Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Tanpa Mutu Masih Laris

Turnamen Marah Halim tetap laris meskipun mutunya merosot, terutama mutu pemain dalam negeri. Ketua panitia akan mendatangkan wasit dari luar negeri. (or)

19 Mei 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

STADION Teladan, Medan, tetap padat dibikinnya. Padahal mutu turnamen Piala Marah Halim sudah jelas merosot. Dari 10 tim yang turun 27 April s/d 9 Mei lalu cuma 2 kesebelasan, Burma dan Turki, masih menonjol. Sisanya, terutama 4 kesebelasan dalam negeri -- Persiraja, PSMS, Persija, dan Persebaya -- hampir tak berarti. Mengapa? Menurunnya tim domestik ini tampak disebabkan hijrahnya pemain inti mereka ke klub Galatama. Buktinya, ketika Persija menghadapi kesebelasan Jepang dan Turki. Dari 2 pertandingan ini, Persija kebobolan 15 gol tanpa balas -- 7 dari Jepang dan 8 dari Turki. (Dalam turnamen sebelumnya, Persija masih disegani). PSMS pun tak lebih dari itu. Tanpa Zulham Effendy, Chaerul San Siregar, dan Ismail Ruslan yang bergabung dengan Pardedetex, peranan Nobon dalam mengorganisir pemain pengganti tak jalan. Sami mawon dengan penampilan Persiraja dan Persebaya. Tak heran tak satu pun dari keempat tim domestik itu yang terwakili di semi final. Tim luar negeri yang juta tersisih adalah Muangthai dan Korea Selatan. Pasar tarohan di Medan menempatkan kesebelasan Turki sebagai favorit. Tapi di semi final, mereka kesandun tim Birma 1-0. Menurut para pecandu bola, kekalahan Turki ini disebabkan oleh kurang cermatnya wasit R. Hamlet dari Medan. Ia dinilai 'banyak merugikan' pihak Turki. "Saya dikritik orang terus selama turnamen," kata Ketua Panitia Pelaksana Piala Marah Halim, Kamaruddin Panggabean. "Karena wasit-wasit kita banyak bikin malu dalam memimpin pertandingan." Ia berjanji akan mengimpor wasit saja untuk turnamen berikutnya. Tapi yang mengecewakan tim tamu tak hanya soal wasit. Juga fasilitas di stadion, seperti "WC dan kamar mandinya memalukan," komentar ofisial tim Eslandia. Maksudnya jorok dan bau pesing. Ia juga mengeritik kamar ganti pakaian yang sama keadaannya. Sekalipun mutu tim banyak yang mengecewakan, penonton masih saja melimpah. Di semi-final saja, panitia sudah dapat menutupi biaya penyelenggaraan turnamen sebesar Rp 140 juta. Di final diperkirakan masih tersedot Rp 50 juta lagi. Sebab tiket VIP saja, misalnya, dijual Rp 9.000. Tribun terbuka, dari Rp 1.000 naik ke Rp 1.500. "Kalau tak begitu, tak bisa menutupi biaya," kata Panggabean. Semua tim yang diundang dijamin sepenuhnya oleh panitia. Tahun depan? Panggabean tampak optimis mengenai kelanjutan turnamen yang sudah masuk kalender PSSI dan FIFA ini. "Jika masih diundang, kami akan datang," kata manajer tim Turki Gunal Akbay. Juga Burma, juara turnamen 1979, mau datang lagi. Di final, Birma menundukkan tim Eslandia dalam adu penalti 4-2.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus