TAK terasa kesibukan yang luar biasa di kantor pusat PT Caltex
Pacific Indonesia (CPI) di Jl. Kebon Sirih 52, Jakarta.
Sekalipun ada peristiwa penting yang beberapa hari lagi akan
terjadi di sana. Yakni, "para dewa akan datang ke mari", seperti
kata seorang Caltex pekan lalu.
Yang dimaksud para "dewa" itu tak lain adalah para "boss"
maskapai minyak Texaco dan Socal, pusat Caltex di AS. Mereka
adalah Maurice J. Granville, Presiden dan Ketua Dewan Direksi
Texaco di New York dan H.J. Haynes, Presiden dan Ketua Dewan
Direksi Socal di San Francisco. Kedua pembesar minyak itu akan
disertai dengan beberapa pembantu dekatnya, antara lain Fredrick
Boucke wakil presiden Socal. Boucke, Pebruari tahun lalu,
bersama wakil presiden Texaco Robert McCall, merupakan perunding
utama ketika pemerintah Indonesia-meminta potongan satu dollar
lagi dari keuntungan Caltex yang waktu itu masih AS $ 2,30 untuk
setiap barrel minyak yang mereka hasilkan.
Kedatangan para dewa Caltex kali ini bukan untuk berunding
tentang minyak. Namun lebih penting dari itu. Julius Tahija,
orang No. 1 Caltex, sebentar lagi akan pensiun. Tanpa
ribut-ribut acara pun sudah ditentukan. Tanggal 21 Maret ini,
pesta perpisahan akan berlangsung di Hotel Jakarta Hilton.
Undangan kabarnya terbatas sekali, sesuai dengan sikap Caltex
yang tak begitu suka publisitas. Tapi dalam pesta perpisahan
yang dihadiri oleh para tokoh minyak Texaco dan Socal itu,
mereka konon mengharapkan Presiden Soeharto bakal hadir.
Mengapa Julius Tahija meninggalkan Caltex? Dan siapa yang lalu
akan mampu menggantikannya? Rabu pagi pekan lalu, di ruang
kerjanya yang kelihatan apik - tanpa perabot ukir - Ketua Dewan
Direksi PT CPI itu bicara panjang lebar dengan wartawan TEMPO
Fikri Jufri.
Tanya: Apa sekarang tepat waktunya bagi pak Tahija untuk
berhenti dari Caltex?
Jawab: Perusahaan ini sudah jadi demikian besar. Barangkali
model dari manajemennya perlu dirubah. Dan ini bisa terjadi
setelah saya pergi. Tapi yang penting adalah: jangan sampai
timbul kesan saya ini mau terus dan tak memberi kesempatan pada
yang lain.
T: Jadi untuk merubah model manajemen itu hanya bisa terjadi
kalau pak Tahija pergi.
J: Sampai sekarang manajemen dalam Caltex ini banyak terletak
di tangan satu orang saja. Kebetulan saya bisa, karena saya
mulai dari bawah. Jadi nanti saya kira perlu dirubah.
T: Apa setelah pensiun masih akan punya hubungan dengan Caltex?
J: Masih. Yaitu sebagai ketua dewan komisaris. Kedudukan ini
bisa kuat, bisa juga lemah. Itu tergantung. Saya menerima
kedudukan sebagai ketua DK, karena saya tahu tingkat perusahaan
yang saya tinggalkan ini masih membutuhkan pengalaman bagi orang
yang akan menggantikan saya.
T: Siapa yang bakal jadi putera mahkota?
J: Saya belum tahu. Belum diambil keputusannya (dan ia tertawa -
Red).
"Si Babe"
Ia kelihatan berhati-hati dalam menjawab setiap pertanyaan.
Apalagi menyangkut suatu keputusan penting yang kabarnya masih
dirundingkan itu. Beberapa 'orang dalam' pun sampai akhir pekan
lalu belum berani menduga siapa yang kira-kira bakal tampil
sebagai penggantinya. Tapi yang pasti, kepergian Tahija
merupakan kehilangan besar hagi Caltex. Ia memulai karir dari
bawah sebagai pembantu CM 25 tahun lalu. Ia berhasil mencapai
kedudukan paling tinggi sejak 1967.
Tahija, yang 13 Juli nanti akan berusia 61 tahun, memang tak
dikenal sebagai "dewa". Oleh anak buahnya, ia biasa disebut
sebagai "Si Babe" atau "JT". Dia kabarnya amat ditakuti para
karyawan karena ketegasannya. Termasuk oleh para karyawan asing
(expatriate). "Orang Amerika, kalau sampai dia berbuat salah,
out", ucapnya seraya menggerakkan ibu jari. Ia mengaku sebagai
bukan penyabar. "Saya ini suka berontak kalau melihat sesuatu
yang tak adil dan tak efisien di kantor", katanya.
Kehidupannya tak terdenar mentereng. Suka bekerja sampai larut
malam dan bangun pagi, tokoh minyak itu masin memakai sedan
Holden Statesman warna hitam. "Kalau datang ke rumah saya, tak
ada itu wall to wall carpet", katanya. "Yah, kita ini harus
menjaga jangan sampai orang iri hati, atau orang lantas takut
sama kita".
Tinggal di Jl. Imam Bonjol 32, keluarga Tahija sering
menghabiskan liburan akhir pekan dengan berburu. Atau di villa
mereka di Tugu Puncak. Tak jarang ia mengemudikan mobil sendiri.
Isterinya, Ny. Jean Tahija, dokter gigi asal Australia, biasa
memakai mobil perusahaan. Ia dikenal amat ramah dan selalu mau
menyesuaikan diri dengan para karyawan. Juga lebih lancar
berbahasa Indonesia, ketimbang suaminya. Dan "Si Babe", yang
biasa menggunakan bahasa Inggeris di kantor, tetap mengkuliahkan
kedua puteranya di Jakarta, sebelum mereka melanjutkan ke luar
negeri kelak. Syakon, yang kini ditingkat III FKUI, dan George,
yang masih tingkat pertama di fakultas teknik Usakti, cuma
menggunakan Fiat 125 atau jeep Land Rover.
Tapi suasana yang akrab di antara keluarga tak setiap kali
terjadi. Rata-rata menghabiskan separoh dari setahun di luar
negeri, JT tak hanya sibuk untuk Caltex. Ia punya banyak usaha
lain. Kalau kedengaran ada di Brussels, ibukota Belgia, bisa
dipastikan ia berurusan dengan bisnis tembakau. Ia adalah
pemilik dan anggota komisaris PT Faroka. Kalau mampir di London,
mudah diduga bukan soal minyak yang dibicarakan. Dia kabarnya
punya saham yang cukup besar dalam Procter & Camble: perusahaan
yang antara lain membuat sabun Camay itu. Juga dalam PT Filma
yang memprodusir sabun Palmolive dan minyak goreng. Sekembali
dari London, tak jarang JT terbang-ke Rumbai, malamnya. Lalu
lusa berangkat ke Surabaya - kota kelahirannya -- atau memimpin
rapat KADIN di Semarang, untuk kemudian pergi berburu.
Pekan lalu ia kelihatan berbincang dengan Soedarpo Sastrosatomo,
Dirut PT Samudera Indonesia. Selain memiliki saham yang cukup
besar di situ, bersama 'raja' kapal Indonesia itu, JT juga duduk
sebagai komisaris dalam Bank Niaga. Dia agaknya lebih suka
tampil sebagai komisaris: juga dalam Freeport Indonesia, itu
maskapai tembaga di Irian Jaya yang diketuai Ali Budiardjo.
Partner Dengan Ibnu
Ia termasuk figur yang tak suka menonjolkan diri, memang.
Sekalipun dialah yang pertama kali berhasil mendirikan Tugu
Insurance, perusahaan asuransi yang terkenal di Hongkong, dan
baru kemudian disertai Ibnu Sutowo, eks Dirut Pertamina. Kedua
tokoh itupun merupakan "partner" dalam maskapai Far East Oil di
Tokyo.
"Dia memang orang yang unik", puji seorang anak buahnya. Yang
dimaksud mungkin bukan saja karena JT mempunyai banyak tangan di
berbagai bisnis. Tapi sebagai bekas militer yang terjun ke dunia
minyak dua tahun setelah pengakuan kedaulatan RI, Tahija juga
banyak menyumbangkan waktunya dalam urusan yang tak punya
hubungan dengan fulus. Ia aktif dalam Mitra Budaya. Juga Tahija
dikenal besar jasanya dalam mengumpulkan benda-benda bersejarah
untuk keraton Surakarta. Dia juga duduk sebagai anggota dewan
penyantun ITB dan gubernur dari Asian Institute of Management di
Manila.
T: Tapi mengapa selama ini Julius Tahia dan Caltex bersikap low
profile tak suka publisitas? A pakah sikap demikian disebabkan
policy dari Texaco dan Socal yang dikenal sebagai maskapai
minyak yang amat konservatif dan tertutup itu?
J: Sebabnya memang itu. Tapi kalau Caltex di Indonesia low
proJile, salahkan saya, deh. Selamanya ini saya tekankan. Saya
memang tak suka banyak omong. Di PIBA saudara lihat sendiri kita
tak pernah banyak omong. Tapi kalau perlu kita tekan satu knop
saja, sudah jalan. Soalnya yang pegang pimpinan itu harus
terdiri dari orang-orang yang sudah menunjukkan bahwa dia
berhasil. Kalau seorang sudah berhasil, orang lain akan turut
dan mau mendengar.
T: Texaco kabarnya terkenal pelit.
Apakah Caltex di sini sering mendapat kesulitan dari mereka?
J: Memang yang penting bagi saya adalah sikap mereka di
Indonesia. Sampai sekarang, boleh dibilang saya tak punya
keluhan. Meskipun saya sering bentrok, kalau perlu. Berbeda
dengan di tempat lain, Caltex di sini tak tergabung dalam Caltex
Corporation -- yang menggabungkan semua perusahaan Caltex di
dunia. Kita lapor langsung. Dan kalau perlu wakil dari mereka
datang ke mari. Tak ada hubungan dengan wakil dari Caltex
Corporation. Ini memang permintaan saya. Karena saya merasa
perlu untuk hanya berbicara dengan para pembuat keputusan, dan
tidak melalui lain orang.
T: Apa perlu minta izin untuk melakukan kegiatan seperti dalam
PIBA ?
J: Mereka malah mendukung saya. Sepuluh tahun lalu, saya membawa
keliling para anggota PIBA (Tahija adalah pendiri dan Ketua
Pacific Indonesia Business Association -- Red.) ke dalam dan
luar negeri. Saya menggunakan segala fasilitas Caltex, termasuk
pesawat terbang. Sebabnya? Karena saya beranggapan dapat
mempertanggungjawabkan terhadap hati nurani saya. Perusahaan
sebesar ini harus menyumbng pada negara di mana dia bekerja.
Kalau tidak lebih baik pulang saja.
T: Bagaimana pak Tahija menjelaskan suasana penanaman yang
terasa menurun sekarang?
J: Memang mengurang. Ini bukan karena disengaja. Tapi karena
keadaan yang terjadi akhir-akhir ini, hingga pemerintah hams
mengambil beberapa tindakan yang mereka tahu konsekwensinya.
Sekarang terserah kepada dunia usaha, dalam memberikan, yah,
advis kepada pemerintah, agar keadaan tak menjadi lebih sulit.
Satu hal yang jelas: pembangunan di Indonesia sekarang dengan
pemerintah dan rakyat yang properusahaan swasta -- tak bisa lagi
distop.
T: Jenis industri yang non ekstraktif mana saja yang kiranya
masih cocok untuk masuk ke mari?
J: Yang sesuai dengan maksud pemerintah untuk melakukan
pemerataan. Peranan dari modal asing perlu dijaga jangan sampai
mendominir kapital di Indonesia. Tapi di lain fihak, kita juga
tak mau didominir oleh sekelompok kecil saja orang di Indonesia,
yang memakai paspor Indonesia. Baik itu asli maupun tidak asli.
Menjadi pertanyaan, adakah Tahija akan tetap bergumul dengan
minyak, setelah dia berhenti sebagai orang pertama Caltex?
Sebab, seperti dikatakan seorang pengusaha, 'stempel' minyaknya
lebih menonjol kemana pun dia pergi. Apakah JT akan membuka
lembaran dunia minyak sendiri? Ia tak segera menjawabnya. Ia
sendiri tak suka bicara soal minyak, selama masih berlangsungnya
negosiasi sekarang.
T: Berapa lama lagi produksi Caltex yang 830 ribu barrel sehari
akan bisa bertahan?
J: Itu tergantung dari cara produksi. Setiap tahun, baik dari
Minas maupun lapangan Caltex yang lain, produksi rata-rata
berkurang dengan 15%. Tapi kami melakukan program secondary
recovery. Hasilnya memang tak sebanyak dulu. Juga biaya untuk
memprodusir setiap tambahan barrel dari sumur yang sama menjadi
lebih mahal.
T: Apakah suasana pencarian minyak yang umumnya berkurang
sekarang akan mempengaruhi produksi keseluruhan?
J: Saya tidak tahu itu. Dari Caltex, yang masih terus melakukan
seismic (pencarian minyak -- Red), produksi sehari adalah
sekitar 830 ribu barrel. Jadi tentang yang lain, yang sekarang
tak lagi melakukan seismic, setiap tahun produksinya mesti
merosot.
T: Mungkinkah produksi Caltex suatu waktu kembali pada rekor
sejuta barrel sehari?
J: Itu semua tergantung pada insentif yang diberikan.
T: Apakah insenfif yang akan diberikan pemerintah itu memadai?
J: Saya tak mau bicara soal ini, karena selama perundingan
sekarang, faktor suasana itulah yang paling penting.
T: Bagaimana dengan insentif yang telah diberikan kepada
kelompok bagihasd ?
J: Inipun tak bisa saya katakan.
T: Baiklah. Tapi mengapa Caltex dari sejak dulu tak terdengar
tertarik pada pencarian minyak di lepas pantai?
J: Sebenarnya pernah ada, oleh perusahaan Amoseas, punya Texaco
dan Socal juga, dan saya sendiri menjabat sebagai wakil
presidennya. Tapi kegiatan di Selat Lombok itu tak berhasil
menemukan minyak.
T: Apakah pak Tahija akan membuka perusahaan minyak sendiri,
setelah keluar nanti?
J: Itu semua tergantung dari keadaan di dalam negeri. Tapi yang
terpenting adalah: saya ingin membantu mengembangkan usaha
minyak di Indonesia, kalau diminta. Agar pengalaman saya ini
bisa dipakai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini