Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Serangan AS dan Dampak Ekonomi yang Mesti Diwaspadai

Dikhawatirkan perekonomian semakin terpuruk, dunia usaha merugi, dan pengangguran bertambah. Tapi jangan salahkan Usamah ataupun Amerika.

14 Oktober 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBULAN lalu mungkin tak ada yang menduga bahwa aksi teror yang meluluhlantakkan menara kembar World Trade Center di New York dan satu sayap gedung Pentagon di Washington akan berujung pada sejumlah unjuk rasa yang militan di Jakarta. Serangan itu memang terlalu dahsyat, akibatnya terlalu mengerikan, peristiwanya sendiri terlalu tiba-tiba. Sekitar tiga minggu kemudian, ketika Amerika Serikat menyerang Afganistan dan menghukum rezim Taliban yang menolak menyerahkan Usamah bin Ladin, saat itu dunia pun melihat bahwa perang telah meletus, perang antara sebuah negara adidaya dan sebuah negara yang pernah mengalahkan negara adidaya yang lain (Uni Soviet). Secara tak langsung, perang itu telah menyudutkan Indonesia ke dalam posisi serba salah, posisi simalakama. Reaksi keras di Jakarta terhadap serangan militer AS tersebut secara politis telah menohok keseimbangan Indonesia dan secara ekonomis diperkirakan akan membuat bangsa ini semakin terpuruk. Pemerintah tampaknya tidak mampu bersikap tegas dan berwibawa, baik dalam menanggapi serangan militer Amerika maupun ketika menyikapi aksi unjuk rasa yang cenderung destruktif. Nilai rupiah langsung menukik ke kisaran Rp 10 ribu per dolar AS, sementara indeks harga saham juga melorot tajam. Selain itu, beberapa investor asing di Bursa Efek Jakarta dikabarkan bersiap-siap angkat kaki dari sini. Kedatangan turis dari mancanegara mendadak dibatalkan dan para pemilik hotel berbintang terpaksa menghitung-hitung berapa lagi kerugian yang harus mereka derita. Sejumlah order pembelian mebel dari AS juga dibatalkan, begitu pula order tekstil, pakaian jadi, dan sepatu. Tahun lalu, nilai ekspor mebel Indonesia ke AS mencapai sekitar US$ 250 juta, tapi tahun ini nilai itu diduga turun 30 persen. Penurunan yang sama bisa terjadi pada ekspor barang elektronik, rupa-rupa makanan kemasan, dan aksesori. Tren ini juga terlihat pada penurunan volume kiriman kargo udara ke AS dan Eropa. Sejak Desember 2000, volume kargo udara turun sekitar 40 persen—dari 700-900 ton per bulan menjadi 400 ton per bulan. Memang terlalu dini untuk menduga-duga berbagai dampak buruk lainnya, tapi sejak kini harus diyakini bahwa prospek ekonomi benar-benar suram. Indonesia harus secepatnya mengantisipasi kesulitan-kesulitan baru yang akan timbul, seperti berkurangnya penerimaan devisa dan menyusutnya lapangan kerja yang berakibat pada bertambahnya jumlah penganggur. Dan pengangguran itu memicu efek domino dengan mata rantai: kemiskinan, kriminalitas, kebodohan, kebencian, eksploitasi, kekerasan. Untuk menangkal itu semua, pemerintah harus mempersiapkan contingency plan yang direncanakan dengan benar dan direalisasi secara baik. Pola Jaring Pengaman Sosial (JPS) hendaknya jangan diulangi lagi. Bagi dunia usaha, diperlukan dukungan investasi, baik dari luar maupun dari dalam negeri. Untuk itu, country risk negeri ini yang begitu tinggi hanya bisa ditekan dengan penegakan hukum yang serius, regulasi yang benar, kebijakan yang tidak berubah-ubah, dan aparat bersih yang anti-KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Dengan menjebloskan seorang kroni ke penjara—setelah diadili—misalnya, country risk itu berpeluang untuk membaik. Khusus untuk investor dalam negeri, satu-satunya solusi adalah sektor perbankan yang diharapkan segera menjalankan fungsi intermediasinya. Kesimpulannya, Indonesia harus mandiri secara ekonomi. Untuk itu, ketergantungan pada utang luar negeri perlu dikurangi. Memang berat sekali, tapi harus dilaksanakan dengan konsekuen agar ketergantungan itu tidak membuat kita terlihat seperti kerbau dicocok hidung. Setelah itu, barulah Indonesia bisa menyikapi kisruh AS versus Afganistan dengan tegas, berani, dan berwibawa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus