Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kota-kota besar di Filipina mendadak lengang. Hanya satu-dua kendaraan bermotor yang melintas di jalanan. Aktivitas di terminal bus pun terhenti, Ahad pagi dua pekan lalu. Keheningan yang jarang terjadi. Suasana kota yang sepi biasanya hanya terlihat pada Jumat Agung, ketika sebagian besar warga Filipina menghabiskan waktu di gereja untuk memperingati wafatnya Yesus Kristus.
Pusat perbelanjaan di Metro Manila yang setiap Minggu selalu dipenuhi pengunjung, kali ini terasa sepi. Warga kota memilih tinggal di rumah, duduk di depan televisi. Begitu pula penduduk di kota-kota lain seperti Sorsogon dan Quezon City.
Hari itu semua stasiun televisi di Filipina menayangkan peristiwa penting dari Las Vegas, Amerika Serikat. Inilah pertarungan bergengsi kelas bulu super versi World Boxing Council (WBC) antara petinju Filipina, Manny Pacquiao, melawan petinju Meksiko, Erik Morales.
Perhatian rakyat Filipina tersedot. Jeepney, angkutan kota yang acap kali hilir-mudik di kota Sorsogon, ditinggal begitu saja oleh pengemudinya di terminal. Begitu juga dengan angkutan umum roda tiga. Pemilik toko pun enggan membuka gerainya dan lebih suka menonton televisi.
Dokter dan perawat di rumah sakit East Avenue, Quezon City, tidak mau ketinggalan. Mereka terpaku di depan televisi yang ada di aula rumah sakit. Sorak -sorai terdengar setiap kali pukulan Pacquiao mendarat di wajah Morales. Padahal, di saat bersamaan, seorang gadis berusia 16 tahun tengah menjalani operasi usus buntu di ruangan yang tak jauh dari aula. ”Kami bersorak hampir di setiap ronde,” kata perawat Pearl Morito.
Pesona Pacquiao telah menyihir Filipinos—ini sebutan bagi warga Filipina. Pemuda 29 tahun ini dianggap sebagai pahlawan. Dialah satu-satunya atlet Filipina yang berhasil membawa bendera negara ini di pentas dunia.
Petinju yang dijuluki The Destroyer itu sudah mengoleksi tiga gelar juara dunia di kelas berbeda. Gelar untuk kelas terbang WBC disabetnya dari tangan Gabriel Mira asal Meksiko pada 1999. Tiga tahun kemudian dia memborong dua gelar sekaligus dari genggaman Agapito Sanchez (Dominika) untuk kelas bulu junior versi World Boxing Organization (WBO) dan kelas ringan junior versi International Boxing Federation (IBF).
Rasa bangga warga Filipina makin bertumpuk setelah Pacquiao menaklukkan Morales pada pertandingan Ahad itu. Lawannya dipaksa mencium kanvas pada ronde ke-10. Kemenangan ini memperpanjang rekor Pacquiao dengan 42 kali menang (33 dengan KO), tiga kali kalah, dan dua kali seri.
Bukan petinju kacangan, Morales telah menjadi legenda di Meksiko. Dia dijuluki Sang Penakluk karena sepak terjangnya di ring selama ini. Dari 51 pertandingan yang diikuti, petinju berusia 27 tahun itu mengantongi 38 kemenangan dengan 34 di antaranya menang KO. Morales juga pernah mengalahkan Pacquiao dalam pertemuan pertama mereka, Maret 2005. Ketika itu tiga wasit memberi angka kemenangan mutlak untuknya dengan total skor 115-113.
Keadaan berubah dalam pertemuan kedua. Pacquiao bukan saja meng-KO-kan Morales, tapi juga mengirimnya ke rumah sakit. Sang pecundang babak-belur bagaikan maling yang baru dihakimi massa.
Luapan kegembiraan pun pecah di seluruh penjuru Filipina menyambut kemenangan itu. Presiden Gloria Arroyo secara khusus memberikan ucapan selamat kepada Pacquiao melalui telepon. Dia pun menggelar pidato singkat di Istana Malacanang yang disiarkan langsung melalui stasiun televisi setempat. ”Kemenangan ini adalah bagian sejarah negeri ini,” kata Arroyo.
Pemerintah Filipina memang memberikan dukungan cukup besar terhadap Pacquiao. Bahkan suami Arroyo, Jose Miguel Arroyo, terbang langsung ke Las Vegas bersama sejumlah anggota legislatif dan pengusaha Filipina. Kehadiran mereka di pinggir ring diharapkan mampu menambah semangat juang petinju kebanggaan Filipina itu.
Gubernur Ilocos Sur, Luis Chavit Singson, yang turut bersama rombongan Jose Miguel, rela menjadi komentator dadakan untuk pemancar radio Commando di kota Vigan. Acara Singson ini menggeser siaran agama yang menjadi program rutin radio itu.
Hebatnya, penampilan Pacquiao juga menyita perhatian gerilyawan komunis dan Front Pembebasan Muslim Moro. Mereka menonton pertarungan dari televisi atau mendengarkan ulasannya di radio.
Di tempat persembunyiannya di sebelah selatan Luzon, kelompok komunis dan Tentara Rakyat Baru (New People’s Army/NPA) pun larut dalam kegembiraan. Mereka turut merayakan kemenangan Pacquiao. ”Kami memberi penghargaan. Kemenangan itu menjadi kemenangan bangsa Filipina,” kata juru bicara kelompok komunis Gregorio Rosal yang mengikuti jalannya pertandingan melalui radio.
Selama pertandingan berlangsung, kaum komunis menghentikan serangan terhadap angkatan perang Filipina. Itu dilakukan karena mereka ingin mengetahui hasil perjuangan Pacquiao di Negeri Paman Sam. ”Serangan dihentikan sementara karena pejuang-pejuang Merah sedang menonton pertandingan,” ujar Rosal lagi.
Begitu juga dengan gerilyawan muslim Moro di Cotabato. Mereka menyampaikan ucapan selamat kepada Pacquiao melalui telepon. ”Kami bergabung dengan orang Filipina untuk merayakan kemenangannya, ” kata juru bicara kelompok gerilyawan, Eid Kabalu. ”Kami bahagia dengan prestasi olahraga ini. Kelompok kami merasakan semangat persatuan.”
Sukses yang diraih Pacquiao tidak diperoleh dengan mudah. Dia lahir di tengah-tengah keluarga miskin pada 17 Desember 1978 di General Santos, Cobato Selatan, Filipina. Kemiskinan memaksa Pacquiao kecil banting tulang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Dia bekerja sebagai pemanggang kue di pabrik roti.
Ketika berusia 12 tahun, Pacquiao dan beberapa temannya tertarik untuk mengikuti turnamen tinju yang digelar seminggu sekali di kota itu. Pacquiao tidak pernah membayangkan dirinya akan menjadi petinju profesional. Keterlibatannya dalam turnamen hanya untuk kesenangan.
Bakat Pacquiao ternyata sangat menonjol. Dia memenangkan 20 pertarungan plus medali emas di akhir turnamen amatir itu. Prestasi ini seakan membuka mata Pacquiao. Dia baru menyadari jika kepalan tangannya menyimpan kekuatan yang luar biasa.
Sejak itulah dia menyimpan harapan pada kedua tangannya. Pacquiao hijrah ke Manila untuk mengejar masa depan. Di ibu kota dia tinggal bersama seorang teman di perumahan kumuh, kawasan Sampaloc. Bukan suatu kebetulan jika Pacquiao memilih Sampaloc untuk mengasah bakat. Di sana ada tempat berlatih tinju bernama L&M Gym.
Kehadiran Pacquiao di L&M menarik perhatian seorang promotor tinju bernama Rod Nazario. Lelaki inilah yang menempa dia dan mengantar petinju muda itu memasuki pentas tinju profesional.
Karier profesional Pacquiao dimulai pada 1995 di kelas 53 kilogram. Dalam setahun dia berhasil menyelesaikan 11 pertandingan tanpa kalah sekali pun. Kekalahan pertama terjadi pada pertandingan ke-12 ketika melawan rekan senegaranya, Rustico Torrecampo. Torrecampo memukul KO Pacquiao pada ronde ke-3 dari 12 ronde yang direncanakan. Kekalahan yang menyakitkan ini menjadi pelajaran berharga bagi Pacquiao. Dia semakin menyadari titik-titik lemahnya dan berusaha memperbaiki diri.
Pacquiao dikenal sebagai petinju bergaya petarung kidal sejati. Gempurannya dahsyat dengan jab kanan dan straight kiri yang mematikan, membuat dia dijuluki Pacman. Hook kanannya juga sangat diwaspadai lawan. Kombinasi pukulannya inilah yang akhirnya membawa sabuk juara dunia versi WBC, IBF, dan WBA ke pangkuannya.
Nasib Pacquiao berubah seiring dengan kesuksesannya. Pundi-pundinya pun semakin mengembung. Namun, semua itu tidak mengubah kesederhanaan hidupnya. Dia hanya berharap kemenangannya dapat dijadikan inspirasi untuk menghentikan pertikaian di negaranya. ”Saya ingin Filipinos di seluruh dunia bersatu,” kata Pacquiao.
Suseno (dari berbagai sumber)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo