Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Yugo, Hong Kong, RRC ?

Prestasi Indonesia di kejuaraan dunia tenis meja melorot dari urutan ke-13 menjadi 16 di Birmingham Inggris. Bekas pelatih RRC asal Indonesia, Cheng Chung Yin bersedia melatih tim Indonesia.

16 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELESAI mengikuti turnamen All England, wartawan TEMPO Herry Komar sempat mengikuti kejuaraan dunia tenis meja ke-5 di Birmingham, Inggeris. Berikut ini laporannya: Menjelang tim tenis meja Indonesia yang dilatih di Senta, Yugoslavia berangkat ke Birmingham, jauh-jauh Sekjen PTMSI, Willy Warokka telah melempar target: Indonesia akan melompat ke dalam kelompok 8 besar dunia. "Esnmate itu berdasarkan laporan pelatih Selbella yang memperkirakan kita bisa masuk 10 besar", cerita Willy di Birmingham. Dalam kejuaraan dunia tenis meja 1975 di Kalkuta, Indonesia menduduki urutan ke-13 untuk putera dan nomor 15 di bagian puteri. Harapan Willy itu pada mulanya mungkin cukup berdasar. Ketika turun di Kalkuta, tim yang diturunkan hanya dilatih di dalam negeri. Sedangkan untuk ke turnamen dunia ke-34 di Birmingham, dua pekan lalu pemain-pemain telah dipersiapkan setahun lebih di luar negeri dan dengan pelatih asing pula. "Setelah mau berangkat target itu saya turunkan lagi jadi 13 besar", lanjut Willy. Penurunan drastis itu, menurut Willy, disebabkan ia mendengar kemajuan pesat dari negara-negara Eropa. Sehingga ia jadi was-was dengan targetnya semula. Hatinya Kecil Tapi, apa yang kejadian di Birmingham betul-betul di luar dugaan Willy. Tim Indonesia yang diharapkan bisa mempertahankan prestasi di Kalkuta ternyata melorot jauh dari itu. Berada di pool 1 A bersama RRT, Cekoslowakia, Hungaria, Jerman Barat, Perancis, Inggeris dan Australia, regu putera Indonesia hanya mampu menempati urutan ke-7 dari 8 peserta. Ketika disilang dengan pool 1 B. Lawan yang menghadang adalah Rumania yang menempati urutan terbawah. Sekali lagi harapan untuk mempertahan diri buyar kembali. Tim Indonesia dikalahkan dengan angka 54. Menurut Willy, kenyataan itu disebabkan oleh salah pemasangan pemain. Ia menyesalkan penempatan Abdul Rojak sebagai pemain penentu dalam pengumpulan angka. "Rojak itu hatinya kecil. Ia tidak mempunyai fighting-spirit (semangat bertanding)", kata Willy sembari menyedot asap rokok dalam-dalam. "Seharusnya yang dipasang adalah Gunawan atau Empie". Perhitungan Willy itu kelihatan sama sekali lain dengan perkiraan Selbella yang memasang Rojak. Ia menurunkan itu berdasarkan prestasi di Senta. Ketrampilan di Senta itu ternyata bukan jadi ukuran mutlak kebolehan Rojak di Birmingham. Ia tersisihkan ketika dipertaruhkan untuk mencari angka penentu. 1/3 Kekuatar Eropa Adakah melorotnya Indonesia dari urutan ke-13 ke nomor 16 itu merupakan takaran kegagalan di Senta? Willy menolak kenyataan itu, "Pemain kita tidak mundur. Cukup banyak kemajuan mereka" bantah Willy. "Kalau tidak dilatih di Yugo mungkin lebih parah lagi keadaannya". Alasan keberhasilan sistim latihan di Senta itu, menurut Willy, pemain Indonesia makin punya dasar permainan yang baik. "Kekurangan kita adalah basic (dasar) yang ditanamkan itu belum dapat dikembangkan untuk mengimbangi kemajuan pemain-pemain ltali, Polandia, Belgia, Belanda maupun Denmark", tambah Willy. Sehingga, "pemain-pemain kita dikejutkan oleh pemain Middle Class European Countries (istilah Willy untuk negara-negara tersebut di atas) tersebut". Pandangan Willy itu tidak seluruhnya disepakati oleh tokoh tenis meja Indonesia, tentunya. Seorang 'kalangan dalam' yang tak mau disebut namanya, menyatakan pendapat yang berbeda. Ia melihat kemunduran pada beberapa pemain Senta. Seperti Faisal Rachman, misalnya. Menurut tokoh tersebut, mutu permainannya jauh lebih menurun dibandingkan dengan penarnpilannya di Jakarta. Hingga si tokoh tersebut menyatakan kekuatirannya, tim DKI Jaya akan kehilangan satu medali emas dalam PON IX, Juli depan. Di mata bekas pelatih tenis meja RRC, Cheng Chung Yin, 39 tahun, yang kini bermukim dan melatih di Hongkong, pemain-pemain kita telah terjerumus ke dalam gaya permainan Eropa yang kurang cocok untuk langgam Asia. Menurut Cheng, gaya permainan Eropa itu membutuhkan tenaga yang besar. Sedang kekuatan pemain Asia hanya 1/3 mereka. "Untuk pemain Asia yang perlu dikembangkan adalah kecepatan. Dengan bermain cepat inisiatif lebih banyak di tangan kita", tutur Cheng. Kelemahannya juga ada: permainan pulse bisa mati bila diajak rally. Kenyataan ini terlihat ketika pemain-pemain RRC berhadapan dengan pemain Eropa dan Jepang untuk nomor perorangan. Keunggulan yang diperlihatkan pemain RRC dalam pertandingan beregu, tak begitu ampuh lagi sewaktu pemain Eropa mengetahui kelemahan mereka dan mengajak rally. Akhirnya gelar juara perorangan yang diincar RRC - setelah merah Piala Swaything dan Piala Marcel Corbillon, lambang supremasi beregu pria dan wanita lepas dari tangan mereka. Kampiunnya adalah Mitsuru Kohno Yiati Jepang untuk nomor putera dan Pak Yun Sun dari Korea Utara di bagian puteri. "Secara keseluruhan mereka unggul, bukan?", tambah Cheng. Terang Murah Cheng, bekas juara nasional Indonesia tahun 1957-1959, yang pulang ke RRC di tahun 1960 (hijrah ke Hongkong tahun 1972) menambahkan bahwa gaya permainan yang serasi buat pemain Indonesia adalah kembali ke gaya Asia. Untuk itu ia sudah menyatakan kesediaan untuk jadi pelatih tenis meja Indonesia. Ia menambahkan bisa saja pemain-pemain yang ada di Senta dipindahkan ke Hongkong. "Syukur, kalau saya boleh pulang ke Indonesia", tambah Cheng yang meminta honor sebagai pelatih sekitar 2.500 dolar Hongkong seperti yang diterimanya sekarang - 1 dolar Hongkong sekitar 93 rupiah. Cheng yang masih punya orang tua (bapak The Hok Tjin dan ibu Ang Siu Hwa) di Semarang menyata,kan seandainya ia diberi kesempatanmenggantikan Selbella, ia yakin prestasi Indonesia akan lebih baik. "Setelah setahun saya yakin tim Indonesia akan masuk 10 besar" kata Cheng. Willy Warokka tampak masih berfikir-fikir dengan tawaran tersebut. Ia menguatirkan ketiadaan teman berlatih di Hongkong. Sekalipun biaya lebih murah di sana. Di Senta, untuk seorang pemain dikeluarkan biaya sekitar 300 dolar AS per-bulan - 1 dolar AS sama dengan 420 rupiah. Buat pelatih dikeluarkan 200 dolar per-bulan. "Kalau KONI tidak menambah anggaran, kemungkinan pemain akan dipindahkan ke Hongkong", ujar Willy yang telah berniat untuk tetap melanjutkan pelatnas PTMSI di Senta. Berapa biaya yang diperlukan jika pelatnas dipusatkan di Hongkong? "Terang lebih murah", kata Cheng tanpa menyebut angka. "Sekalipun perbedaannya memang tak menyolok jauh". Dan Cheng yang kelahiran Yogya pun sedikit menjual 'lagak' dengan menunjukkan keberhasilan tim Hongkong yang diasuhnya. Regu putera ketika di Kalkuta hanya menempati urutan ke-3 dalam grup B, di Birmingham melompat ke tangga pertama. Sehinggai dalam kejuaraan dunia ke-35 di Pyongyang tahun 1979 depan, mereka akan bertanding di grup A. Sedangkan Indonesia harus bertarung dari grup A ke kelompok B. Di bagian puteri, dari nomor I di grup B melonjak jadi nomor 8 pada grup A. Sementara puteri Indonesia yang baru 1 bulan di Senta dari nomor 15 pada turnamen 2 tahun lalu melorot ke tempat 18 - praktis turun grup sekaligus. Tawaran RRT Kendati merosotnya demikian, Willy masih saja punya kebanggaan. "Dibandingkan Singapura dan Malaysia kita masih lebih baik. Mereka merosot 10 tingkat sekaligus. Sedangkan kita cuma 3 tingkat", katanya. Kenyataan 'buruk' itu ternyata punya arti politis bagi RRC. Mereka mencoba menawarkan agar pemain Indonesia supaya dilatih di negeri mereka saja. "Untuk kondisi sekarang ini terang mustahil," tambah Willy menolak tawaran tersebut. Lalu, bagaimana cara terbaik untuk mengatasi 'keparahan' yang melanda team tenis meja Indonesia? Tetap bertahan di Senta? Atau beralih ke Hongkong guna mencari identitas ketrampilan Asia kembali? "Kita lihat saja bagaimana nanti", kata Willy.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus