STADION Teladan, Medan, tetap padat dibikinnya. Padahal mutu
turnamen Piala Marah Halim sudah jelas merosot. Dari 10 tim yang
turun 27 April s/d 9 Mei lalu cuma 2 kesebelasan, Burma dan
Turki, masih menonjol. Sisanya, terutama 4 kesebelasan dalam
negeri -- Persiraja, PSMS, Persija, dan Persebaya -- hampir tak
berarti.
Mengapa? Menurunnya tim domestik ini tampak disebabkan hijrahnya
pemain inti mereka ke klub Galatama. Buktinya, ketika Persija
menghadapi kesebelasan Jepang dan Turki. Dari 2 pertandingan
ini, Persija kebobolan 15 gol tanpa balas -- 7 dari Jepang dan 8
dari Turki. (Dalam turnamen sebelumnya, Persija masih disegani).
PSMS pun tak lebih dari itu. Tanpa Zulham Effendy, Chaerul San
Siregar, dan Ismail Ruslan yang bergabung dengan Pardedetex,
peranan Nobon dalam mengorganisir pemain pengganti tak jalan.
Sami mawon dengan penampilan Persiraja dan Persebaya. Tak heran
tak satu pun dari keempat tim domestik itu yang terwakili di
semi final. Tim luar negeri yang juta tersisih adalah Muangthai
dan Korea Selatan.
Pasar tarohan di Medan menempatkan kesebelasan Turki sebagai
favorit. Tapi di semi final, mereka kesandun tim Birma 1-0.
Menurut para pecandu bola, kekalahan Turki ini disebabkan oleh
kurang cermatnya wasit R. Hamlet dari Medan. Ia dinilai 'banyak
merugikan' pihak Turki. "Saya dikritik orang terus selama
turnamen," kata Ketua Panitia Pelaksana Piala Marah Halim,
Kamaruddin Panggabean. "Karena wasit-wasit kita banyak bikin
malu dalam memimpin pertandingan." Ia berjanji akan mengimpor
wasit saja untuk turnamen berikutnya.
Tapi yang mengecewakan tim tamu tak hanya soal wasit. Juga
fasilitas di stadion, seperti "WC dan kamar mandinya memalukan,"
komentar ofisial tim Eslandia. Maksudnya jorok dan bau pesing.
Ia juga mengeritik kamar ganti pakaian yang sama keadaannya.
Sekalipun mutu tim banyak yang mengecewakan, penonton masih saja
melimpah. Di semi-final saja, panitia sudah dapat menutupi biaya
penyelenggaraan turnamen sebesar Rp 140 juta. Di final
diperkirakan masih tersedot Rp 50 juta lagi. Sebab tiket VIP
saja, misalnya, dijual Rp 9.000. Tribun terbuka, dari Rp 1.000
naik ke Rp 1.500. "Kalau tak begitu, tak bisa menutupi biaya,"
kata Panggabean. Semua tim yang diundang dijamin sepenuhnya oleh
panitia.
Tahun depan? Panggabean tampak optimis mengenai kelanjutan
turnamen yang sudah masuk kalender PSSI dan FIFA ini. "Jika
masih diundang, kami akan datang," kata manajer tim Turki Gunal
Akbay. Juga Burma, juara turnamen 1979, mau datang lagi. Di
final, Birma menundukkan tim Eslandia dalam adu penalti 4-2.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini