SEORANG yang punya kepandaian menggoyangkan pohon dan mengumpulkan buah. Seorang yang sederhana saja, yang bahkan mengaku "tak punya kesempatan untuk belajar", tapi merasa dikaruniai "keterampilan kerja dan keterampilan berpikir". Seorang ulama yang pada akhir hidupnya memasuki salah satu pengalaman paling dramatis: terbaring enam belas hari dalam keadaan tak sadar diruang khusus rumah sakit, diikuti perkembangan kesehatannya detik per detik oleh para dokter terkemuka, dipancarkan lewal TV dan disiarkan lewat seluruh media massa, dijenguk para menteri dan para pembesar ganti-bergantl.... Ia sudah tiada - Kiai Haji Engkin Zainal Muttaqien - 27 April yang lalu. "Masyarakat selalu berbuat 'kejam' kepada pemimpinnya. Di kala ia punya waktu dan sehat, dibebaninya pekerjaan sebanyak-banyaknya sampai tak terangkat lagi.... Karena itu anakku, Papi betul-betul kehabisan waktu, betul-betul menjadi sebatang 'lilin', ia sinari masyarakat sekelilingnya, tetapi dirinya terbakar sendiri. Papi tak punya kesempatan untuk belajar ...." Seorang tua enam puluh tahun yang bekerja keras, seperti yang disimpulkannya dalam petuah untuk ke-10 anak dan para cucu - ditulisnya sepanjang 27 kuarto, pada hari ulang tahun perkawinannya yang ke-35, tiga tahun lalu. Seorang yang tidak cuma menduduki jabatan-jabatan yang sering disangka hanya formal: ketua Majelis Ulama Indonesia, ketua umum MU Jawa Barat, ketua Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Swasta Wilayah III, tapi juga rektor sebuah universitas dengan lebih dari 4.000 mahasiswa dan lebih dari 11 fakultas. Dan, di samping itu, seorang yang mampu memberi pengajian di kalangan-kalangan yang "sangat bawah" di berbagai kota kecil di Jawa Barat, sampai kalangan para menteri atau pejabat atau panglima. Bisa dipahami bila, seperti dikatakan Menteri Agama dalam pidato pemakamannya, kematiannya - akibat kecelakaan lalu lintas di jalan raya Nagreg, Cicalengka, Bandung, dinihari Jumat 12 April itu adalah gugurnya seorang mubalig di antara dua tugas dakwah. Kiai ini baru saja pulang ceramah di Ciamis, atas undangan Pemerintah Daerah, dan akan segera ke Jakarta untuk membacakan makalahnya, tentunya yang berhubungan dengan aspek-aspek agama, di depan sebuah seminar tentang stress dan jantung. Tak heran pula bila, sebagai seorang bapak yang secara langsung memenuhi kebutuhan rohani rakyat di mana-mana, ia dibanjiri demikian banyak simpati dari umatnya sejak saat kecelakaan sampai pemakamannya. "Ia boleh dikatakan tak pernah menolak permintaan orang," kata Affandi Ridwan, 63 tahun, bekas ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) Jawa Barat. "Ia sangat toleran, mau mendengarkan pendapat orang lain - seorang demokrat," tutur K.H. Hasan Basri, ketua MUI. "Beliau mudah dijumpai, sekalipun di rumah. Padahal, beliau itu rektor," kata Liandra, mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Islam Bandung (Unisba) yang dipimpinnya. "Ia selalu berbaik sangka pada orang. Malah ada kalanya memberi kesan terlalu berbaik sangka," kata Endang Saifuddin Anshari, M.A., dosen beberapa perguruan tinggi. Seorang sahabat - Muttaqien itu. Seorang yang masih sempat juga membuatkan tiga buah lirik untuk Grup Bimbo, seperti dituturkan Jaka. "Bahkan semua kami ini, Pak Muttaqienlah yang mengawinkan," katanya. Seorang yang, walaupun sangat menginginkan seluruh mahasiswinya mengenakan hijab (kudung), tidak mengeluarkan peraturan apa pun tentang itu. "la ingin mereka mengenakannya atas dasar keyakinan sendiri," kata Prof. Drs. A. Sadali, ketua Yayasan Unisba. "Ia selalu mempertimbangkan lingkungan dan suasana, tidak mau membuat kontras. Sehingga sering orang salah mengertl, menganggapnya linca-lincu, kurang tegas," katanya pula. Itulah kepemimpinan Muttaqien. Kepemimpman yang unik, menurut Endang Saifuddin dan Sadali. Hampir tak ada "wajah ketua" pada tokoh ini, kecuali bahwa ia sangat tenang. Tak di sebuah tempat pun ia kelihatan menonjol terkadang bahkan lebih terasa sebagai seorang famili yang datang dari kampung, yang tersenyum-senyum sambil siap menyapa atau disapa. Tak ada sama sekali, seperti pada Buya Hamka, kegagahan di wajahnya, atau semangat pada kata-katanya. "Khotbah dan ceramahnya memberi kesejukan di hati beribu-ribu pendengarnya," kata Miftah Faridl, sekretaris MU Ja-Bar. "Ia contoh bagi kami yang muda-muda." Tetapi, dengan itu semua, ia dipilih kembali sebagai rektor Unisba, 1984, untuk jabatan lima tahun yang kedua. Dan ia punya massa yang banyak sekali - hal yang tak diduga banyak orang, dan tak semua "ulama nasional" memilikinya - seperti tampak pada upacara pemakamannya. Dan, di bawah kepemimpinan Muttaqien, Unisba belakangan memperoleh bantuan pemerintah, baik berupa dosen maupun materi, serta izin membeli tanah yang cukup luas untuk ditempati setidak-tidaknya bangunan tiga fakultas. Dan, lagi, sebagai sekjen Persatuan Guru Islam Indonesia (PGII), pada tahun 1949 ia berhasil mendirikan dan memimpin LPM (Lembaga Pendidikan Muslimin), yang sekarang mempunyai tak kurang dari 200 sekolah, dari jenis madrasah, SD, sampai SMA, dan punya 18 cabangdi kabupaten Bandung dan Cianjur. Memang benar: ia seorang yang "hanya" punya kepandaian menggoyangkan pohon dan mengumpulkan buah. Apakah kiranya yang diidamkan oleh K.H. Abdullah Siradj dan Siti Mahiah, ayah dan ibunda Muttaqien, yang melahirkan si Engkin (panggilannya di masa kecil) ini di Singaparna, Tasikmalaya, di tengah delapan saudaranya, pada 4 Juli 1925? Tentu saja, anak ini dimasukkannya ke pesantren, di Cipasung, setelah keluar dari sekolah desa. Kemudian masuk ke Madrasah Tsanawiyah (SLP) Mathla'un Najah milik NU kembali lagi ke pesantren, kali ini di Sukabumi. Lalu ikut penataran mubalig Muhammadiyah di Bandung. Hanya itu. Dan sesudah itu ia bekerja di kalangan perguruan, khususnya perguruan Islam, di samping di kantor Departemen Agama. Kemudian memimpin Unisba, kemudian memperoleh gelar doktor HC dalam ilmu dakwah dari Perguruan Tinggi Ilmu-Ilmu Al-Quran (PTIQ), Jakarta, 1982. Tidak berarti Muttaqien tidak teguh pendirian. Setidak-tidaknya, ia pernah enam tahun dipenjarakan Sukarno - setelah dipanggil ke Istana dan, sebagai ketua umum PB GPII, didamprat di sana, seperti dituliskannya dalam karangan kepada anak cucunya itu. Karangan itu, yang seakan-akan sebuah wasiat (di samping telegramnya kepada putra tertuanya, H. Fuad Helmy, beberapa hari sebelum kecelakaan terjadi, yakni agar menjaga kerukunan keluarga dan kerukunan umat Islam), malahan bisa juga dianggap semacam manifesto bagi pendirian kiai ini. Katanya, Papih (demikian memang anak-anaknya memanggilnya) dulu memang pejuang politik. "Tetapi setelah Papih gagal dalam membela suatu alat perjuangan .... dengan introspeksi dan retrospeksi dan mengadakan kritik pribadi, akhirnya Papih mencari jalan yang lebih tepat dengan kepribadian Papih sendiri." Artinya, jalan yang dulu itu sebetulnya tak cocok benar dengan pembawaannya. Dan jalan yang cocok itu, "Papih sadar," katanya, "kita tidak boleh menjadikan oposisi yang abadi." Karena itulah, "Akhir-akhir ini perjuangan Papih mengambil garis akomodatif terhadap kenyataan." Dan itu diakuinya, menimbulkan aneka pertanyaan dari kawan-kawan lamanya. "Tak sedikit yang mencurigai, bahkan mencoba menjauh dari lingkungan Papih," katanya - meskipun pada akhirnya, setelah ia menerangkan kepada setiap rekan yang datang, mereka tidak menghalangi, kalau tidak malah mendukung. Hari itu. sore. sehabis pemakaman hujan lebat turun di Bandung dan sekitarnya - sampai larut malam. Bendera-bendera setengah tiang, yang belum diangkat, yang dipasang orang di jalan-jalan Kota Bandung tanpa perintah siapa-siapa, basah menggigil. Para umat sudah pulang, tentunya, dan sebagian menggigil. Jawa Barat, rakyat Pasundan yang pernah lama berada dalam bayangan aliran keras model DI, yang seakan-akan sekian lama kosong pimpinan, dan yang kemudian mendapat seorang bapak, seorang tokoh penerus tetapi yang "lain sama sekali", yang ingin memajukan mereka dan diam-diam membela mereka dari setiap salah pengertian atau prasangka masa lampau, seakan kembali kehilangan pelindung. "Pikiran dan perasaan Papih dibebani dua hal yang berat sekali. Pertama: memikirkan kalian," kata Kiai dalam buku wasiat itu. "Kedua: memikirkan umat. Siapa yang membawa mereka? Apakah khittah Papih dapat mereka ikuti? Yang sangat kami tangiskan itu, justru takut umat hidup tanpa garis, dibawa angin tidak menentu. Nangis Papih ! ...." Tidak, Kiai. Seperti kau sendiri bilang, "Kita berjalan di Sahara yang luas atau di belokan yang lebat. Kalau hanya melihat langkah kaki, bisa ragu-ragu. Tetapi kalau melihat pedoman dan peta, akan menyadari benarnya jalan yang ditempuh." Mudah-mudahan begitu. Sudah terbukti: tidak hanya yang keras, seperti sering disangka, tidak hanya yang tegar, yang mendapat tempat di hati ribuan atau gelombang besar orang. Syu'bah Asa Laporan Biro Bandung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini