Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekelebat terlihat gambar air terjun membelah bongkahan tebing batu. Tapi, begitu mata terfokus lebih dalam, ternyata bukan. Sapuan warna putih itu sangat tegas, persis di tengah bidang gambar yang muram. Mengaburkan garis-garis hitam, pemisah empat sosok wajah. Satu di antara sosok itu menunduk, mengamati bayi di gendongannya. Ada sebuah gelas anggur di situ. Mungkin sebuah pesta keluarga.
Demikian Lian Sahar mengekspresikan suasana hatinya. Pada ulang tahunnya yang ke-73, dia memamerkan karya-karyanya di Balai Roepa Tembi, Jalan Parangtritis, Bantul, Yogyakarta. Dua puluh tujuh lukisan itu terpajang selama tiga pekan, dalam acara ”Brokohan Budaya”. Boleh dikata, pameran lukisan Lian itu merupakan kisah perjalanan karya, dari 1957 hingga 2005. ”Beda umur pasti beda ekspresi,” kata Lian.
Sejak semula, Lian kerap menggunakan komposisi warna gelap. Dia memang pernah membuat garis-garis tegas dengan komposisi warna mencolok. Tapi dia tidak pernah meninggalkan warna hitam. Beberapa karyanya terkesan mesra, manis juga lembut meski diselimuti nuansa kelam.
Lian mengakui warna-warna muramnya dulu ada hubungannya dengan suasana hati yang tak henti-hentinya tertindas. Dia pernah disangkutkan pada PKI. ”Padahal saya tahu persis, dia sama sekali tidak tersangkut. Dia orang baik, bergaul dengan siapa saja,” tutur pelukis Joko Pekik.
Karya-karya Lian boleh jadi bagian dari rekaman pengalamannya. Lukisan tiga perempuan, misalnya. Ada garis-garis tegas menghujani sosok perempuan mirip bidadari. Sangat minimalis tapi berwarna, sekilas hampir tidak beda dengan sketsa. Ketiga perempuan itu terkesan manja dan nakal. Teuku Kemal menyebut lukisan itu biografis perempuan kerontang yang terpagut derita. Garis matanya gelap, tak memancarkan energi apa pun.
Sejak 1956, Lian Sahar mengikuti berbagai ekshibisi, tapi baru sekali menggelar pameran tunggal, di Singapura. Lian tidak pernah berhenti berkarya. Pelukis ini mendapat penghargaan terbaik dalam Biennale Seni Lukis Indonesia ke-2 dan ke-3 di Jakarta. Dia lebih senang memamerkan karyanya bersama pelukis-pelukis lain. Alasannya, agar penonton punya pilihan, tidak terfokus pada satu jenis lukisan saja. ”Kalau tidak senang yang ini, bisa melihat yang lain,” tuturnya.
Dia biasa mencoret-coret kertas kapan saja dia mau, tidak pernah direncanakan. Contohnya ketika suatu hari tiba-tiba saja tangannya menari-nari di atas kertas dan jadilah lukisan abstrak kaligrafi. Lian tidak percaya pada ilham. Baginya, ilham hanya datang pada orang-orang yang tingkat spiritualitasnya sempurna. ”Saya belum sampai ke situ. Hanya kaum sufi dan sebangsanya yang bisa,” tuturnya.
Pada 1960, Lian melukis Pasar Malam, dipamerkan bersama karya pelukis Prancis. Obyeknya diambil dari pasar malam Alun-Alun Utara Yogyakarta, menjelang dimulainya tradisi Sekaten. Di sini Lian memposisikan tradisi di tengah konteks modernitas. ”Begitulah Pak Lian. Dia seolah bergerak dalam dua alur, yaitu alur tradisi dan modern,” tutur Ons Untoro, Koordinator Program Balai Roepa Tembi.
Lian tidak pernah berhenti belajar. Dia selalu tidak pernah puas mencari teknik untuk menyempurnakan karyanya, bagaimana mempelajari karakter warna dan media, juga bagaimana cara menarik garis. Baginya, soal warna itu soal teknis. Kalau sekarang dia banyak menggunakan warna mencorong, itu karena kebetulan saja. Materi yang dipakai pastel yang warnanya transparan dan kertasnya sulit dicari.
Di sisi lain, menurut Ons Untoro, warna menyala seperti merah, kuning, hijau, biru menunjukkan kehidupan yang tidak hanya hitam-putih atau salah-benar. Dialog Lian dengan tradisi menghasilkan satu formulasi bahwa kehidupan itu sangat majemuk. ”Ini ungkapan hati Pak Lian bahwa kehidupan itu tidak dikotomis,” tutur Ons.
Secara tak sadar, Lian telah membuktikan keteguhannya sebagai pelukis ekspresionis abstrak yang kuat. Sapuannya puitis dan sangat liris. Sebagaimana sapuan pastel karya seniornya, Rusli atau Sri Hadi.
Lian adalah satu dari banyak seniman asal Sumatera yang hijrah ke Jawa untuk menuntut ilmu, bersama-sama perupa lain seperti Nasjah Djamin, Rusli, Permadi Liosta, dan Amrus Natalsya. Selepas dari ASRI, Lian melanjutkan ke Seni Rupa ITB. Dari tiga dosennya—Edi Kartasubarna, Ahmad Sadali, dan Mochtar Apin—Lian belajar hidup menjadi seniman yang baik, dalam karya maupun dalam bersosial dengan sesama.
Indonesianis Herbert Feith pernah menandai, dekade 1950-an merupakan masa paling pluralistis dalam kehidupan sosial. Dia mengalami masa-masa itu. Kini, dia berhasil mengkonstruksi suatu tradisi dengan simbol modernitas yang sudah dia kenali. Itulah lukisan-lukisan terbaru Lian yang dibuat pada 2005.
Tak satu pun lukisan itu diberi judul, hanya ada tema besar, ”Dimana Tak Dinama”. Bagi pelukis abstrak ini, judul atau nama tidak terlalu penting karena hanya jembatan antara seniman dan masyarakat. Bukan berarti Lian ingin menjauh dari masyarakat. Sebaliknya, dia ingin menyatu dengan masyarakat, sehingga mereka dibiarkan bebas mengapresiasi lukisan-lukisannya. ”Membuat judul itu mudah, tapi belum tentu pas buat mereka,” tutur penggemar sayur lodeh ini.
Karya-karya terbaru Lian terasa keras. Garis-garisnya tegas dengan warna cerah ceria. Menunjukkan sosok yang memiliki karakter kuat ini sedang bersuka hati. Dan ternyata, dia telah menemukan identitasnya.
L.N. Idayanie (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini