Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Mengapa Kalah ?

Kesebelasan hong kong keluar sebagai juara grup asia i pada turnamen pra piala dunia di singapura. indonesia tak berkutik. diisukan hong kong pakai dukun, dan iswadi idris kena suap.

19 Maret 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PSSI, regu favorit dalam turnamen Pra-Piala Dunia, di Singapura, gagal. Dan pekan lalu, Hongkong-lah yang dulu disepelekan yang jadi juara Group Asia I. Indonesia dipukul Hongkong keok. Kata salah satu teori: ada "klenik" sebagai penyebabnya. Bardosono Ketua PSSI itu menemukan sebuah patung Budha tergeletak di dekat tiang gawang PSSI selepas pertandingan Indonesla-Hongkong. Patung tersebut segera dikirim ke Jakarta untuk dihancurkan 'kekuatan magisnya', begitu cerita Bardosono. Tapi segalanya kelihatan tidak berakhir semudah yang diduga. PSSI hanya mampu main seri melawan kesebelasan Malaysia dalam pertandingan selanjutnya. Kali ini tak seorang ofisial maupun pemain Indonesia yang menemukan patung atau barang sejenis yang ditempatkan lawan di daerah permainan PSSI. Lantas, apakah penyebab ketidak-berhasilan pemain Indonesia? "Dukun kita kurang hebat, barangkali", komentar Ali Sadikin bergurau. Persoalan patung atau dukun segera hilang dalam gunjingan. Tiba-tiba muncul berita baru yang membuat orang makin terkesima: Iswadi dikabarkan menerima suap dari Hongkong. Desas-desus itu sudah barang tentu dengan cepat tersebar. Apalagi mereka melihat permainan Iswadi di layar tv dalam bentuk yang tak wajar dibandingkan dengan penampilannya di Senayan. Desas-desus mengenai suap itu sayangnya dibikin jadi ramai. Ketika itu menyusul berita baru dari Singapura bahwa Iswadi akan pulang ke Jakarta menjenguk ibunya nyonya Hawari Idris, 54 tahun, yang tengah dirawat di zal ICCU (bagian Penyakit Dalam) Rumah Sakit Ciptomangunkusumo. Dengan begitu Iswadi tidak akan turun dalam pertandingan lawan kesebelasan Muangthai. Di kalangan keluarga Iswadi, desas-desus suap itu tampak merupakan pukulan batin yang hebat. Ibunya langsung terjatuh di kamar mandi sewaktu seorang anggota keluarga kecoplosan membuka mulut mengenai soal tersebut. Isterinya, Esly, harus meluangkan waktu untuk melayani para tetangga yang datang menanyakan heboh perkara suap itu. Betulkah tuduhan yang dialamatkan ke diri Iswadi itu? Tampaknya tak seorang pun yang percaya. "Saya tidak yakin Iswadi melakukan itu", kata Ali Sadikin kepada TEMPO. Pendapat itu ditopang pula oleh Ketua KONI, Soeprajogi. Iswadi sendiri mengatakan: "Kalau saya mau duit, mengapa tidak dari dulu saja saya lakukan ketika saya masih jaya". Ia menambahkan bahwa kehidupannya masih tetap seperti dulu - tidak kaya. Memang kini ia menempati rumah bertingkat di kompleks perumahan Bangun Cipta Sarana di Cipinang Kebembem, dan mengendarai Honda Life. Tapi menurut pengakuannya, rumah dan kendaraan itu dibelinya dari hasil kontraknya dengan klab Western Suburb, Australia, 1974 dulu. Pendapat lain mengenai kegagalan team Indonesia keluar dari mulut Maulwi Saelan. bekas kapten kesebelasan PSSI. "Penampilan puncak dari pemain PSSI telah dicapai dalam pertandingan percobaan di Jakarta" katanya kepada Eddy Herwanto dari TEMPO. "Bukan aneh jika kondisi mereka jadi menurun ketika melawan Hongkong". Ia kemudian menambahkan, penyebab semua itu adalah akibat perhitungan pelatih terhadap penampilan puncak yang tidak tepat, dan melesetnya rencana yang disusun pengurus. Faktor lain yang juga dipersoalkannya adalah gontaganti pelatih (dari Coerver ke tangan Tony Pogacnik) dalam tempo yang pendek. Pendapat Saelan itu sebagian dibantah oleh Tony Pogacnik. Menurut perhitungannya, penampilan puncak itu akan dicapai pemain tepat dalam masa turnamen. Tony Pogacnik boleh berhitung. Cuma kenyataan di lapangan tidak selamanya sesuai dengan perhitungan. Ia lupa pada kondisi Iswadi yang kurang baik lantaran tidak tidur semalaman - mungkin karena beban mental turnamen, atau boleh jadi akibat memikir ibunya yang sedang sakit ketika ditinggalkannya. "Kalau saya jadi pelatih, Iswadi tidak akan saya pasang waktu itu", ujar Saelan. Iswadi kemudian memang diistirahatkan Tony Pogacnik ketika menghadapi Muangthai. Tapi kondisi team ketika itu sudah lain. Heboh soal suap telah merusak keutuhan team. Oyong Lisa yang bertindak sebagal kapten pengganti ternyata pun tidak mampu memperbaiki keadaan. Lantas apakah sebetulnya yang terjadi dengan PSSI? "Cara pengurus sekarang tidak edukatif", lanjut Saelan. Ia membeberkan pemanjaan pemain yang terlalu berlebihan. "Uang bukannya tak perlu. Tapi, jangan lupa menanam soal dedikasi pada mereka". Berbicara mengenai soal dedikasi pemain, orang lalu teringat pada Coerver lagi. Bekas pelatih ini dinilai cukup berhasil memadu unsur uang dan kepribadian pemain dengan baik. Kenyataan itu diakui dengan jujur oleh Risdianto maupun yang lainnya. Bagaimana dengan Tony Pogacnik? "Ia tidak seperti Coerver", kata salah seorang pemain. Kelebihan lain dari Coerver: ia lebih memperhatikan kondisi mental pemain sebelum turun ke lapanan. Jika hal itu dilakukan Tony Pogacnik terhadap pemasangan Iswadi di awal turnamen, mungkin keadaannya akan jadi lain. Sebagaiahli sepakbola, Tony Pogacnik pasti tahu hal itu. Tapi, bagaimana mungkin kesalahan justru terjadi? Masyarakat berpaling pada Bardosono, pemegang wewenang tertinggi dalam PSSI. Mungkinkah ia terlampau banyak carnpur tan8an dalam pemasangan pemain? Tak seorang pun pengurus PSSI yang berani buka mulut mengenai hal ini. Mencari siapa yang salah memang merupakan reaksi yang biasa terjadi dalam soal kegagalan. Kalangan awam pun mempunyai versi sendiri atas ketidak berhasilan Iswadi dan kawan-kawan:  Kurang stamina dan semangat juang. Mungkin sudah tua. Rata-rata pemain PSSI mendekati usia 30 tahun. Metode latihan fisik Tony telah ketinggalan. Tempo permainan sekarang menuntut kesegaran fisik yang jauh lebih besar daripada zaman Tony 20 tahun yang silam.  Gaya permainan bola dewasa ini, dalam suatu turnamen besar tidak lagi terpaku pada pertahanan yang kuat melulu. Permainan terbuka selalu dikembangkan. Risiko kemasukan diimbangi dengan membuka peluang untuk memasukkan. Itulah sebabnya pada akhirnya selisih gol yang menentukan. Italia sendiri sedang membongkar gaya catenaccio - itu sistim 'pertahanan beton' yang dinilai sangat melumpuhkan kreatifitas dan kegairahan orang bermain bola di zaman sekarang.  Dalam pertandingan persahabatan internasional di Senayan, umumnya para pemain diberi obat perangsang (Catovit?). Sebaliknya di Singapura pemakaiannya dilarang keras. Doping test dilakukan oleh dokter panitia secepatnya pertandingan usai.  Pengintaian Aliandu dan Iswadi ke Hongkong kurang membuahkan hasil ketimbang pengintaian Frans van Balkom ke Jakarta. Bahkan menyesatkan. Sebab, oleh Sinyo-Iswadi, permainan Hongkong dinilai sangat defensif. Ketika itu Hongkong kalah melawan Spartak Amsterdam (0 - 2). Kesimpulan ini diambil tanpa mempertimbangkan kemungkinan Hongkong sedang mempraktekkan sistim pertahanannya terhadap kesebelasan yang jauh lebih superior. Maka instruksi dan segala macam teori untuk memancing Hongkong keluar dari sarang pun dikhotbahkan. Tahu-tahu tanpa dipancing, anak-anak van Balkom menyerang menggebu-gebu. Membingungkan bukan?  Organisasi PSSI tidak bisa dibiarkan begini terus. Ketua Umum Bardosono yang masih hijau dalam sepakbola sering menggali nasehat dari mereka di luar kepengurusan. Sehingga menimbulkan kegelisahan di kalangan pengurus sendiri. Dan kegelisahan ini "tidak mustahil terpantul dalam lapangan permainan" - seperti kata seorang ofisial PSSI ke Turnamen PPD itu. Bertolak dari penilaian di atas, persoalan yang dihadapi PSSI kini dan waktu mendatang tidak mudah, memang. Peremajaan pemain harus segera dilakukan. Tantangan itu harus dijawab dari pusat pendidikan dan latihan sepakbola di Salatiga - tempat yang melahirkan pemain muda Suhatman, Burhanuddin, Hadi Ismanto, dan lain-lain. Jika tidak, nasib buruk dalam turnamen Pre Olimpik President's Cup, Merdeka Games akan selalu terulang. Kita sudah kalah melulu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus