Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Tiga ronde buat pical?

Ellyas Pical, 25, akan bertanding melawan Ju Do Chun memperebuntukan kejuaraan dunia pro kelas bantam yunior versi IBF di Senayan. Menurut Bolang, Pical masih punya kelemahan. (or)

4 Mei 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ELLIAS PICAL, 25, jadi pusat perhatian pekan ini. Jutaan penggemar tmJu Indonesia, tengah menunggu petinju kidal asal Saparua, Maluku, ini menyelesaikan pertarungan besar yang untuk pertama kalinya akan dihadapinya 3 Mei, pekan in juga, di Istora Senayan, Jakarta. Yakni, pertandingan memperebutkan gelar juara tinju dunia kelas bantam yunior versi IBF (International Boxing Federation) melawan pemegang gelar Ju Do Chun dari Korea Selatan. Akan berlangsung lima belas ronde, pertandingan yang menghabiskan dana lebih Rp 300 juta ini merupakan kontes adu jotos tingkat dunia yang kedua kalinya dilaksanakan di Senayan. Dan Pical, yang kini bernaung di sasana Garuda Jaya, Jakarta, itu diharapkan akan menerima bayaran sekitar Rp 41 juta. Atau sekitar Rp 11 juta lebih besar dari bayaran yang diterima Thomas Americo, petinju asal Timor Timur yang, Agustus empat tahun lalu, menjadi petinju Indonesia pertama yang menantang - tapi kemudian dikalahkan - juara tinju dunia kelas welter ringan versi WBC (World Boxing Council) Saoul Mamby dari Amerika Serikat. Setelah kekalahan Americo, Pical, juara tinju pro Timur Jauh (OPBF - Orient Pacific Boxing Federation) sejak 1984, tampaknya amat diharapkan bisa merebut gelar dunia itu. Padahal, gelar itu merupakan versi IBF, wadah tinju baru dan yang ketiga setelah WBC dan WBA (World Boxing Association). Berdiri sejak tiga tahunlalu di AS, wadah baru ini, memang belum sehebat WBA dan WBC yang sudah tiga puluh tahun mengatur pertarungan jago-jago tinju dunia di atas ring. Badan yang didirikan bekas beberapa pentolan WBA, di antaranya Robert Lee yang kini jadi president IBF, baru sekitar dua tahun ini ramai disebut-sebut, setelah mereka dengan berani menerima dan mengakui beberapa kampiun tinju dunia yang dihukum atau "lari" dari WBA dan WBC. Misalnya, Larry Holmes, juara kelas berat WBC yang sejak Desember 1983 bernaung di wadah ini dan Marvin Hagler, yang, selain masih bernaung sebagai juara kelas menengah WBA dan WBC, sejak tahun lalu juga ikut bergabung dalam wadah baru ini. Petinju botak ini, yang baru bulan lalu mempertahankan gelarnya, bahkan kini menjadi salah satu juara yang diandalkan IBF. Di kelas bantam yunior, gelar IBF itu dipegang sejak 9 Desember 1983 oleh Ju Do Chun. Petinju kelahiran Myunmok-dong, yang terletak di sebelah utara Seoul, ini merebut gelar itu dari sang juara, Gasgai Ken, dari Jepang, dengan kemenangan KO di ronde kelima. Bertampang kelimis, calon lawan Pical yang masih berusia 21 tahun ini, sejak itu, lima kali berturut-turut mempertahankan gelarnya. Semua dengan KO. Padahal, Chun, baru sekitar empat tahun terjun ke tinju pro - tanpa pernah bertanding sebagai petinju amatir. Masih bujangan, petinju yang kini memiliki rekor 22 kali main - 19 kali menang (9 kali dengan KO), 1 kali kalah, dan 3 kali seri ini, Sabtu malam, tiba di Jakarta, didampingi ibu, manajer, dan dua pelatihnya, warga negara Taiwan. Tampak segar, petinju yang akan menerima pembayaran sekitar Rp 100 juta ini, setiba di bandar udara Cengkareng, langsung melancarkan serangan (mulut) yang pertama kepada calon penantangnya. "Saya sudah lihat permainannya. Pukulan-pukulannya seperti pukulan petinju pemula. Karena itu, saya yakin akan mengandaskan dia di ronde ketiga," kata Chun. Genderang perang, yang mulai dipukul sang juara yang terkenal dengan pukulan lurus dan hook kanannya yang keras itu, dijawab dengan dingin oleh Ellias Pical. Sudah berlatih sekitar empat bulan dengan Pelatih Simsom Tambunan - adik kandung pemilik sasana Garuda Jaya, Rio Tambunan - sang penantang, yang seminggu sebelum pertarungan diinapkan sehotel dengan lawannya di Hotel Sahid Jaya itu, mengatakan yakin akan menang. "Biar dia bilang apa saja: Yang penting, lihat nanti di ring," katanya. Penantang yang selama terjun di pro memiliki rekor bertanding 11 kali main - 10 kali menang (7 kali dengan KO), 3 kali menang angka dan sekali kalah - ini, selain dikenal pemalu, juga tak banyak bicara. Tapi, bujangan yang suka musik disko dan breakdance ini amat ulet dan gigih jika memperjuangkan keinginannya. Dan itulah yang dijanjikannya kepada para penggemarnya dari mulai artis film sampai kepada Menpora Abdul Gafur yang mengunjunginya awal bulan lalu. "Beta mau jadi orang Indonesia pertama yang jadi juara dunia." Rajin ke gereja, terutama pada minggu-minggu sebelum pertarungan dimulai, anak keenam dari tujuh putri-putri Pieter dan Suzanna Pical ini tampak sekali berambisi. "Saya akan bertanding mati-matian," kata bekas peselam yang, Oktober tahun lalu, mempertahankan gelar OPBF-nya dengan kemenangan KO dari Mutsuo Watanabe dari Jepang itu, serius. Sudah bertinju sekitar 10 tahun (empat tahun di amatir dan sejak Desember 1982 terjun ke pro) Pical sudah merasa-rasa pertandingan kali ini akan mengubah karier tinjunya. Tapi, itu tentu saja tak mudah. Sebab seperti yang dikemukakan Boy Bolang, kendati sudah lama bertinju, Pical masih menyimpan sejumlah kelemahan elementer. Misalnya, "Dia sering off-balance. Artinya, senng melakukan pukulan yang salah, karena tak ditunjang dengan gerakan kaki yang baik, senng mengganggu keseimbangannya," kata promotor yang mengurus pertarungan perebutan gelar itu. Kelemahan inilah, agaknya, yang sudah diintai Chun sehingga dia berani sesumbar mengatakan Pical sebagai petinju pemula. Apakah kelemahan itu masih ada sekarang? Pelatih Pical Simsom Tambunan, berkelit. "Orang boleh bilang apa saja. Tapi, perlu saya tekankan, tiap petinju punya gaya tersendiri." "Petinju yang bisa memanfaatkan kelemahan lawanlah yang nanti akan menang." Dan Simson mengatakan sudah mengetahui "isi kantung" Chun. Ada dua gaya, kata pelatih yang kini berusia 47 tahun itu, yang biasa dipakai petinju Korea. Yakni, gaya Pusan dan Seoul. Gaya Pusan lebih aktif bergerak, mirip petinju Barat, sementara gaya Seoul hanya satu-satu saja bergerak: ke kiri dan ke kanan. Chun menurut dia, memiliki gaya kombinasi kedua gaya itu, "Dengan beberapa titik lemah", karena dia dilatih pelatih Taiwan. Enggan membeberkan apa kelemahan itu, Simson, insinyur lulusan ITB itu, cuma menjanjikan, kelemahan Chun akan dimanfaatkan oleh petinju asuhannya. "Lihat saja nanti di ring, semua akan kami keluarkan," katanya sambil tertawa. Marah Sakti Laporan Rudl Novrianto (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus