PSSI, regu favorit dalam turnamen Pra-Piala Dunia, di Singapura,
gagal. Dan pekan lalu, Hongkong-lah yang dulu disepelekan yang
jadi juara Group Asia I. Indonesia dipukul Hongkong keok. Kata
salah satu teori: ada "klenik" sebagai penyebabnya. Bardosono
Ketua PSSI itu menemukan sebuah patung Budha tergeletak di dekat
tiang gawang PSSI selepas pertandingan Indonesla-Hongkong.
Patung tersebut segera dikirim ke Jakarta untuk dihancurkan
'kekuatan magisnya', begitu cerita Bardosono.
Tapi segalanya kelihatan tidak berakhir semudah yang diduga.
PSSI hanya mampu main seri melawan kesebelasan Malaysia dalam
pertandingan selanjutnya. Kali ini tak seorang ofisial maupun
pemain Indonesia yang menemukan patung atau barang sejenis yang
ditempatkan lawan di daerah permainan PSSI. Lantas, apakah
penyebab ketidak-berhasilan pemain Indonesia? "Dukun kita kurang
hebat, barangkali", komentar Ali Sadikin bergurau.
Persoalan patung atau dukun segera hilang dalam gunjingan.
Tiba-tiba muncul berita baru yang membuat orang makin terkesima:
Iswadi dikabarkan menerima suap dari Hongkong. Desas-desus itu
sudah barang tentu dengan cepat tersebar. Apalagi mereka melihat
permainan Iswadi di layar tv dalam bentuk yang tak wajar
dibandingkan dengan penampilannya di Senayan.
Desas-desus mengenai suap itu sayangnya dibikin jadi ramai.
Ketika itu menyusul berita baru dari Singapura bahwa Iswadi akan
pulang ke Jakarta menjenguk ibunya nyonya Hawari Idris, 54
tahun, yang tengah dirawat di zal ICCU (bagian Penyakit Dalam)
Rumah Sakit Ciptomangunkusumo. Dengan begitu Iswadi tidak akan
turun dalam pertandingan lawan kesebelasan Muangthai. Di
kalangan keluarga Iswadi, desas-desus suap itu tampak merupakan
pukulan batin yang hebat. Ibunya langsung terjatuh di kamar
mandi sewaktu seorang anggota keluarga kecoplosan membuka mulut
mengenai soal tersebut. Isterinya, Esly, harus meluangkan waktu
untuk melayani para tetangga yang datang menanyakan heboh
perkara suap itu.
Betulkah tuduhan yang dialamatkan ke diri Iswadi itu? Tampaknya
tak seorang pun yang percaya. "Saya tidak yakin Iswadi melakukan
itu", kata Ali Sadikin kepada TEMPO. Pendapat itu ditopang pula
oleh Ketua KONI, Soeprajogi. Iswadi sendiri mengatakan: "Kalau
saya mau duit, mengapa tidak dari dulu saja saya lakukan ketika
saya masih jaya". Ia menambahkan bahwa kehidupannya masih tetap
seperti dulu - tidak kaya. Memang kini ia menempati rumah
bertingkat di kompleks perumahan Bangun Cipta Sarana di Cipinang
Kebembem, dan mengendarai Honda Life. Tapi menurut pengakuannya,
rumah dan kendaraan itu dibelinya dari hasil kontraknya dengan
klab Western Suburb, Australia, 1974 dulu.
Pendapat lain mengenai kegagalan team Indonesia keluar dari
mulut Maulwi Saelan. bekas kapten kesebelasan PSSI. "Penampilan
puncak dari pemain PSSI telah dicapai dalam pertandingan
percobaan di Jakarta" katanya kepada Eddy Herwanto dari TEMPO.
"Bukan aneh jika kondisi mereka jadi menurun ketika melawan
Hongkong".
Ia kemudian menambahkan, penyebab semua itu adalah akibat
perhitungan pelatih terhadap penampilan puncak yang tidak tepat,
dan melesetnya rencana yang disusun pengurus. Faktor lain yang
juga dipersoalkannya adalah gontaganti pelatih (dari Coerver ke
tangan Tony Pogacnik) dalam tempo yang pendek. Pendapat Saelan
itu sebagian dibantah oleh Tony Pogacnik. Menurut
perhitungannya, penampilan puncak itu akan dicapai pemain tepat
dalam masa turnamen.
Tony Pogacnik boleh berhitung. Cuma kenyataan di lapangan tidak
selamanya sesuai dengan perhitungan. Ia lupa pada kondisi Iswadi
yang kurang baik lantaran tidak tidur semalaman - mungkin karena
beban mental turnamen, atau boleh jadi akibat memikir ibunya
yang sedang sakit ketika ditinggalkannya. "Kalau saya jadi
pelatih, Iswadi tidak akan saya pasang waktu itu", ujar Saelan.
Iswadi kemudian memang diistirahatkan Tony Pogacnik ketika
menghadapi Muangthai. Tapi kondisi team ketika itu sudah lain.
Heboh soal suap telah merusak keutuhan team. Oyong Lisa yang
bertindak sebagal kapten pengganti ternyata pun tidak mampu
memperbaiki keadaan.
Lantas apakah sebetulnya yang terjadi dengan PSSI? "Cara
pengurus sekarang tidak edukatif", lanjut Saelan. Ia membeberkan
pemanjaan pemain yang terlalu berlebihan. "Uang bukannya tak
perlu. Tapi, jangan lupa menanam soal dedikasi pada mereka".
Berbicara mengenai soal dedikasi pemain, orang lalu teringat
pada Coerver lagi. Bekas pelatih ini dinilai cukup berhasil
memadu unsur uang dan kepribadian pemain dengan baik. Kenyataan
itu diakui dengan jujur oleh Risdianto maupun yang lainnya.
Bagaimana dengan Tony Pogacnik? "Ia tidak seperti Coerver", kata
salah seorang pemain.
Kelebihan lain dari Coerver: ia lebih memperhatikan kondisi
mental pemain sebelum turun ke lapanan. Jika hal itu dilakukan
Tony Pogacnik terhadap pemasangan Iswadi di awal turnamen,
mungkin keadaannya akan jadi lain. Sebagaiahli sepakbola, Tony
Pogacnik pasti tahu hal itu. Tapi, bagaimana mungkin kesalahan
justru terjadi? Masyarakat berpaling pada Bardosono, pemegang
wewenang tertinggi dalam PSSI. Mungkinkah ia terlampau banyak
carnpur tan8an dalam pemasangan pemain? Tak seorang pun pengurus
PSSI yang berani buka mulut mengenai hal ini.
Mencari siapa yang salah memang merupakan reaksi yang biasa
terjadi dalam soal kegagalan. Kalangan awam pun mempunyai versi
sendiri atas ketidak berhasilan Iswadi dan kawan-kawan:
Kurang stamina dan semangat juang. Mungkin sudah tua. Rata-rata
pemain PSSI mendekati usia 30 tahun. Metode latihan fisik Tony
telah ketinggalan. Tempo permainan sekarang menuntut kesegaran
fisik yang jauh lebih besar daripada zaman Tony 20 tahun yang
silam.
Gaya permainan bola dewasa ini, dalam suatu turnamen besar
tidak lagi terpaku pada pertahanan yang kuat melulu. Permainan
terbuka selalu dikembangkan. Risiko kemasukan diimbangi dengan
membuka peluang untuk memasukkan. Itulah sebabnya pada akhirnya
selisih gol yang menentukan. Italia sendiri sedang membongkar
gaya catenaccio - itu sistim 'pertahanan beton' yang dinilai
sangat melumpuhkan kreatifitas dan kegairahan orang bermain bola
di zaman sekarang.
Dalam pertandingan persahabatan internasional di Senayan,
umumnya para pemain diberi obat perangsang (Catovit?).
Sebaliknya di Singapura pemakaiannya dilarang keras. Doping test
dilakukan oleh dokter panitia secepatnya pertandingan usai.
Pengintaian Aliandu dan Iswadi ke Hongkong kurang membuahkan
hasil ketimbang pengintaian Frans van Balkom ke Jakarta. Bahkan
menyesatkan. Sebab, oleh Sinyo-Iswadi, permainan Hongkong
dinilai sangat defensif. Ketika itu Hongkong kalah melawan
Spartak Amsterdam (0 - 2). Kesimpulan ini diambil tanpa
mempertimbangkan kemungkinan Hongkong sedang mempraktekkan
sistim pertahanannya terhadap kesebelasan yang jauh lebih
superior. Maka instruksi dan segala macam teori untuk memancing
Hongkong keluar dari sarang pun dikhotbahkan. Tahu-tahu tanpa
dipancing, anak-anak van Balkom menyerang menggebu-gebu.
Membingungkan bukan?
Organisasi PSSI tidak bisa dibiarkan begini terus. Ketua Umum
Bardosono yang masih hijau dalam sepakbola sering menggali
nasehat dari mereka di luar kepengurusan. Sehingga menimbulkan
kegelisahan di kalangan pengurus sendiri. Dan kegelisahan ini
"tidak mustahil terpantul dalam lapangan permainan" - seperti
kata seorang ofisial PSSI ke Turnamen PPD itu.
Bertolak dari penilaian di atas, persoalan yang dihadapi PSSI
kini dan waktu mendatang tidak mudah, memang. Peremajaan pemain
harus segera dilakukan. Tantangan itu harus dijawab dari pusat
pendidikan dan latihan sepakbola di Salatiga - tempat yang
melahirkan pemain muda Suhatman, Burhanuddin, Hadi Ismanto, dan
lain-lain. Jika tidak, nasib buruk dalam turnamen Pre Olimpik
President's Cup, Merdeka Games akan selalu terulang. Kita sudah
kalah melulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini