Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Tyson versus Dirinya Sendiri

Petinju Mike Tyson diharapkan masih terbaik di kelas berat. Lawan terberatnya, dirinya sendiri.

14 Oktober 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertandingan di kelas berat antara petinju Amerika Serikat Mike Tyson dan Brian Nielsen, asal Denmark, akhir pekan lalu, seolah jadi penawar dahaga penggemar Si Leher Beton. Pertarungan terakhirnya adalah melawan Andrew Golota pada Oktober tahun lalu. Memang, sejak kemunculan Mike Tyson sebagai juara dunia versi WBC pada 1986, penampilannya selalu ditunggu orang. Dengan usianya yang masih muda kala itu—20 tahun—dan gaya bertinjunya yang tidak lazim, dengan merobohkan lawan dalam waktu singkat, publik tinju dunia serentak mengarahkan pandangan padanya. Tyson seolah menawarkan jawaban bagi kelahiran legenda besar dunia tinju setelah Muhammad Ali. Harapan itu tak percuma. Mike Tyson berhasil menjadi juara dunia tinju kelas berat sejati. Tiga sabuk juara versi tiga badan tinju dunia, WBC, WBA, dan IBF, dapat ia gabungkan pada 1987. Setelah itu, dunia tinju kelas berat seakan tak memiliki lawan sepadan bagi Tyson. Tapi perjalanan sang juara sejati tidak selalu mulus. Tyson harus menghadapi berbagai persoalan serius dalam karirnya. Penjara harus dijalaninya selama tiga tahun karena dakwaan pemerkosaan Desiree Washington, peserta kontes ratu kecantikan. Tyson pun harus merelakan sabuk juaranya dengan memalukan setelah terhuyung-huyung oleh James ”Buster” Douglas di Jepang pada 1990. Dengan terseok-seok karir juaranya naik-turun tidak menentu. Kejadian terakhir yang mencoreng dunia tinju—dan dunia olah raga—adalah saat Mike Tyson menggigit kuping Evander Holyfield hingga sempal pada 1997. Tyson pun didiskualifikasi sehingga harus mengaku kalah dari Holyfield. Tyson untuk sementara dilupakan orang saat Hashim Rahman secara tidak diduga merebut gelar juara dunia kelas berat versi WBC dan IBF dari tangan Lennox Lewis pada April 2001 di Afrika Selatan. Juga John Ruiz jadi juara dunia kelas berat versi WBA pada Maret 2001 tanpa gegap-gempita. Tapi tinju kelas berat dunia seakan sepi di tengah para juara. Di mana Tyson? Sebagai bekas anak jalanan, keahlian Mike Tyson setidak-tidaknya—kalau tidak mau dikatakan satu-satunya—adalah bertinju. Tyson tidak bisa meninggalkan dunianya yang pernah mendudukkan dia sebagai olahragawan ter-kaya di planet bumi, dengan kekayaan sekitar US$ 200 juta. Jadi, mau tidak mau, Tyson tetap bertinju. Pertarungan terakhirnya adalah melawan Andrew Golota pada Oktober 2000, yang dihentikannya di ronde kedua. Peringkat Tyson pun terdongkrak ke posisi penantang satu versi WBA. Tyson kini juga bercokol di peringkat keenam versi WBA dan IBF. Pertandingan Mike Tyson dengan pahlawan Denmark, Brian Nielsen, dimasudkan sebagai pemanasan bagi Tyson. Nielsen bukan petinju peringkat 10 besar dunia. Karir tinjunya pun biasa saja, meski petinju berusia 36 tahun ini pernah mengalahkan juara masa lalu seperti Tim Whiterspoon, Tony Tubbs, dan Larry Holmes. Peraih perunggu di Olimpiade 1992 Barcelona ini belum pernah mencatatkan prestasi yang membanggakan. Postur tubuhnya tambun dan gerakannya lamban. ”Lawan Tyson terberat adalah dirinya sendiri,” kata Syamsul Anwar Harahap, pengamat tinju. Menurut Syamsul, jika Tyson bisa lebih mengontrol emosinya, semua keahlian yang tidak dimiliki petinju lain itu akan keluar dengan mulus. Mike Tyson punya kelebihan pada kecepatan dan kekuatan dalam bertinju. Potensi itu masih tersimpan hingga kini. Tapi, sekali lagi, menjelang pertarungannya melawan Brian Nielsen, Si Leher Beton ini dirundung isu pemerkosaan lagi. Seorang wanita berusia 50 tahun melaporkan diri diperkosa oleh Tyson. Walaupun akhirnya jaksa tidak meneruskan tuduhan itu—karena dianggap tidak kuat—badai yang menerpa Tyson tidak surut-surut. Emosi Mike Tyson selama ini memang dikenal mudah bergolak. Ia pernah memukul dua mitra kerjanya, John Horne dan Rory Holloway, pada 1998. Pernah pula ia mendekam lagi di penjara selama empat bulan karena insiden lalu lintas pada 1998 di Maryland. Sepeninggal pelatih yang membentuk karakter Mike Tyson, Cus d’Amato, ia tampak kehilangan pegangan. Memang d’Amato inilah yang menemukan dan mengarahkan Tyson hingga tak terombang-ambing dalam meniti karirinya di jalan tinju. D’Amato bagaikan orang tuanya sendiri bagi Tyson. Ia pula yang membawa Tyson meraih gelar juara dunia. Langkahnya kembali ke singgasana juara tinju kelas berat sebenarnya tidak terlalu lama lagi. Mike Tyson tinggal menunggu pemenang pertandingan antara Hasim Rahman dan Lennox Lewis pada pertengahan November nanti. Pemenang itulah yang diharapkan berhadapan dengan Si Leher Beton. Ardi Bramantyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus