Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hermensen Balo (Tinju) Tubuhnya tak besar. Maklum, atlet kelahiran Kupang ini bertanding di kelas terbang (52 kilogram). Namun, jangan pandang remeh Her, panggilan akrab untuk Hermensen Balo. Kepalan tangannya telah mengantarkannya berprestasi gemilang. Dalam usia 28 kini, dia punya prestasi bagus: juara SEA Games XIX di Jakarta, finalis Asian Games di Bangkok tahun lalu, dan masuk peringkat delapan besar Olimpiade 1996 di Atlanta, Amerika Serikat. Tinju bagi Her bukanlah dunia yang asing. Anak ketujuh dari sembilan bersaudara ini mempunyai lima saudara laki-laki yang aktif di tinju. Salah satunya, Victor Balo, pelatihnya di pelatnas. Sejak duduk di bangku sekolah dasar, Her dikenal bandel dan tukang berantem. Bekas-bekas lukanya pun sampai sekarang masih tampak. "Sehari tidak berantem, saya pusing," ujar Her mengenang. Akibat kebandelannya ini, orang tuanya sampai enam kali memindahkannya ke SD yang berbeda. Karena itulah, kakak-kakaknya mengusulkan agar ia berlatih tinju, supaya jadi jagoan sejati, bukan jagoan jalanan. Sekalipun tetap bandel, Her kecil sudah berani berjanji kepada teman-temannya: suatu saat nanti ia akan menjadi orang terkenal dan berbuat sesuatu untuk bangsa ini. Terbukti sesumbarnya bukan kata-kata kosong. Dari beberapa prestasinya, Her menilai kejuaraan Kings Cup di Bangkok pada 1995 sebagai tonggak penting. Waktu itu ia datang sebagai "pelengkap penderita". Ia muka baru. Sudah begitu, diare menyerangnya. Nyatanya, keajaiban terjadi. Ia meraih medali emas sehingga ia pun menjadi orang Indonesia pertama yang meraih prestasi puncak di kejuaraan internasional tinju paling keras di Asia. Pengagum Evander Holyfield ini mengaku tak tertarik terjun ke dunia tinju profesional. Alasannya, di profesional orang hanya mengejar keuntungan materi. Barangkali, Her yang hobi main musik ini telah merasa cukup dengan dua sepeda motor, dua rumah, tanah, dan tabungan yang jumlahnya lumayan, yang diperolehnya dari tinju amatir. Sesudah di SEA Games, Her punya target yang lebih besar. Apa itu? Menikah di Kupang tahun depan.
Hatimin dan Anisi (Dayung) Air dan dayung adalah dua hal yang tak mungkin terpisahkan bagi Hatimin, pedayung putri nasional. Sebagai anak nelayan, gadis kelahiran Desa Lakonea, Kecamatan Kulisusu, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, 10 November 1976 ini memang terbiasa menghabiskan harinya di laut. Tugas utama Hatimin semasa belum jadi atlet adalah mencari air bersih, yang tidak terdapat di pulau kecil tempat ia tinggal. Jadi, setiap hari ia harus mendayung ke pulau seberang, tempat air bersih tersedia. Tak mengherankan bila Hatimin tumbuh jadi sosok yang tegap liat dengan kulit legam terbakar matahari. Anak keenam pasangan Narung dan Damuria ini sebenarnya sekadar iseng ketika mulai ikut dalam beberapa pertandingan dayung sampan untuk memeriahkan perayaan 17 Agustus di desanya. Bakatnya yang besar langsung tercium pengurus olahraga dayung setempat. Akhirnya, mulai 1990, lewat kejuaraan nasional dayung di Palangkaraya, nama Hatimin mulai dikenal. Meski hanya tamatan SD—ayahnya meninggal ketika ia lulus SD sehingga tak mampu melanjutkan ke bangku SMP—prestasi Hatimin tak kecil. Ia telah berkeliling ke berbagai belahan dunia untuk mengharumkan nama bangsa. SEA Games kali ini adalah yang ketiga bagi Hatimin. Di Bangkok pada 1995 ia meraih tiga emas, sementara di Jakarta dua tahun lalu ia mendulang lima emas. Atas prestasinya ini, Hatimin beroleh bonus yang lumayan. Ia mengaku telah berhasil membangunkan rumah untuk ibunya. Asyiknya, Hatimin masih belum puas dengan prestasinya itu. Ia masih ingin kembali merebut emas. Maka, sekalipun kadang bosan, ia rela berlatih lima hari dalam sepekan di Waduk Jatiluhur, Jawa Barat, tempat pelatnas dayung. Latihannya tidak ringan. Mulai bangun pukul enam pagi untuk joging, disusul latihan fisik siang hari, sampai latihan teknik sore hari. Tekad serupa dilontarkan oleh Anisi, legenda dayung Indonesia. Apalagi, SEA Games kali ini adalah ajang terakhir bagi pria kelahiran Kendari 30 tahun lalu itu. Jadi, untuk sementara ia harus menanggung rindu kepada anaknya yang baru berusia 18 bulan. Anisi, yang sehari-hari bekerja sebagai pegawai Pemda Kendari, berencana lebih berkonsentrasi dalam membina bibit baru pedayung di daerahnya setelah mundur. Sementara itu, Hatimin baru akan mundur setelah PON di Jawa Timur tahun depan. Ia berencana menikah dan membuka usaha penangkapan ikan di kampungnya. "Saya besar di laut dan tidak bisa jauh-jauh dari laut," kata Hatimin.
Ronny Syaifullah (Silat) Ada 21 emas yang siap diperebutkan dalam cabang pencak silat. Tak pelak, cabang ini yang termasuk paling diharapkan dalam mendongkrak perolehan medali kontingen Indonesia. Salah satu andalan adalah Rony Syaifullah, yang turun pada nomor wiralaga (tanding) kelas G (75-80 kilogram) putra. Dua tahun lalu di Jakarta, pesilat dari perguruan Tapak Sakti ini berhasil memperoleh emas di kelas yang sama. Rony, yang lahir di Boyolali, Jawa Tengah, 26 Agustus 1976, masih tercatat sebagai mahasiswa tingkat akhir di Jurusan Pendidikan Olahraga dan Kesehatan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret, Solo. Selama menjalani pelatihan nasional, Rony juga berkesempatan mengerjakan skripsinya karena obyek yang digarap tak lain pelatnas itu sendiri. Peraih emas dalam kejuaraan dunia di Kuala Lumpur 1997 ini mengaku punya mimpi silat dipertandingkan di ajang yang lebih besar seperti Asian Games dan olimpiade. Namun, menjelang harapan itu terwujud, Rony tak tergerak untuk menekuni cabang bela diri lain. "Saya cinta silat," ujar pendekar yang hobi berkaraoke ini.
Taufik Hidayat (Bulu Tangkis) Tampangnya masih menyisakan paras kanak-kanak. Maklumlah, usianya belum lagi genap 19 tahun. Namun, dalam usia semuda itu, pebulu tangkis Taufik Hidayat sudah mencatat prestasi yang cukup gemilang sehingga ia beroleh julukan Wonderkid. Bulan Maret lalu ia berhasil melenggang ke final ajang paling bergengsi All England. Sayang, akhirnya ia ditundukkan andalan Denmark, Pete Gade Christensen. Dalam SEA Games mendatang, Taufik dijadikan ujung tombak tim Indonesia. Sekalipun dalam segi usia ia lebih muda ketimbang rekan-rekannya, dari segi prestasi ia justru lebih baik. Jadi, penunjukannya diharap bisa memacu rekan yang lain. Sebetulnya, nama Taufik muncul pada saat-saat akhir. Tak aneh bila remaja yang hobi nonton film ini mengaku kaget. Namun, ia mengaku tak gamang karena ia akan banyak beroleh pengalaman baru. Yusi A. Pareanom, Andari Karina Anom, Yayi Ichram
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo