AKHIRNYA PSSI mencetak kemenangan pertama 4 pada
pertandingannya yang terakhir dengan Singapura. Meskipun
pertandingan tersebut lebih mirip pertandingan hiburan, toh
kemenangan itu telah menyelamatkan Indonesia dari juru-kunci.
Di Chequers Hotel yang agak terpencil dari hiruk-pikuk
lalulintas, di malam kemenangan itu Tony Pogacnik nampak duduk
seorang diri santai. Segelas bir menemani Tony menikmati
prestasi anak-anak asuhannya.
"Apakah mereka telah mencapai puncak prestasi pada
pertandingan-pertandingan persahabatan internasional di Senayan,
sehingga ketika mereka tiba di Singapura grafik kondisi sedang
menurun?" tanya TEMPO mengganggu ketenangan Tony. "Tidak
mungkin", jawab Tony, "pada bulan Januari memang mereka agak
menurunsedikit, tapi itu sesuai dengan rencana. Pada bulan
Pebruari dan seterusnya mereka harus menunjukkan kondisi menaik
dan terus menaik sampai kondisi puncak pada turnamen ini".
Tapi mengapa mereka bermain dalam bentuk yang kurang wajar?
Katakanlah, andaikata mereka bermain seperti melawan kesebelasan
Levski (1-2 dan 0-4), peluang untuk menang rasanya sudah di
kantong. "Sungguh saya sendiri tidak mengerti", tambah Tony.
"Saya merasa tertipu oleh diri sendiri. Saya kecewa terhadap
diri sendiri. Tak ada yang harus disalahkan".
Mungkin ada hal-hal lain mengenai manajemen team, uang saku yang
belum dibagikan, hubungan dari dan keluar hotel yang diputus,
barangkali? "Tidak mungkin, semua berjalan baik. Uang saku bukan
tidak dibagikan. Tapi atas permintaan pemain sendiri supaya
disimpan pada pimpinan. Toh mereka belum membutuhkan untuk
berbelanja".
Kemudian Tony tiba pada kesimpulan: kita harus mulai dari baru.
Ia nampak tetap optimistis. Mulai dari turnamen Piala Suratin,
maksudnya? "Tidak. Bagaimana kalau pemain yang berusia 25 tahun
dikatakan di bawah 20 tahun. Tak ada gunanya itu", kata Tony.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini