Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Fatwa Khilaf, Fatwa Mandul

Keputusan Komisi Fatwa MUI ihwal haramnya bunga bank dikritik NU dan Muhammadiyah. Mayoritas ulama Al-Azhar justru menghalalkannya.

21 Desember 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA pemuka Islam di Indonesia terbelah pendapatnya ihwal fatwa haram bunga bank. Apakah pembungaan di perbankan konvensional itu termasuk transaksi ribawi sehingga mutlak diharamkan sebagaimana disebutkan Al-Quran dan diriwayatkan para sahabat berulang kali dalam pelbagai hadis Nabi? Sang pencetus fatwa jelas setuju bulat. Mereka adalah ulama yang tergabung dalam Komisi Fatwa Majelis Ulama, baik di pusat maupun di daerah. Mereka melontarkan fatwa tegas itu dalam forum Ijtimak (Pertemuan) Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia di Jakarta, pertengahan Desember lalu. Lokakarya Dewan Syariah Nasional juga menetapkan hal yang sama pada 1990. Tapi tak sedikit yang menentang. Dalam deretan ini masuk organisasi Islam terbesar dan paling berpengaruh: Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Ketua Muhammadiyah Ahmad Syafi'i Ma'arif beranggapan bahwa fatwa itu belum urgen. Pula, dilakukan tergesa-gesa tanpa menimbang kesiapan bank-bank syariah di Tanah Air, yang posisinya masih terpinggir. Betul juga. Bank Indonesia, induk perbankan negara, menyebut bahwa bank syariah baru punya jaringan 217 buah, dibandingkan dengan 7.600 milik bank umum. Asetnya cuma sekitar 0,5 persen dari bank nasional. Majelis Tarjih juga pernah mengkaji. Lembaga fatwa di Muhammadiyah ini setidaknya empat kali bersidang, yakni pada 1968, 1972, 1976, dan 1989. Keputusannya, seperti kata Haedar Nashir, Sekretaris Pimpinan Muhammadiyah, hingga kini masih diambangkan—posisinya berada di antara halal dan haram. Dalam barisan ini ada Ustad A. Hasan Bandung. Pencetus berdirinya ormas Persatuan Islam (Persis) di Bangil, Jawa Timur, itu pernah berujar bahwa bunga bank tidak haram karena tak terkandung unsur riba. Lain lagi dengan NU. Ormas Islam berbasis pesantren ini tak pernah tegas-tegas mengharamkan. Dalam bahasa Ketua Umum NU Hasyim Muzadi, pihaknya menawarkan tiga hal: halal, haram, dan syubhat (ragu-ragu). NU paling banter cuma mengamanatkan berdirinya bank Islam dengan sistem tanpa bunga. Ini diputuskan dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama di Bandarlampung pada 1992. Seruan serupa dikumandangkan Muhammadiyah jauh hari, saat Sidang Lajnah Tarjih di Sidoarjo, Jawa Timur, pada 1968. Tapi yang "mengejutkan" justru Quraish Shihab, ulama lulusan Al-Azhar dan mantan Menteri Agama. Ia menyinggung hasil rapat para ulama pada Majma al-Buhuts al-Islamiyah, salah satu badan tertinggi Al-Azhar, yang dipimpin langsung oleh syekh Al-Azhar, Syekh Muhammad Thanthawi, yang juga mufti Mesir dewasa ini. Saat membahas masalah kontroversi bunga bank pada 2002, dari 14 ulama yang hadir, hanya 4 yang mengharamkan. Sembilan lainnya menyatakan halal tanpa syubhat. Hanya seorang yang belum bisa berpendapat. Fatwa ini mengoreksi fatwa haram yang pernah dicetuskan forum yang sama pada 1965. Walhasil, kutub perbedaan pendapat itu masih terbuka lebar—dan agaknya, sampai kapan pun. Bukan cuma di sini, tapi di seantero dunia. Sebab itu agak aneh jika para ulama itu berkumpul cuma menguprek-uprek soal lama yang susah di- mutlakkan kebenarannya. Kesan dipaksakan terasa mencolok mata: para eksekutif bank syariah bersorai, lalu mereka ramai-ramai mengklaim siap menerima luberan dana umat! Padahal tak sedikit yang risau. Di antaranya ratusan ribu pekerja di bank nonsyariah. Apakah mereka lantas dianggap menerima gaji haram sebagaimana pengelola rumah bordil? Ada baiknya kita merujuk kata Syafi'i Antonio, pakar bank syariah. Anggap saja ini sebagai pesan moral yang menyatakan suatu interpretasi hukum Islam. Boleh dipegang, boleh tidak. Ini bukan hukuman pengadilan yang memang tak bisa dielakkan. Namun alangkah eloknya jika mereka justru membahas masalah mendesak yang menuntut perhatian atau seruan—jika fatwa malah bikin kikuk. Kalau mau jadi "ahli waris nabi", kenapa mereka tak tergerak untuk bersikap terhadap maraknya korupsi, ketidakadilan, dan kezaliman para penguasa yang kian menggila belakangan ini? Kalau saja mereka terjebak pada soal-soal yang masih khilaf (tak sepakat) antar-ulama tadi, salah-salah fatwanya malah mandul. Mubazir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus