Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Berita Tempo Plus

Pertikaian di Segara Anakan

Sedimentasi yang semakin menggunung di laguna dituding sebagai penyebab banjir di Cilacap. Empat instansi pemerintah yang mengklaim membawahkannya diminta berembuk.

30 Januari 2006 | 00.00 WIB

Pertikaian di Segara Anakan
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Desa Ujung Gagak, Kecamatan Kampunglaut, Kabupaten Cilacap, kini sedang murung. Puluhan nelayan sering tampak bergerombol, memperbincangkan nasib mereka yang dirasa kian tak menentu. Penghasilan mereka kini terus merosot karena berkurangnya ikan di laguna.

Purwadi dan Adiwamin, dua nelayan yang ada di antaranya, beranggapan bahwa hal ini disebabkan mandeknya proyek penyudetan Sungai Citanduy. Laguna Segara Anakan, tempat yang biasa mereka arungi untuk memburu ikan, kini dangkal karena dipenuhi lumpur. Kedua nelayan ini mengakui penghasilannya sehari kini cuma Rp 10 ribu.

Sujarwo, ketua rukun nelayan di desa yang terletak di Kecamatan Kampunglaut, Kabupaten Cilacap, tampaknya sependapat dengan anak buahnya itu. Apalagi, katanya mengingatkan, akhir tahun lalu terjadi banjir bandang yang merendam empat kecamatan, yaitu Sidareja, Bantarsari, Gandrungmangu, dan Cipari.

Para nelayan itu akhirnya menyepakati perlunya aksi untuk mendesak pemerintah mengatasi masalah di laguna Segara Anakan. ”Kami terus berjuang agar proyek penyudetan menjadi isu besar dan didukung pemerintah pusat,” kata Sujarwo, yang mengepalai 1.500 nelayan di Kampunglaut, kepada Tempo Kamis pekan lalu.

Laguna ini berada di bagian selatan Kawunganten, Cilacap, dan persis di sebelah utara Pulau Nusakambangan. Celah sempit menuju Samudra Indonesia itu diapit daratan di ujung barat Nusakambangan dan daratan Majingklak di ujung tenggara Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.

Selain Citanduy, ada tiga sungai lainnya yang juga bermuara di laguna ini, yaitu Cibeureum, Cimeneng, dan Cikonde. Berdasarkan data Proyek Citanduy, Departemen Pekerjaan Umum, lumpur yang dibawa Sungai Citanduy mencapai 5 juta meter kubik, Sungai Cimeneng 0,4 juta meter kubik, dan Cikonde 1,2 juta meter kubik setiap tahun. Alhasil, Segara Anakan semakin dangkal karena sedimentasi lumpur tersebut.

Pada tahun 2002, mulai dilakukan pengerjaan penyudetan Sungai Citanduy sepanjang tiga kilometer sehingga nantinya muara sungai langsung ke Samudra Indonesia di Teluk Nusawere. Namun, timbul penolakan dari nelayan di Pangandaran, Kabupaten Ciamis. Mereka khawatir lumpur dan sampah yang dibawa sungai itu akan mengotori pantai Pangandaran sehingga mengancam biota laut yang selama ini menjadi sumber mata pencaharian mereka.

Setahun berikutnya, Menteri Lingkungan Hidup Nabiel Makarim menghentikan proyek itu. Penyudetan bisa diteruskan, kata Nabiel, jika pemrakarsa dapat mewujudkan kesepakatan antarpemangku kepentingan yang pro dan kontra dalam bentuk pernyataan tertulis tentang kesepakatan bersama. Sayangnya, sampai saat ini belum tercapai titik temu.

Sampai kemudian datang banjir bandang yang menenggelamkan empat kecamatan di Cilacap beberapa waktu lalu. Ketika meninjau lokasi banjir, Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto mengaku geram dengan sikap pemerintah pusat yang menghentikan proyek penyudetan. ”Yang namanya Segara Anakan kini bukan lagi dialiri air, tetapi dialiri lumpur,” kata Mardiyanto.

Wakil Gubernur Jawa Tengah, Ali Mufiz, bahkan berkomentar lebih keras lagi. ”Kita yang menerima sengsara. Sedangkan wilayah Jawa Barat, yang memiliki andil bencana, justru yang mendapat nikmat,” ujarnya kepada pers. Akhir Desember lalu, berlangsung rapat yang dihadiri Gubernur Jawa Tengah, Badan Pengelola Segara Anakan (BKSA), dan berbagai instansi lainnya. Salah satu keputusannya adalah segera mengajukan proposal penanganan banjir di Cilacap kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sekaligus meminta dilanjutkannya proyek penyudetan.

Menurut Kepala BKSA, Djumadi, penyudetan adalah jalan terbaik agar sembilan kecamatan di Cilacap tidak terus-menerus terancam banjir. Lembaga ini sudah melakukan pengkajian ulang terhadap proyek ini, yang melibatkan ahli kelautan dari ITB, Unpad, IPB, dan Unigal (Universitas Galuh). Hasilnya, penyudetan memiliki dampak negatif yang lebih kecil.

Sebenarnya, kekhawatiran akan terjadinya pendangkalan sudah dirasakan sejak masa pemerintahan kolonial Belanda. Pada tahun 1931, De Haan menyatakan tingginya tingkat sedimentasi bakal mematikan usaha perikanan para nelayan dan menyebabkan musnahnya hutan bakau (mangrove). Tahun 1948, Bloommenstein menyarankan perairan laguna dijadikan daratan guna mendapat lahan pertanian dengan membuat tanggul untuk melindungi Segara Anakan dari pengaruh laut.

Pada tahun 1974, mulailah muncul gagasan menyudet Citanduy langsung ke laut. Selain itu, pemerintah dan para ahli semakin mengakui kekayaan yang ada di laguna ini. Pada tahun 1988, empat menteri yang mengelola kawasan ini berkunjung ke lapangan, yaitu Menteri Kehakiman, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Menteri Kehutanan, dan Menteri Pekerjaan Umum. Mereka sepakat bahwa penyelamatan Segara Anakan mutlak harus dilaksanakan.

Memang, laguna sepanjang 20 kilometer ini memiliki potensi sumber daya alam yang besar. Menurut Dietrich G. Bengen, ekosistem hutan mangrove di Segara Anakan merupakan kawasan hutan bakau paling luas di Pulau Jawa dengan keanekaragaman jenis yang paling banyak.

Namun, kekayaan itu semakin menyusut menyusul kerusakan yang terjadi. Berdasar data BPKSA, pada tahun 1903 luas laguna ini masih 6.540 hektare, kini tinggal 600 hektare. Penyusutan luas perairan itu dibarengi dengan kerusakan hutan mangrove. Pada 1995 hutan bakau masih seluas 9.804 hektare, dan tahun 2004 tinggal 7.553 hektare.

Hasil penelitian Richard Dudley dari Australia tahun 2000 memperlihatkan, potensi ikan dan biota laut di kawasan Segara Anakan terus menurun dibandingkan dengan hasil tangkapan 10 tahun silam. ”Kondisi lingkungan laguna ini sekarang menuju ke kematian,” kata Hartono, Dekan Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada.

Menurut Hartono, secara umum penyebab rusaknya Segara Anakan itu ada tiga, yaitu sedimentasi dan beralihnya fungsi lahan dari hutan mangrove diolah menjadi pertanian dan tambak. Faktor ketiga adalah adanya perambahan hutan, terutama di daerah Nusakambangan, khususnya di tiga desa yang ada yaitu Ujung Gagak, Ujung Alang, dan Penikel.

Sedimentasi terjadi karena penanganan hulu daerah aliran sungai (DAS) yang tidak baik sehingga empat sungai itu membawa lumpur. Hartono menunjuk bagian hulu Citanduy di Galunggung dan Tasikmalaya. ”Belum lagi kebiasaan warga sepanjang DAS yang membuang sampah ke Citanduy,” ujarnya. Selain itu, kata Hartono, sedimentasi juga berasal dari dibangunnya saluran irigasi di Sidareja yang juga bermuara di Segara Anakan.

Menurut Hartono, pembenahan daerah hulu ini jauh lebih penting ketimbang upaya penyudetan. Selain itu, ia melihat ada konflik di antara empat instansi pemerintah, yaitu Departemen Kehakiman yang menguasai daerah Nusakambangan, Departemen Kehutanan menyangkut kawasan hutan bakau yang mereka klaim seluas 57 petak, lalu Kementerian Lingkungan hidup untuk pengelolaan bakau dan Segara Anakan, dan Departemen Dalam Negeri (Pemerintah Kabupaten Cilacap) karena menyangkut penduduk pendatang.

Hartono mengusulkan supaya empat instansi tersebut duduk bersama agar kerusakan tidak semakin parah. ”Karena masalahnya tidak akan selesai kalau ada empat nakhoda. Mestinya satu,” ujarnya. Setelah itu, katanya, Badan Pertanahan Nasional segera membuat putusan tentang masalah status kawasan dan memberi penyadaran kepada penduduk terhadap ancaman rusaknya laguna. Langkah itu perlu dilakukan agar Sujarwo dan ribuan nelayan lainnya tidak semakin menderita.

Ari Aji H.S., Syaiful Amin, dan Untung Widyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus