Ironis memang. Sementara partai-partai yang unggul dalam pemilu yang sudah dilakukan hampir dua bulan lalu siap-siap menyusun strategi menghadapi SU MPR, partai-partai kecil yang tidak kebagian kursi justru memperdebatkan keabsahan pemilu itu.
Corong yang dipakai partai-partai kecil untuk berdebat adalah Komite Pemilihan Umum (KPU), yang dibentuk pemerintah sebagai penyelenggara pemilu. Berbeda dengan pemilu pada masa Orde Baru yang selalu diselenggarakan pemerintah—dan selalu menguntungkan Golkar sebagai partai yang berkuasa—pelaksanaan pemilu kali ini diserahkan ke partai-partai. Dan, masya Allah, jumlah partai peserta pemilu ada 48 dan semuanya harus memiliki wakil di KPU. Pemerintah juga menyertakan lima wakilnya di sini.
Langkah pemerintah itu kedengarannya demokratis—dan reformis. Tapi, undang-undang yang mengatur pemilu, yaitu Undang-Undang No. 3/1999, tidak melibatkan wakil-wakil KPU. Undang-undang ini juga disiapkan dengan mendadak dan banyak lubangnya. Di situ disebutkan, misalnya, bagaimana berkuasanya KPU untuk menentukan apakah pemilu itu dapat disahkan atau tidak. Dalam salah satu pasal disebutkan, sahnya pemilu itu harus ditandatangani oleh dua pertiga anggota KPU.
Namun, pemerintah kemudian melihat gelagat lain setelah KPU terbentuk. Tokoh-tokoh vokal yang menjadi ketua partai terjun langsung sebagai wakil KPU. KPU menerapkan standar ganda, di satu pihak melarang menteri dan aparat pemerintah berkampanye, sementara anggota KPU sendiri tidak dilarang. Untuk mengantisipasi ''kemacetan" dalam pengesahan pemilu ini, pemerintah pun mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 3/1999. Salah satu pasalnya menyebutkan, keberatan anggota KPU menandatangani pengesahan pemilu harus dilaporkan ke Panwaspus dan lembaga pengawas tingkat pusat ini berhak menerima atau menolak. Ini yang sekarang diperdebatkan dengan sengit di KPU, setelah mereka tak berhasil mengesahkan ''hasil karyanya" dan pengesahan hasil pemilu itu diserahkan begitu saja ke Presiden.
Ini memang pemilu di luar jadwal. Undang-undang pemilu dibuat tanpa cukup menyerap suara masyarakat. Peraturan pemerintah sebagai penjabaran undang-undang pun amburadul. Pokoknya, serba tergesa-gesa. Tapi, kalau semua pihak punya itikad yang sama untuk menuju sebuah demokrasi yang dicita-citakan, kekurangan perangkat hukum ini semestinya bisa dimusyawarahkan, bukan justru dimanfaatkan untuk kepentingan sempit, kepentingan partai, misalnya.
Jika sidang KPU berlarut-larut, akibatnya merembet ke jadwal yang selalu molor. Pelantikan anggota DPRD tak bisa dilangsungkan menurut jadwal. Itu artinya, pemilihan anggota MPR utusan daerah pun bisa tertunda, dan bahkan mungkin pelantikan anggota MPR pun bisa molor lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini