondo bukan perwira marinir dengan karir cemerlang seperti Oliver North. Abdurrahman Wahid juga bukan presiden yang dipilih langsung oleh rakyat dengan suara mayoritas. Ia terangkat menjadi kepala negara sebagai kompromi anggota MPR yang terbelah dalam kutub pendukung Habibie dan Megawati.

Itu sebabnya peluang Presiden Abdurrahman untuk lolos dari ancaman menghadapi Sidang Istimewa MPR sebagai dampak Buloggate mungkin cukup sempit. Apalagi masih ada skandal pemakaian dana sumbangan Sultan Brunei yang tidak transparan, alias Bruneigate. Selain itu juga gencarnya tudingan bahwa perlakuan istimewa pemerintah terhadap beberapa konglomerat bermasalah ada kaitannya dengan sumbangan mereka untuk brankas politik Presiden Abdurrahman.

Semua skandal itu menunjukkan kecenderungan orang-orang di Istana untuk menghalalkan segala cara demi tercapainya tujuan yang dianggap mulia. Gus Dur sepertinya lupa bahwa menggunakan cara-cara di ruang remang-remang hanya akan mengakibatkan merajalelanya para pencuri sandal di antara jamaah yang sedang khusyuk beribadah.

Sebagai presiden yang terpilih secara demokratis, Gus Dur seharusnya sadar bahwa intisari demokrasi adalah keyakinan bahwa hanya proses yang benar akan menjamin hasil yang benar. Memang, persaingan politik demokratis membutuhkan uang dan sumber daya lainnya, tapi bukan berarti menggunakan dana publik secara diam-diam untuk kegiatan yang baik dapat dibenarkan. Masalahnya, definisi baik tidak selalu seragam dan orang ramai berhak untuk mengetahui rincian pembelanjaan dana publik.

Mencuri sandal di masjid adalah dosa. Terlepas dari apakah sandal itu untuk keperluan sendiri atau untuk dibagikan kepada mereka yang dianggap lebih membutuhkannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus