Perubahan masyarakat, apalagi revolusi, tak bisa terjadi hanya karena sebuah buku, pamflet, atau sekumpulan puisi telah ditulis. Juga sebuah pidato tak diharapkan akan langsung mengakhiri krisis ekonomi dan politik sekarang ini. Meskipun demikian, ternyata pidato Megawati, Ketua Umum dan calon presiden PDI Perjuangan, telah membawa efek tersendiri yang lain dari biasanya.
Ada yang menilai cakupan pembahasan Mega yang menyeluruh itu istimewa, sedang yang belum rela menyokong masih merasa perlu menunjukkan kekurangan-kekurangannya. Yang pasti, semua kritik karena gemas dan kecewa kepada kebisuan Mega ala Sphinx selama dua bulan ini buyar sekali pukul bagai gundukan pasir tersapu ombak di pantai, sesudah pidato itu diucapkan pada Kamis Kliwon, 29 Juli yang lalu.
Butir demi butir permasalahan nasional ditanggapi dan dipaparkan seperlunya, dan keragu-raguan terhadap dirinya dilayani dengan penjelasan yang sepadan. Teks pidato yang lima belas lembar itu tersusun baik, koheren, dengan kata-kata yang tampaknya dipilih sesaksama mungkin. Pesan politik ini keluar dari pribadi Megawati sebagai ketua partai dan calon presiden, yang ditegaskannya tanpa rikuh dengan penggunaan kata "saya", dari mula sampai akhir. Ini menggarisbawahi sikap percaya diri Mega sebagai tokoh pemenang pemilu, fakta yang tak pernah disembunyikannya. Menyatakan subyektivisme pemimpin tanpa bimbang seperti itu langka dalam perpolitikan Indonesia sehari-hari. Dengan ini, standar basa-basi dalam budaya politik Indonesia digeser hingga sesuai dengan keterbukaan dan demokratisasi.
Mungkin karena hikmah diamnya Mega selama ini, pidato yang ditutup dengan kalimat "Selamat tinggal Orde Baru, selamat datang era pemberdayaan rakyat" ini terdengar merdu di telinga umum yang belum punya alasan mutlak untuk menentangnya. Andai kata pidato yang persis sama dibacakan oleh calon presiden partai-partai lainnya yang belakangan ini tak sempat berhenti berbunyi, boleh ditebak hasilnya tidak akan sama menariknya. Penyebab perbedaan itu sederhana saja, dan mungkin tak disengaja. Kepada Mega, yang jarang muncul, faktor rindu dan ingin tahu ada, sedang kepada yang lain orang bosan karena seringnya berkomentar. Jadi, kredibilitas ternyata tak hanya tergantung kualifikasi kemampuan diri para calon presiden saja.
Sadar atau tidak, Megawati telah menerapkan cara berpolitik modern, yaitu yang disebut politik tokoh atau politik pribadi, personal politics. Sejak reformasi, dengan pemilihan umum, kegiatan politik sudah bergeser menjadi politik partai, bukan politik pakar, teknokrat, dan birokrat lagi. Dalam persaingannya, partai politik umumnya tidak lagi menawarkan ideologi, tetapi saling mengajukan platform masing-masing. Namun, dalam prakteknya, peran tokoh pimpinan partai-partai itulah yang lebih jadi pusat perhatian masyarakat.
Maka, Megawati adalah platform partai yang dipimpinnya. Apa isinya, dapat diketahui dari tingkah lakunya dan apa yang dikatakannya. Dengan pidatonya itu, Megawati telah mengambil tanggung jawab membeberkan segenap isi platform itu—tinggal diterima atau ditolak. Harus diakui bahwa sampai sekarang, dengan cara ini Megawati relatif lebih berhasil dari saingan-saingannya menjelaskan hubungan antara partai, dirinya, platform, dan pencalonannya sebagai pimpinan nasional. Semua pihak tersedot perhatiannya pada pernyataan politik Mega, baik kawan maupun lawan, yang memeriksa dengan cermat setiap butir sikap yang disampaikannya, terkadang sampai mirip mencari ketombe dengan kaca pembesar (…, siapa takut?).
Tapi, kepada siapa gerangan platform yang adalah Mega itu akan ditawarkan? Simpati siapa yang ingin diraih? Pemilihan presiden tidak akan ditentukan oleh suara rakyat pemilih lagi, tapi oleh wakil-wakil di MPR. Megawati mengatakan bahwa kedaulatan rakyat "tidak boleh dibelokkan dan dimanipulasi menjadi kedaulatan MPR semata". Beberapa kali ditekankannya perbedaan antara kehendak rakyat sejati dan elite politik "yang cenderung terbiasa mempermainkan perasaan dan kepercayaan rakyat yang dititipkan kepadanya". Dengan kata lain, Megawati menuntut agar kemenangan partainya dalam pemilu juga sewajarnya terwujud dalam pemilihan kursi presiden di MPR kelak.
Apa hendak dikata, sistem MPR dalam UUD 1945 memang memungkinkan untuk "membelokkan" pemilihan presiden menjadi berlainan dari hasil pemilu untuk anggota DPR. Imbauan saja tidak cukup untuk mengatasi kekurangan prosedural ini. Megawati memang mengulurkan tangannya kepada para pemimpin partai reformis. Dia mengajak mereka yang menolak status quo untuk "membangun Indonesia baru", dan berjanji kalau dipilih menjadi presiden, dia "bukan lagi milik PDI Perjuangan semata, tapi milik semua partai yang ada di negeri ini".
Setelah ini, kalau begitu, Megawati masih harus melaksanakan secara konkret ajakannya itu dengan menghampiri tiap-tiap partai itu dan meyakinkan para anggota MPR yang baru terpilih bahwa, seperti mendiang John F. Kennedy, ia berprinsip "My loyalty to the party ended when my loyalty to the country began". Selain itu, dalam bulan-bulan mendatang, barangkali kita akan saksikan Mega dan timnya berkeliling menggarap calon-calon Utusan Daerah. Jumlahnya terlalu besar untuk boleh diabaikan oleh siapa pun yang serius ingin dapat dukungan mayoritas di MPR.
Menyadari kelemahan pengaturan prosedur pemilihan presiden ini, sebagai salah satu contoh, seyogianya Megawati menyetujui amandemen bagi UUD 1945. Memang dia tak menolak, walau diakuinya kekhawatirannya akan kemungkinan berubahnya falsafah dan dasar negara. Karena itu, diusulkannya penyempurnaan melalui bentuk ketetapan MPR. Tapi penyelesaian dengan ketetapan MPR atau undang-undang saja sangat terbatas gunanya, bagai sehelai daun untuk menutupi aurat belaka. Dan tanpa ramalan Jayabaya, masa berlakunya pun bisa hanya seumur jagung. Sudah banyak contoh tentang ini.
Sesungguhnya, tidak banyak komentar diperlukan lagi. Pidato Megawati itu pada dirinya patut dihargai karena sudah diucapkan lengkap, tuntas, dan terbuka untuk penilaian. Also sprach Megawati, demikianlah dia sudah berkata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini