PADA sebuah tembok batu di pelabuhan tua Kota Marseille, gambar Zinedine Yazid Zidane terpampang gagah. Di udara dingin menusuk tulang, senyum samar gelandang Real Madrid itu seolah menyihir para pelalu-lalang di pinggir dermaga. Lukisan seukuran baliho itu dibuat untuk menyambut kedatangan Zidane ke kampung halamannya pada akhir November silam.
Zidane, 31 tahun, kali ini datang bersama pasukan Madrid untuk menghadapi Olympique Marseille di ajang Liga Champions Eropa. "Seluruh kota membicarakan Zidane. Putra kami telah kembali," ujar Samir Bendamache, seorang warga Marseille.
Warga Marseille memang punya tradisi unik untuk menghormati pemain besar. Sebelum Zidane, dua pemain legendaris asal Marseille, Jean Pierre-Papin dan Josep Skoblar, dihargai serupa. Sayangnya, setelah mendapat penghargaan besar itu, Zidane justru membuyarkan impian Marseille. Madrid menang 2-1 dan Marseille gagal lolos ke babak selanjutnya.
Dua pekan kemudian, Zidane kembali menjadi buah bibir di kampungnya. Namanya tak henti-henti disebut penggemarnya di jalan, bar, dan kafe. Gelandang tim nasional Prancis itu mendapat gelar pemain terbaik dunia 2003 versi badan sepak bola dunia (FIFA) di Basel, Swiss, Senin pekan silam. Dengan demikian, Zidane sudah tiga kali menerima penghargaan yang sama, setelah 1998 dan 2000. Ia menyamai rekor Ronaldo, bintang asal Brasil, yang juga merumput di Madrid, yang menjadi pemain terbaik dunia pada 1996, 1997, dan 2002.
Zizou—demikian julukan pemain berdarah Aljazair itu—mengungguli rekan senegaranya, Thierry Henry (Arsenal), dan Ronaldo. Zidane megumpulkan total 264 poin. Henry di urutan kedua dengan 186 poin, diikuti Ronaldo dengan 176 poin. Zidane mengaku bangga menerima penghargaan itu, terlebih karena yang memilih adalah para pelatih terbaik dunia. Ia mendapat suara mayoritas. Dari 142 pelatih, 35 orang memilih Zidane. "Penghargaan ini terasa lebih spesial karena yang memilih pelatih," tutur pemain bertinggi badan 185 sentimeter itu.
Sukses Zidane adalah sukses Madrid. Klub kaya Liga Spanyol itu tiga kali berturut-turut mengantarkan pemainnya menjadi pemain terbaik dunia—penghargaan yang diberikan FIFA sejak 1991. Gelandang mereka Luis Figo meraih gelar serupa pada 2001. Tahun ini Madrid memasukkan lima pemainnya di urutan 10 besar. Selain Zidane dan Ronaldo, ada bek sayap Roberto Carlos, yang menempati urutan kelima dengan 105 poin, David Beckham, di urutan ketujuh dengan 74 poin, dan Raul, di posisi kedelapan dengan 39 poin.
Kiprah Zidane di jagat sepak bola memang sangat fenomenal. Bakatnya sudah menonjol sejak bocah, ketika ia bergabung dengan klub lokal Septemes Sports Olympiques. Para tetangganya sudah memperkirakan Zizou kecil yang kurus dan gemulai itu bakal menjadi pemain besar. Ia tekun berlatih bersama teman-teman sebayanya di lapangan beton di distrik La Castellance, Marseille. Di daerah miskin itulah orang tua Zidane tinggal setelah hijrah dari Aljazair pada 1962. Di distrik itu pula Zizou lahir dan tumbuh menjadi pemain hebat.
Di lapangan keras dan berdebu, kelincahan kakinya terasah. Dengan kemampuan di atas rata-rata, Zidane cilik mulai populer di kalangan pemain sebayanya. Tapi ia lolos dari pantauan pemandu bakat Olympique Marseille, klub profesional Liga Prancis. Yang menemukan mutiara terpendam itu justru pemandu bakat klub Cannes, Jean Varraud. Varraud akhirnya memboyong Zidane, 14 tahun saat itu, ke akademi pemain muda Cannes pada 1986. Padahal, sejak kecil, ia memimpikan bermain di Marseille—yang hingga kini tak pernah menjadi kenyataan. "Ketika karier saya berakhir nanti, mungkin, saya akan menyesal tak pernah bermain untuk Marseille," katanya.
Ketika mengawali debutnya bersama Cannes di Liga Prancis pada 1989, ia mendapat bonus 5.000 franc (sekitar Rp 10 juta.) Bintangnya mulai bersinar dua tahun kemudian, ketika ia menjaringkan gol pertamanya ke gawang Nantes. Presiden Cannes, Alain Pedretti, memberinya sebuah sedan baru Renault Clio.
Pada tahun kedua bersama Cannes, penampilan Zidane tak terlalu istimewa. Tapi saat itulah ia bertemu dengan Veronique, yang kemudian menjadi istrinya. Perkawinannya dengan penari Spanyol itu dikaruniai dua anak, Enzo dan Luca. Enzo diambil dari nama gelandang legendaris Uruguay, Enzo Francescoli, yang bermain untuk Marseille pada 1980-an. "Saya menamai dia Enzo karena saya mengidolakan Enzo Francescoli," kata Zidane.
Setelah tiga tahun di Cannes, Zizou membutuhkan perubahan. Pada saat yang sama, pelatih klub Girondins Bordeaux, Rolland Courbis, jatuh cinta padanya. Jadilah Zidane boyongan ke Bordeaux. Di klub inilah ia mulai dilirik banyak orang. Pada musim pertama bersama Bordeaux, Zidane berhasil membawa tim itu lolos ke Piala UEFA. Bahkan, pada musim 1995-1996, ia mengantarkan Bordeaux ke babak final.
Penampilannya yang gemilang menarik perhatian pelatih tim nasional Prancis, Aime Jacquet. Jacquet memanggilnya ke tim nasional untuk kualifikasi Piala Dunia 1994. Debutnya dimulai pada pertandingan persahabatan melawan Republik Chek di Bordeaux. Saat ia turun ke lapangan sebagai pemain pengganti, tim Prancis ketinggalan 0-2, dan Zidane muncul sebagai pahlawan dengan dua gol cantik dalam waktu dua menit. Dua gol Zidane menghindarkan Prancis dari kekalahan. Sejak saat itu, Zinedine Zidane selalu menjadi pilihan utama di tim nasional.
Bintangnya kian bersinar terang ketika ia bergabung dengan klub Seri A Italia, Juventus, pada 1996. Zidane ikut berperan membawa klub asal Kota Turin itu sukses meraih banyak gelar, di antaranya juara Seri A 1997-1998 dan Piala Super Eropa 1996. Setelah lima tahun di Juventus, Zizou pindah ke Madrid pada 2001 dengan rekor transfer US$ 66 juta atau sekitar Rp 561 miliar. Ia berhasil membawa Madrid menjadi juara Liga Spanyol musim 2002-2003.
Zidane memiliki bakat luar biasa. Menurut pengamat sepak bola Ronny Pattinasarani, setiap kali bermain, ia seperti sudah tahu bola mau diapakan karena kaki dan hatinya sudah menyatu dengan bola. "Pemain seperti Zidane langka," kata mantan pemain nasional Indonesia itu.
Namun bakat saja tak cukup. Kemampuan itu tak muncul secara tiba-tiba. Zizou meraihnya melalui latihan terus-menerus sejak berusia 12-14 tahun sampai menjadi pemain profesional. Seperti diakui Ronny, untuk mematangkan bakat dan teknik yang sudah dimiliki, seorang pemain membutuhkan latihan keras paling sedikit dua setengah jam sehari. Yang membedakan dengan pemain lain, Zidane punya visi di lapangan. "Dia tahu kapan bola harus ditahan, diumpankan, atau ditendang ke gawang," kata Ronny.
Dengan kemampuan yang lengkap, tak aneh bila Zidane selalu menjadi pemain pilar, baik di klub maupun di tim nasional. Ia juga selalu memberikan yang terbaik. Ia adalah "nyawa" tim "Les Bleus" Prancis ketika menjuarai Piala Dunia 1998 dan Euro 2000. Bahkan mantan bintang Madrid, Alfredo Di Stefano, menyebut Zidane sebagai salah seorang pemain terbaik dunia yang pernah ada, sejajar dengan Pele dan Diego Maradona.
Zidane juga dikenal sebagai pemain yang ramah. Ia tak melupakan kampung halaman dan teman-temannya meski sudah menjadi pemain besar. Setiap kali pulang kampung, ia tak pernah lupa mengunjungi sanak saudara dan teman-temannya. Tak aneh jika ia sangat dicintai warga Prancis, terutama penduduk Marseille.
"Dia pemain hebat, selalu bermain dengan hati," kata Andre Lemoine, pemilik toko sepatu di dekat Pelabuhan Marseille. Pujian itu memang tidak berlebihan.
Sapto Yunus
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini