Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Hidup dengan ginjal kadaver

Simposium penyakit ginjal di Bandung menganggap transplantasi ginjal lebih baik dari cuci darah yang mempunyai efek samping. Hanya masalahnya kesulitan mencari donor. (ksh)

4 Mei 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MITA menangis kecewa karena niatnya menyumbangkan ginjal untuk ibunya ditolak dokter. "Niat saya ketika itu sudah bulat," ujar gadis 21 tahun itu, menceritakan soalnya kepada wartawan TEMPO, Didi Sunardi. Pasalnya, menurut pemeriksaan dokter, kondisi ginjalnya kendati sehat, memiliki risiko 45:60 untuk disumbangkan. Namun, karena tak ada kemungkinan lain, dan Mita berani menanggung risikonya, pemindahan sebuah ginjal Mita ke tubuh ibunya, Ny. Memet, akhirnya jadi juga. Transplantasi itu terjadi di Jakarta tahun 1982. Ny. Memet adalah orang ke-l1 yang menjalani transplantasi ginjal di Indonesia. Pemindahan itu dilakukan dr. Sidabutar, ahli ginjal RS Cikini, Jakarta. Bagi Ny. Memet dan keluarganya, ini jalan terbaik. Soalnya, tanpa transplantasi, Ny. Memet harus terus-menerus menjalani cuci darah (hemodialisasi) seperti yang terjadi pada Carlos Romulo. Bekas menlu Filipina yang berumur 86 itu menderita kerusakan ginjal sehingga di mana pun berada, misalnya ketika hadir pada peringatan 30 tahun KAA di Bandung, harus selalu menjalani cuci darah. Cuci darah inilah yang bagi keluarga Ny. Memet cukup berat. Biayanya bisa meliputi Rp I juta sebulan - cuci darah dilakukan tiga kali seminggu. Besarnya biaya ini, dan kemungkinan melakukan transplantasi ginjal, adalah salah satu topik yang dibicarakan dalam "Simposium Penyakit Ginjal di Masyarakat dan Temu Ahli Transplantasi Ginjal" yang diselenggarakan 27 April di Bandung. Pada pertemuan ilmiah yang dihadiri 400 peserta itu, hadir semua ahli transplantasi ginjal Indonesia yang jumlahnya baru 11 orang. Pada pertemuan itu, para ahli menganggap lebih baik melakukan transplantasi ginjal, dalam mengatasi penyakit kerusakan ginjal, daripada melakukan cuci darah terus-menerus. Dalam penjelasan kepada TEMPO, dr. Enday Sukandar, ketua panitia simposium, mengutarakan bahwa mesin cuci darah berfungsi menggantikan ginjal memisahkan darah dari racun sisa metabolisme tubuh. Ginjal yang rusak karena berbagai penyakit tak lagi mampu melakukan fungsinya sehingga harus dibantu dengan hemodialisasi. Tapi, menurut Enday, cuci darah tak bisa menggantikan fungsi ginjal alami secara 100%. Palingpaling 75%. Di samping itu, ada pula kerugian lain. Komplikasi akibat cuci darah bisa membuat penderita mati mendadak. Sementara itu, cuci darah yang dilakukan bertahun-tahun bisa mengakibatkan pengapuran pada pembuluh-pembuluh darah. Pengapuran ini bisa punya akibat macam-macam. Tidak lancarnya aliran darah akan mengganggu distribusi 2 ke seluruh tubuh. Transplantasi ginjal terbilang lebih alami, menurut dr. Sidabutar, ahli transplantasi ginjal terkemuka, dalam simposium itu. Hasil observasi menunjukkan pula, dibandingkan dengan cuci darah, transplantasi ginjal mempunyai angka statistik lebih baik. Satu-satunya bahaya transplantasi ginjal, sementara ini, hanyalah penolakan tubuh (yang merupakan bahaya umum pada semua transplantasi - tubuh menolak organ asing). Namun, baik Enday maupun Sidabutar menyebutkan bahwa sekarang bahaya itu bisa diatasi karena sudah banyaknya obat-obat imunosupresan, yang mampu menekan daya tolak tubuh itu. Dalam transplantasi, ginjal baru dipasang di bagian rongga panggul, sementara dua ginjal lama, menurut Enday, dibiarkan pada tempatnya. Satu ginjal baru inilah yang akan menggantikan fungsi kedua ginjal lama yang sudah rusak itu. Persoalan yang masih ada pada usaha transplantasl gimjal, menurut Sldabutar, terletak pada ikhtiar mencari donor. Bisa dimengerti, banyak orang merasa khawatir menyumbangkan sebuah ginjalnya. Anggapan awam, sebuah ginjal yang tersisa merupakan cacat yang blsa berakibat buruk. Ginjal umumnya diberikan ketika sang donor masih hidup. Lain dengan mata, misalnya, yang baru bisa disumbangkan setelah donor meninggal. Namun, sebagaimana mata, ginjal bisa diperoleh juga dari kadaver - mereka yang sudah dianggap meninggal tapi belum mengalami kematian otak. Pada tahap kematian semacam ini, biasanya seseorang masih memiliki bagian organ tubuh, misalnya jantung, yang masih "hidup", sehingga ginjalnya masih bisa dipergunakan. Sudah tentu harus ada izin pemiliknya ketika masih hidup. Jumlah transplantasi ginjal di Indonesia, menurut Sidabutar, belum menggembirakan. Sejak tahun 1977 - ketika transplantasi ginjal dimulai di Indonesia - jumlahnya baru 70 "Suatu jumlah yang belum berarti dibandmgkan Jumlah pendenta yang memerlukannya," kata Sidabutar pada wartawan TEMPO, Syafiq Basri. Menurut perkiraan Sidabutar, prevalensi kerusakan ginjal di Indonesia sekitar 10 dalam satu juta. Itu berarti mestinya ada 1.500 transplantasi dalam setahun. Bisa dibayangkan susahnya penderita kerusakan ginjal. Selain kesulitan donor dan sedikitnya jumlah ahli, rumah sakit yang bisa melaksanakan transplantasi ginjal pun tak banyak. Menurut Enday Sukandar, di seluruh Indonesia hanya tiga: RSCM, Jakarta RS Cikini, Jakarta dan RS Karyadi, Semarang. Jim Supangkat Laporan Biro Bandung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus