Apa yang terjadi jika kedaulatan sebuah negara bertentangan dengan kedaulatan rakyatnya? Bagi George Walker Bush, jawabannya cukup mudah: kirim saja pasukan untuk membebaskan rakyat negeri itu dan persetan dengan kedaulatan negaranya. Lantas bagaimana dengan nasib sang kepala negara? Tangkap, permalukan, dan serahkan kepada pengadilan yang dilaksanakan oleh rakyat yang menjadi korban penindasannya. Bagaimana kalau rakyat yang marah dan penuh dendam menjalankan pengadilannya secara serampangan dan menjatuhkan hukuman mati? Itu urusan rakyat negeri itu yang harus dihormati.
Sederhana, bukan? Mungkin dalam teori. Kenyataannya di lapangan ternyata jauh lebih rumit. Setidaknya itu yang kita amati terjadi di Irak. Setelah berhasil menggulung pertahanan tentara Negeri Seribu Satu Malam ini dalam pertempuran yang jauh dari seimbang, tentara pendudukan Amerika Serikat berjaya mencokok Presiden Saddam Hussein di sebuah lubang persembunyian di kawasan Tikrit.
Penangkapan sang diktator bengis itu berjalan tanpa perlawanan, tapi bukan berarti semua warga Irak lantas bersorak gembira. Memang sebagian tampak menyambut dengan rasa girang, tapi ada juga yang sedih, bahkan juga yang tambah marah. Buktinya, serangan terhadap pasukan Amerika Serikat dan warga lain—termasuk bangsa Irak—yang dianggap membantu pemerintahan pendudukan terus saja berlangsung dan menjatuhkan korban. Ini menunjukkan keragaman aspirasi rakyat Irak, bukan saja dalam memandang Saddam Hussein, melainkan juga masa depan negerinya.
Keragaman ini sebenarnya sebuah hal yang wajar, tapi terasa menyulitkan dalam konteks Irak saat ini. Pasalnya, pemerintahan Irak yang sah belum lagi terbentuk. Karena itu, sulit untuk menentukan aspirasi mana yang mewakili rakyat negeri ini. Ada yang berpendapat, karena kaum Syiah adalah penduduk mayoritas, aspirasi para ulama Syiah yang seharusnya menjadi panduan. Mereka menginginkan sistem hukum Islam yang dijadikan rujukan dalam pengadilan Saddam Hussein.
Pendapat ini sah saja, tapi bukan berarti harus segera dituruti. Sejumlah masalah lain harus dipecahkan dulu. Saddam Hussein dibesarkan sebagai penganut Sunni, aliran dalam Islam yang punya interpretasi berbeda dengan kaum Syiah. Lantas interpretasi mana yang akan digunakan? Selain itu, karena kaum Syiah merasa ditindas oleh kelompok Sunni selama seperempat abad pemerintahan Saddam, timbul kekhawatiran bahwa ajang pengadilan akan disalahgunakan menjadi ladang balas dendam.
Kekhawatiran ini bukan mengada-ada. Bahaya munculnya tirani mayoritas di masyarakat yang baru memulai langkah membentuk sistem demokrasi memang besar. Terutama karena konstitusi Irak yang demokratis dan sekaligus melindungi hak asasi manusia belum sempat disusun, bahkan daftar panitia penyusunnya pun belum lagi terbentuk. Itu sebabnya pengadilan terhadap Saddam Hussein tak dapat dilakukan secara normal, tapi harus dalam konteks transisi.
Majalah ini mengusulkan agar bekas orang kuat Irak ini diadili saja dalam pengadilan khusus hak asasi manusia. Soalnya, berbagai tindakan pemerintah Irak di bawah kendali Saddam Hussein jelas-jelas masuk dalam pelanggaran hak asasi manusia dengan kategori berat, misalnya ketika mengebom desa-desa kaum Kurdi dengan gas beracun. Untuk mengadili perkara ini, sesuai dengan ketentuan internasional yang berlaku, kesempatan pertama harus diberikan kepada rakyat Irak untuk melakukannya. Sementara itu, masyarakat dunia di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa wajib memantau dan memberikan bantuan yang memadai. Bila jalannya pengadilan hak asasi manusia di Irak dianggap tak sesuai dengan kaidah yang berlaku, pengadilan internasional harus mengambil alih.
Agar pengambil-alihan ini tak perlu dilakukan, pemerintahan pendudukan Irak sebaiknya bekerja sama dengan PBB sejak awal. Selain merupakan lembaga dunia yang paling sahih, institusi ini memiliki pengalaman dalam membantu bangsa-bangsa yang sedang mengalami transisi. Tak ada salahnya meniru apa yang dilakukan di Kamboja dan Sierra Leone. Di kedua negara ini dilangsungkan pengadilan hak asasi manusia yang menggunakan gabungan hakim lokal dan hakim-hakim pilihan PBB. Memang biayanya tak sedikit, tapi hasilnya terbukti diterima bukan saja oleh mayoritas rakyat setempat, melainkan juga oleh komunitas internasional.
Bila pelibatan masyarakat internasional ini dilakukan dalam proses pengadilan Saddam Hussein, hukuman mati tak mungkin dijatuhkan karena PBB tak memperkenankan jenis hukuman fatal ini diberlakukan. Hal ini mungkin tak menyenangkan Presiden Bush, yang selama menjadi Gubernur Negara Bagian Texas dikenal telah merestusi eksekusi lebih dari seratus terpidana hukuman mati. Juga menjengkelkan bagi warga Irak yang penuh dendam dan ingin agar Saddam Hussein segera dihukum mati. Belum lagi kerepotan para pejabat keamanan di Irak yang harus bersiaga terus terhadap kemungkinan serangan teroris para loyalis Saddam Hussein yang ingin membebaskan idola mereka melalui upaya penyusupan atau penyanderaan tokoh-tokoh masyarakat dunia.
Kombinasi dari berbagai hal di atas boleh jadi akan menimbulkan resistansi yang kuat terhadap upaya pelibatan PBB dalam proses pengadilan Saddam Hussein. Untuk mengatasi perlawanan ini, pemerintah Republik Indonesia hendaknya turut aktif menggalang tekanan diplomasi dunia ke Amerika Serikat dan pemerintahan sementara Irak agar menerima peran PBB yang lebih besar dalam proses transisi negara itu. Ini adalah tugas konstitusi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini