MASA depan pembakar sekolah itu akhirnya terang kembali. Dua pekan lalu ia divonis 2 bulan potong masa tahanan. Seminggu kemudian, Senin pekan lalu, ia telah kembali masuk sekolah. Bukan di SD Talang Negeri, sekolah lamanya, tapi di SDN V Limbanang, Kecamatan Suliki, 20 km dari tempat tinggalnya. Murdianto, nama bekas siswa kelas VI SDS Talang Negeri, Kecamatan Guguk, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, ini memang lagi khilaf ketika peristiwa itu terjadi. Malam 7 Februari itu ia bermaksud membakar buku PMP di almari sekolahnya. Dan tentu saja sekolah beratap tripleks itu ikut terbakar. Ini gara-gara beberapa hari sebelumnya, ketika pelajaran PMP, ia murid satu-satunya yang tak diberi pembagian buku oleh gurunya. Dan kepada Fachrul Rasyid, wartawan TEMPO di Sumatera Barat, siswa yang selalu menjadi juara kelas itu mengaku sudah sering diperlakukan tak adil. Ia memang nakal. Tapi bila yang berbuat murid yang lain, tetap dialah yang dituding (TEMPO 9 Maret 1985). Agaknya pengadilan bersikap cukup bijaksana. Misalnya, sidang tak dibuka di Kecamatan Guguk, tapi di Suliki, Kecamatan Suliki, sekitar 20 km dari tempat tinggal Murdianto. Dan vonis itu berarti, hari itu pula anak pedagang gambir dan peternak ayam ini bebas - ia sudah menginap di Polsek tepat dua bulan. Yang tetap tak diungkapkan adalah benarkah ia - yang piawai meniup seruling dan memetik gltar - punya kelaman jiwa. Atau tingkah lakunya selama ini merupakan penyaluran rasa kurang diperhatikan. Atau ada sesuatu yang lain lagi. Sayang, pihak pengadilan tak mencoba mendatangkan ahli psikologi, misalnya. Masir Datuk Bandaro Sati, 43, ayah Murdianto, sebenarnya sudah lama berniat memeriksakan anak keduanya ini ke ahli ilmu jiwa. Tapi psikolog satu-satunya ada di Payakumbuh, ibu kota kabupaten, dan hingga Murdianto divonis ahli itu belum pulang dari Jakarta. Setelah bebas, hampir saja Murdianto tak mendapatkan sekolah. SD Talang Negeri telah mengeluarkannya 3 Maret yang lalu. Sebelumnya, 23 Februari, muncul surat edaran dari Abbas Djamal, kepala Kantor Departemen P & K Kecamatan, di semua SD dan SMTP Kecamatan Guguk. Isinya menyatakan, "Murdianto adalah anak yang luar biasa kejahatannya dan luar biasa kenakalannya." Karena itu, "Demi memelihara ketenteraman suasana belajar dan mengajar dalam Kecamatan Guguk, seluruh SD di daerah ini merasa tidak mampu melanjutkan pendidikan anak tersebut." Untunglah, ada yang terbuka hatinya: guru-guru SDN V Limbanang, Kecamatan Suliki. "Andai kata semua orang membencinya, bagaimana jadinya anak itu?" kata Alimisnar, 45, guru di SDN Limbanang. Dan guru ini beserta rekan-rekannya percaya bahwa Murdianto punya masa depan yang baik. "Itu bergantung pada pendekatan pendidiknya," tambahnya. Murdianto tak menyia-nyiakan kepercayaan yang diperolehnya. Baru dua hari di sekolah barunya, ia menempuh ujian Keterampilan, dan memperoleh angka baik. Masih di pekan lalu, ia pun ikut tes hasil belajar Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa. Angka yang diperolehnya 8,8. "Saya di sini merasa aman karena saya malu sekolah di kampung sendiri," kata Murdianto, yang telah akrab dengan teman-teman barunya. Sebenarnya, jauh dari Desa Talang, seorang dosen Akademi Kesejahteraan Keluarga & Teknologi Kerumahtanggaan (AKKTK) Tarakanita, Yogyakarta, menaruh simpati kepada anak itu. Mardjuki, 48, dosen mata kuliah Ekspresi, menugasi 85 mahasiswi AKKTK semester II untuk membuat surat tertuju kepada Murdianto. Hasilnya, semua surat menaruh simpati kepada anak Minang bernama Jawa ini. "Lupakanlah kejadian yang pernah terjadi.... Dan mulai hari ini mulailah dengan hidup baru dengan keyakinan dan pengharapan," tulis Y. M. Endang S., salah seorang yang menulis surat itu. SD Talang Negeri telah diperbaiki kembali. Teman-teman lama Murdianto, setelah beberapa minggu belajar dengan menumpang di sekolah lain, telah kembali ke sekolah sendiri. Sementara itu, Murdianto telah memutuskan untuk melanjutkan sekolah jauh dari kampungnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini