SITUASI moneter agaknya bisa dibaca melalui wajah Gubernur Bank Sentral Arifin Siregar. Senyumnya yang penuh, diseling ketawa lepas di tengah pertemuan para pensiunan BI di lantai IV kantornya, Sabtu pagi lalu, meyakinkan orang bahwa situasi moneter mulai cerah: segala sesuatunya sudah dapat dikendalikan. Berangkat dari pukulan Sumarlin, 22 Juni lalu, spekulasi -- dalam bentuk melarikan modal ke luar negeri -- dapat dihentikan, sekalipun menyakitkan bagi dunia usaha umumnya. Kontraksi moneter yang diterapkan BI sejak Kamis pekan lalu, dengan menjual Sertifikat Bank Indonesia (SBI) melalui sistem lelang di PT Ficorinvest, ternyata berhasil pula mengendalikan gejolak perbankan. SBI adalah semacam fasilitas penitipan uang jangka pendek (7 hari) yang diberikan Bank Sentral kepada bank-bank yang kesulitan menyalurkan dananya yang menganggur. Pada hari pertama pelelangan SBI di Ficorinvest, 23 Juli, sekitar 10 bank yang berani menawarkan suku bunga yang diinginkan BI: maksimum 20% per tahun. Malah ada yang hanya meminta bunga 16%. Tawaran yang menurut beberapa orang bank sungguh mencengangkan. Bayangkan, suku bunga pinjaman antarbank di pasar uang hari itu masih berkisar 22%-23%. Beberapa bank, tak kurang dari BNI '46, masih harus mencari dana dari masyarakat dengan memasang bunga sekitar 23% per tahun untuk deposito berjangka sebulan. Tak usah pakai kalkulator, bila dana deposito itu ditanamkan ke SBI, jelas akan rugi. Bank Perniagaan Indonesia, salah satu bank swasta yang sangat menjaga likuiditas, ternyata mau juga menyimpan sebagian dananya ke SBI. Menurut direktur eksekutifnya, Roy E. Tirtadji, BPI mengajukan penawaran bunga 20% per tahun. "Ternyata, kami masih kebagian SBI bernilai Rp 500 juta," ujar Roy kepada wartawan TEMPO Ahmed K. Soeriawidjaja. Ia merasa beruntung karena ada bank lain hari itu juga membeli SBI dalam nilai milyaran dengan meminta bunga hanya 16%. Timbulnya perbedaan bunga itu, karena SBI tidak dijual dalam satu paket, dan penawaran lelang dilakukan secara rahasia oleh para peserta sendiri ke Ficorinvest. "Ini menyangkut rahasia bank," demikian alasan yang dikemukakan Binhadi, seorang direktur eksekutif BI. Tetapi beberapa bankir berpendapat, lelang berikutnya sebaiknya dilakukan secara terbuka, supaya bank-bank tidak main raba. Sebab, yang sudah-sudah, menurut seorang bankir, sistem rahasia-rahasiaan buntutnya mengundang kenakalan. Ingat saja permainan sekitar fasilitas WAP oleh beberapa bankir. Hal serupa bisa terjadi pada SBI. "Selisih satu persen saja di atas suku bunga pinjaman antarbank sudah cukup mengundang bank yang nakal untuk mencari laba modal," kata Presiden Direktur Bank Arta Pusara. Yang lebih dikhawatirkan Sekjen Perbanas ini, kenakalan beberapa bankir itu disalahtafsirkan Bank Sentral. "Kalau bank-bank nakal cukup banyak menawar SBI, nanti disangka Bank Sentral masih perlu melaksanakan kontraksi. Bisa-bisa seluruh gudang dibakar untuk menangkap tikus," katanya, mengutip istilah Kwik Kian Gie (Lihat Tangkap Tikus). Situasi perbankan sekarang ini dinilai para pejabat moneter tidak terlalu mencemaskan. Binhadi, yang ditunjuk Gubernur Arifin Siregar untuk berbicara menjelaskan kepada TEMPO bahwa keadaan perbankan sebenarnya tidak begitu parah. "Jumlah bank yang pernah meminta diskonto, sejak kebijaksanaan Sumarlin, hanya 16," katanya, Senin malam. "Sekarang ini tinggal 5 bank yang masih memanfaatkan fasilitas diskonto. Dan diskonto itu tidak berbahaya," kata Binhadi lebih lanjut, Selasa lalu. (Para bankir lain bicaranya. Mereka mengaku segan untuk meminta fasilitas diskonto BI, karena itu sama saja dengan mengaku manajemen banknya tidak beres.) Binhadi selanjutnya membantah pendapat sebagian bankir bahwa BI telah memanfaatkan penjualan fasilitas diskonto berbunga 32% untuk menambah anggaran pembangunan dan belanja negara (APBN). Bunga diskonto itu, katanya, paling tidak akan dikembalikan ke dunia perbankan dalam pembayaran bunga SBI. Kekhawatiran bahwa rupiah kini semakin sulit, katanya, juga tidak beralasan. Bank Sentral memang tidak akan terus melakukan kontraksi. Sejak Kamis lalu, hingga Senin pekan ini, dana yang disedot BI lewat penjualan SBI baru berjumlah Rp 399,2 milyar. Melihat bahwa Senin sore suku bunga antarbank sudah ada yang ditawarkan serendah 16%, dua angka di bawah suku bunga SBI yang dilelang Senin pagi, Bank Sentral langsung mengubah kebijaksanaan moneter dari kontraksi ke ekspansi. "Turunnya suku bunga antarbank itu pertanda bank-bank sudah mulai normal. Sudah waktunya untuk melakukan ekspansi untuk melancarkan kembali perdagangan," kata Binhadi. Itu sebabnya, sejak Selasa, BI menginstruksikan Ficorinvest menghentikan penjualan SBI dan mulai melakukan lelang SBPU (surat berharga pasar uang). SBPU adalah fasilitas kredit jangka pendek (3 hari) kepada bank-bank. Pada lelang Selasa, ternyata permintaan kredit ini hanya Rp 23,895 milyar, bunganya rata-rata 18,35% -- kurang lebih sama dengan bunga pinjaman antarbank per malam pagi itu. Dari pelelangan SBI yang masih besar, serta permintaan kredit SBPU yang relatif rendah, Binhadi menyimpulkan bahwa likuiditas di masyarakat masih tinggi. Apalagi data transaksi penjualan valuta asing selama Juli, sampai dengan tanggal 28, BI masih mencatat surplus US$ 738,4 juta. "Dengan demikian, suku bunga deposito dan kredit seharusnya sudah bisa diharapkan turun," katanya. Sekjen Perbanas Yusuf Wantah juga mengakui bahwa keadaan perbankan sekarang, ini sudah cukup tenang. Tetapi, "Keterangan ini 100% di tangan pemerintah. Kalau pemerintah masih mau peras lagi, pasti heboh akan lebih hebat," katanya. Sementara ini, katanya, bank-bank hanya bekerja bakti menyubsidi para deposan. Katanya. Max Wangkar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini