Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Telanjang lebih baik

Penelitian di as mempertanyakan manfaat sepatu bagi atlet lari. berlari telanjang kaki ternyata lebih menghemat energi. tapi ada sementara orang menganjurkan sebaiknya pakai sepatu untuk berlari.

1 Agustus 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI bukan berita baik bagi produsen sepatu olah raga. Berlari dengan telanjang kaki ternyata lebih menghemat energi. Itulah kesimpulan yang belum lama ini didapat sekelompok peneliti di AS dan Eropa. Kelompok yang terdiri dari ahli satwa (zoologis), ahli faal, dan insinyur ini mempelajari mekanisme kerja otot kaki manusia saat berjalan dan berlari. Terutama fungsi urat Achiles (antara betis dan tumit) menyimpan energi. Hasilnya: otot kenyal ini ternyata berfungsi seperti pegas. Dia mengkerut saat tumit mengentak lantai -- ketika berlari -- dan membantu mendorong ke atas saat pelari menggenjot. Berdasarkan penelitian para ahli ini, tak kurang dari 70% energi yang didapat ketika tumit mengentak lantai dikembalikan ketika menggenjot maju. Energi sisanya, 30%, terbuang sebagai panas. Komposisi ini jelas lebih baik daripada atlet yang menggunakan sepatu. Sepatu yang paling baik pun ternyata menyia-nyiakan 50%-60% energi yang didapat dari entakan tumit. Fungsi kepegasan urat ini terlihat lebih jelas pada binatang, terutama jenis pelompat seperti kangguru, yang mempunyai urat pegas jauh lebih panjang dari manusia. "Pada awalnya kami memang mencoba melihat peri laku gerak hewan sebagai problem mekanis," kata Dr. R. McNeil Alexander zoologis dari Universitas Leeds, London. Maka, terlihatlah bagaimana urat ini berfungsi menyimpan energi untuk menunjang gerakan yang efektif. "Alhasil, kita pun melihat ke kaki sendiri dan berpikir: mungkin di kaki kita pun ada pegasnya," ujar Alexander lebih lanjut. Kesimpulan Alexander ini memperkuat hipotesa serupa yang dikembangkan Prof. Thomas A. Mc Mahon dari Universitas Harvard, 9 tahun yang lalu. Ahli mekanik terapan ini berhasil membuat lintasan (track) buatan dari campuran kayu dan polyurethane yang memiliki kelenturan ideal. Artinya, kelenturannya sesuai dengan kelenturan rata-rata kaki manusia. Atlet yang berlari di atas lintasan buatan ini umumnya mampu menaikkan kecepatannya rata-rata 2%, dan mengurangi kemungkinan cedera bila terjadi kecelakaan. Menaiknya prestasi ini lebih terasa untuk pelari jarak jauh daripada jarak pendek (sprint), yang berlari tanpa menggunakan tumitnya. Pelari jarak jauh melakukan rolling: tumit dan bagian depan telapak kaki digunakan bergantian menapak lantai. Selain itu, semakin banyak energi dikembalikan urat Achiles, semakin sedikit oksigen dan energi yang diperlukan atlet. Ini tentu akan memperbaiki prestasinya. Tentu saja energi bukan satu satunya faktor yang mempengaruhi penampilan seorang atlet. Kestabilan dan tekanan pada persendian juga merupakan hal yang harus diperhitungkan. Paling tidak, itulah yang diutarakan para perancang sepatu olah raga, yang agak terguncang juga oleh penemuan ini. "Soal kelenturan tentu harus kami perhatikan juga," kata Dr. Martin Shorten, manajer laboratorium penelitian "Nike Sports" di Beaverton, Oregon, AS. Tapi ia tak menganggap kelenturan mekanis ini mahapenting. "Sebuah balok beton bisa sangat lentur. Kalau Anda jatuhkan bola besi di atasnya, balok itu bisa mengembalikan hampir 100% dari energi yang diterimanya," kata Shorten. "Tapi 'kan tak berarti balok beton adalah bahan baku terbaik untuk membuat sepatu olah raga," tambahnya. Memang para ahli tak lantas menyerukan para atlet untuk melepaskan sepatu mereka dan berlari berceker ayam seperti pelari beken Zola Budd. Dr. Alexander mengibaratkan mekanisme ini seperti mobil yang memerlukan tidak hanya pegas, melainkan juga peredam kejut (shock absorber). Hal senada juga diutarakan oleh dr. Sadoso Sumosardjuno, ahli kedokteran olah raga Indonesia. "Sebaiknya menggunakan sepatu untuk berlari," katanya. Ada dua hal yang dikhawatirkannya akan terjadi pada sang pelari yang berkaki telanjang: cedera akibat benda tajam dan kerusakan butir darah merah akibat benturan terlalu keras. Ia mengingatkan, tanpa menggunakan sepatu yang sol bagian depan dan tumitnya berbeda tinggi minimal 1,2 cm, seorang pelari dapat mengalami robek urat Achilesnya. Adapun bagi Dr. Alexander masalah tinggi tumit sepatu ini tak terlalu dipersoalkannya benar. Yang terpenting, katanya, kekakuan sol sepatu harus dihilangkan agar efek pegas urat Achiles tak hilang. Bagaimana memilih sepatu yang sesuai, agaknya, memang bukan hal mudah. Tapi tak berarti pula penggunaan sepatu yang salah bisa pula dituding sebagai biang penurunan prestasi atlet. B.H.M.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus