SELESAI mengikuti turnamen All England, wartawan TEMPO Herry
Komar sempat mengikuti kejuaraan dunia tenis meja ke-5 di
Birmingham, Inggeris. Berikut ini laporannya:
Menjelang tim tenis meja Indonesia yang dilatih di Senta,
Yugoslavia berangkat ke Birmingham, jauh-jauh Sekjen PTMSI,
Willy Warokka telah melempar target: Indonesia akan melompat ke
dalam kelompok 8 besar dunia. "Esnmate itu berdasarkan laporan
pelatih Selbella yang memperkirakan kita bisa masuk 10 besar",
cerita Willy di Birmingham. Dalam kejuaraan dunia tenis meja
1975 di Kalkuta, Indonesia menduduki urutan ke-13 untuk putera
dan nomor 15 di bagian puteri.
Harapan Willy itu pada mulanya mungkin cukup berdasar. Ketika
turun di Kalkuta, tim yang diturunkan hanya dilatih di dalam
negeri. Sedangkan untuk ke turnamen dunia ke-34 di Birmingham,
dua pekan lalu pemain-pemain telah dipersiapkan setahun lebih di
luar negeri dan dengan pelatih asing pula. "Setelah mau
berangkat target itu saya turunkan lagi jadi 13 besar", lanjut
Willy. Penurunan drastis itu, menurut Willy, disebabkan ia
mendengar kemajuan pesat dari negara-negara Eropa. Sehingga ia
jadi was-was dengan targetnya semula.
Hatinya Kecil
Tapi, apa yang kejadian di Birmingham betul-betul di luar dugaan
Willy. Tim Indonesia yang diharapkan bisa mempertahankan
prestasi di Kalkuta ternyata melorot jauh dari itu. Berada di
pool 1 A bersama RRT, Cekoslowakia, Hungaria, Jerman Barat,
Perancis, Inggeris dan Australia, regu putera Indonesia hanya
mampu menempati urutan ke-7 dari 8 peserta. Ketika disilang
dengan pool 1 B. Lawan yang menghadang adalah Rumania yang
menempati urutan terbawah. Sekali lagi harapan untuk
mempertahan diri buyar kembali. Tim Indonesia dikalahkan dengan
angka 54.
Menurut Willy, kenyataan itu disebabkan oleh salah pemasangan
pemain. Ia menyesalkan penempatan Abdul Rojak sebagai pemain
penentu dalam pengumpulan angka. "Rojak itu hatinya kecil. Ia
tidak mempunyai fighting-spirit (semangat bertanding)", kata
Willy sembari menyedot asap rokok dalam-dalam. "Seharusnya yang
dipasang adalah Gunawan atau Empie".
Perhitungan Willy itu kelihatan sama sekali lain dengan
perkiraan Selbella yang memasang Rojak. Ia menurunkan itu
berdasarkan prestasi di Senta. Ketrampilan di Senta itu ternyata
bukan jadi ukuran mutlak kebolehan Rojak di Birmingham. Ia
tersisihkan ketika dipertaruhkan untuk mencari angka penentu.
1/3 Kekuatar Eropa
Adakah melorotnya Indonesia dari urutan ke-13 ke nomor 16 itu
merupakan takaran kegagalan di Senta? Willy menolak kenyataan
itu, "Pemain kita tidak mundur. Cukup banyak kemajuan mereka"
bantah Willy. "Kalau tidak dilatih di Yugo mungkin lebih parah
lagi keadaannya".
Alasan keberhasilan sistim latihan di Senta itu, menurut Willy,
pemain Indonesia makin punya dasar permainan yang baik.
"Kekurangan kita adalah basic (dasar) yang ditanamkan itu belum
dapat dikembangkan untuk mengimbangi kemajuan pemain-pemain
ltali, Polandia, Belgia, Belanda maupun Denmark", tambah Willy.
Sehingga, "pemain-pemain kita dikejutkan oleh pemain Middle
Class European Countries (istilah Willy untuk negara-negara
tersebut di atas) tersebut".
Pandangan Willy itu tidak seluruhnya disepakati oleh tokoh tenis
meja Indonesia, tentunya. Seorang 'kalangan dalam' yang tak mau
disebut namanya, menyatakan pendapat yang berbeda. Ia melihat
kemunduran pada beberapa pemain Senta. Seperti Faisal Rachman,
misalnya. Menurut tokoh tersebut, mutu permainannya jauh lebih
menurun dibandingkan dengan penarnpilannya di Jakarta. Hingga si
tokoh tersebut menyatakan kekuatirannya, tim DKI Jaya akan
kehilangan satu medali emas dalam PON IX, Juli depan.
Di mata bekas pelatih tenis meja RRC, Cheng Chung Yin, 39 tahun,
yang kini bermukim dan melatih di Hongkong, pemain-pemain kita
telah terjerumus ke dalam gaya permainan Eropa yang kurang cocok
untuk langgam Asia. Menurut Cheng, gaya permainan Eropa itu
membutuhkan tenaga yang besar. Sedang kekuatan pemain Asia hanya
1/3 mereka. "Untuk pemain Asia yang perlu dikembangkan adalah
kecepatan. Dengan bermain cepat inisiatif lebih banyak di tangan
kita", tutur Cheng.
Kelemahannya juga ada: permainan pulse bisa mati bila diajak
rally. Kenyataan ini terlihat ketika pemain-pemain RRC
berhadapan dengan pemain Eropa dan Jepang untuk nomor
perorangan. Keunggulan yang diperlihatkan pemain RRC dalam
pertandingan beregu, tak begitu ampuh lagi sewaktu pemain Eropa
mengetahui kelemahan mereka dan mengajak rally. Akhirnya gelar
juara perorangan yang diincar RRC - setelah merah Piala
Swaything dan Piala Marcel Corbillon, lambang supremasi beregu
pria dan wanita lepas dari tangan mereka. Kampiunnya adalah
Mitsuru Kohno Yiati Jepang untuk nomor putera dan Pak Yun Sun
dari Korea Utara di bagian puteri. "Secara keseluruhan mereka
unggul, bukan?", tambah Cheng.
Terang Murah
Cheng, bekas juara nasional Indonesia tahun 1957-1959, yang
pulang ke RRC di tahun 1960 (hijrah ke Hongkong tahun 1972)
menambahkan bahwa gaya permainan yang serasi buat pemain
Indonesia adalah kembali ke gaya Asia. Untuk itu ia sudah
menyatakan kesediaan untuk jadi pelatih tenis meja Indonesia. Ia
menambahkan bisa saja pemain-pemain yang ada di Senta
dipindahkan ke Hongkong. "Syukur, kalau saya boleh pulang ke
Indonesia", tambah Cheng yang meminta honor sebagai pelatih
sekitar 2.500 dolar Hongkong seperti yang diterimanya sekarang -
1 dolar Hongkong sekitar 93 rupiah.
Cheng yang masih punya orang tua (bapak The Hok Tjin dan ibu Ang
Siu Hwa) di Semarang menyata,kan seandainya ia diberi
kesempatanmenggantikan Selbella, ia yakin prestasi Indonesia
akan lebih baik. "Setelah setahun saya yakin tim Indonesia akan
masuk 10 besar" kata Cheng.
Willy Warokka tampak masih berfikir-fikir dengan tawaran
tersebut. Ia menguatirkan ketiadaan teman berlatih di Hongkong.
Sekalipun biaya lebih murah di sana. Di Senta, untuk seorang
pemain dikeluarkan biaya sekitar 300 dolar AS per-bulan - 1
dolar AS sama dengan 420 rupiah. Buat pelatih dikeluarkan 200
dolar per-bulan. "Kalau KONI tidak menambah anggaran,
kemungkinan pemain akan dipindahkan ke Hongkong", ujar Willy
yang telah berniat untuk tetap melanjutkan pelatnas PTMSI di
Senta.
Berapa biaya yang diperlukan jika pelatnas dipusatkan di
Hongkong? "Terang lebih murah", kata Cheng tanpa menyebut angka.
"Sekalipun perbedaannya memang tak menyolok jauh". Dan Cheng
yang kelahiran Yogya pun sedikit menjual 'lagak' dengan
menunjukkan keberhasilan tim Hongkong yang diasuhnya. Regu
putera ketika di Kalkuta hanya menempati urutan ke-3 dalam grup
B, di Birmingham melompat ke tangga pertama. Sehinggai dalam
kejuaraan dunia ke-35 di Pyongyang tahun 1979 depan, mereka akan
bertanding di grup A. Sedangkan Indonesia harus bertarung dari
grup A ke kelompok B. Di bagian puteri, dari nomor I di grup B
melonjak jadi nomor 8 pada grup A. Sementara puteri Indonesia
yang baru 1 bulan di Senta dari nomor 15 pada turnamen 2 tahun
lalu melorot ke tempat 18 - praktis turun grup sekaligus.
Tawaran RRT
Kendati merosotnya demikian, Willy masih saja punya kebanggaan.
"Dibandingkan Singapura dan Malaysia kita masih lebih baik.
Mereka merosot 10 tingkat sekaligus. Sedangkan kita cuma 3
tingkat", katanya. Kenyataan 'buruk' itu ternyata punya arti
politis bagi RRC. Mereka mencoba menawarkan agar pemain
Indonesia supaya dilatih di negeri mereka saja. "Untuk kondisi
sekarang ini terang mustahil," tambah Willy menolak tawaran
tersebut.
Lalu, bagaimana cara terbaik untuk mengatasi 'keparahan' yang
melanda team tenis meja Indonesia? Tetap bertahan di Senta? Atau
beralih ke Hongkong guna mencari identitas ketrampilan Asia
kembali? "Kita lihat saja bagaimana nanti", kata Willy.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini