ADA saatnya, raja membopong permaisuri atau selirnya menuju peraduan lalu membelai-belai rambutnya. Itulah salah satu petunjuk dalam buku Nitimani, karya Kanjeng Raden Riyo Adipati Hariyo Sugondo, putra Kanjeng Gusti Mangkunagoro IV. Sebuah buku sejenis Kamasutra, berisi sopan santun mengadakan hubungan seks. Buku yang ditulis pada abad ke-19 itu, menurut Gusti Pangeran Haryo Jiwokusumo, calon Mangkunagoro IX, "dipelajari oleh leluhur saya dan kalangan keraton." Menurut Jiwo, yang 13 tahun lalu cerai dengan Sukmawati Sukarno, Nitimani tak cuma berisi petunjuk teknis, tapi juga memberikan semacam bimbingan spiritual. "Misalnya, dalam buku itu ditulis suatu hal, yang maksudnya jangan menganggap olah seks sebagai permainan yang menyenangkan," kata Jiwo. "Itu bisa menyesatkan. Tapi jangan pula diabaikan, karena bisa membawa kegawatan." Olah seks, "itu indah bila dilaksanakan dengan lemah lembut." Nitimani menganjurkan agar kewajiban suami-istri ini dilakukan dengan "hati bersih dan bening, agar memperoleh putra atau putri yang utama." Buku yang lebih tua bila dibandingkan dengan kitab sejenis, yakni Candraning Wanita, yang ditulis oleh seorang pujangga Keraton Yogyakarta semasa pemerintahan Hamengku Buwono VIII (1921-1940), juga menganjurkan olah semadi, konsentrasi, dan mengatur pernapasan. "Itu bukan hanya untuk kesegaran jasmani, tapi lebih-lebih guna memperoleh kematangan jiwa," tutur Jiwo pula. Maka, sesungguhnya Nitimani agak berbeda dengan Kamasutra dari India maupun Candraning Wanita dari Yogyakarta. Menurut kata pengantar dari pengarangnya, Raden Riyo itu, buku ini lebih memberikan bimbingan jiwa. Misalnya, sangat dianjurkan agar melakukan mandi dengan air yang disebari bunga-bunga, agar tak cuma jasmani yang bersih tapi juga rohani. Lalu, bila melakukan olah seks janganlah berwajah muram, kata buku ini. Ada pula tercantum sejumlah nasihat bagi wanita yang hamil. Misalnya, seorang istri yang lagi hamil tabu melakukan hal-hal yang sadistis, seumpama membunuh hewan. Sementara itu, si suami dianjurkan agar lebih rajin berdoa dan bersemadi daripada biasanya. Isi doa, tentu saja, memohon kepada Yang Mahakuasa agar jabang bayi yang akan lahir kelak jadi manusia utama. Hendaklah olah seks tak dilakukan secara main-main dan sembarangan. Risikonya berat, yakni anak yang lahir akan memiliki cacat jiwa, sulit untuk menjadi satria utama, tulis Nitimani. Melihat isi buku, tampaknya Nitimani lebih khusus ditujukan kepada raja daripada orang biasa, meski hal-hal yang baik memang berguna disebarluaskan. Seorang sarjana wanita dari Amerika Serikat yang mempelajari kebudayaan Jawa di Solo, Nancy K. Florida, mengagumi buah karya Raden Riyo tersebut. "Buku itu sangat halus dan indah isinya," katanya. Ia mengaku berulang kali membacanya, dan bukan dorongan berahi yang diperolehnya, tetapi dia memperoleh kesadaran lebih tinggi terhadap terciptanya manusia di dunia. Mungkin, Nancy, sebagai orang asing, agak berlebihan menanggapi salah satu karya Keraton Mangkunegaran itu. Tapi Sinuhun Paku Buwono XII, yang sekarang bertakhta, pun mengakui pentingnya Nitimani. "Lho, jelas penting," kata Raja yang pada usia 64 tahun kini masih tampak segar bugar. Lalu, Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Hangabehi, putra makota Keraton Kasunanan Hadiningrat, pun mengakui keindahan karya keraton tetangganya itu. "Buku itu jelas tak mengutamakan kepuasan berahi," tuturnya. K.G.P.H. Hangabehi masih ingat, ibunya almarhumah, Raden Ayu Pradapaningrum, begitu memperhatikan petunjuk Nitimani. Misalnya, bila hendak bercengkerama dengan Sunan Paku Buwono XII, suaminya, menurut Hangabehi, ibunya akan melakukan semadi dulu di ruang khusus. "Kata Bunda, ia mempersiapkan diri agar hatinya jadi bersih dan tubuhnya segar ketika bertemu Raja." Seorang putri bangsawan yang lain, dari Mangkunegaran, rupanya juga sempat mempelajari Nitimani. Ia, Gusti Raden Ayu Retno Satuti, anak kedua Mangkunagoro VIII. Menurut janda dari Rahadiyan Yamin itu, Nitimani juga membicarakan kriteria istri yang baik. Lebih dari itu, ia sependapat dengan Nancy, wanita Amerika yang mempelajari kebudayaan Jawa di Solo. Yakni, buku ini bila dibaca berulang-ulang memberikan hakikat kelahiran manusia di dunia. Gusti Tuti, demikian panggilan ibu dua anak ini dalam Keraton, bahkan masih hafal beberapa bagian dari buku tersebut. "Ingkang rumiyin pun tindakaken duk wiwit kagungan kerso badhe karso apulang asmoro lan wanito, sakaliyan sami sesucio, inggih puniko siram utawi jamas, lajeng angasto siwur, anyidhuko toya kaangkat celak ing wedono, lajeng dipun dongani," Gusti Tuti mencoba mengulang bagian yang masih diingatnya. Terjemahan Indonesianya, "Yang terlebih dahulu dilakukan bila punya kehendak dengan istri, suami-istri perlu menyucikan diri dahulu, yakni mandi keramas. Lalu ambilah air dengan gayung dari tempurung kelapa, dekatkanlah ke mulut dan ucapkanlah doa." Dua pekan lalu, sebelum Sri Mangkunagoro VIII jatuh sakit, beliau sempat membicarakan isi Nitimani. "Jangan salah tafsir. Buku itu berbeda dengan Kamasutra. Nitimani tidak porno, merupakan karya tulis berupa wejangan yang baik," tutur Kanjeng Gusti, kini 67 tahun. "Jangan menjadikan olah asmara untuk kesenangan nafsu. Itu untuk melestarikan keturunan." Tampaknya, di kalangan keraton, Kasunanan maupun Mangkunegaran, Nitimani (niti artinya siasat atau peraturan, mani itu sperma) dibaca dengan asyik. Yang tak diperoleh jawaban yakni mengapa sampai ditulis buku semacam ini, waktu itu. Padahal, siapa tahu, meriset latar belakang penulisan Nitimani tak kalah mengasyikkan dibandingkan dengan membaca isinya. Kastoyo Ramelan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini