Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, YOGYAKARTA -- Kalangan budayawan dan akademikus selama dua hari 21-22 Oktober 2017 berdiskusi dan memberikan sejumlah rekomendasi tiga tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka yang membahas rekomendasi dalam diskusi kelompok terfokus itu di antaranya pemikir Indonesia yang juga mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif dan Cendekiawan Ignas Kleden. Diskusi terfokus dan Seminar itu diberi nama Bisikan dari Jogja: Refleksi dan Evaluasi Bidang Kebudayaan Tiga Tahun Pemerintahan Jokowi-JK di Yogyakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setidaknya ada delapan poin rekomendasi yang dibacakan, diantaranya para budayawan dan akademikus yang hadir mencatat kampanye dimainkan melalui sentimen primordialisme hingga muncul frase perang suci dan membangkitkan hantu komunisme. Mereka menyarankan Komisi Pemilihan Umum dan Panitia Pengawas Pemilu melarang penggunaan isu primordial dan radikal dalam kampanye.
Poin kedua adalah ada gejala menyatunya kekuatan Orde Baru dan kelompok garis keras. “Diperlukan pendidikan karakter yang anti-kekerasan dan membangun budaya toleransi,” kata panitia seminar yang juga Dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Yoseph Yapi Taum, Ahad, 22 Oktober.
Poin ketiga, selama 3 tahun Jokowi JK, ada ancaman populisme yang digerakkan oleh primordialisme relijius juga menjadi pembahasan dalam seminar itu. Kelompok-kelompok tertentu menggunakan kekerasan verbal dan non-verbal dan berita-berita palsu atau hoax menjamur. Populisme menjadi semakin rumit karena ditandai dengan kembalinya kekuatan militer ke dalam politik sipil.
Keempat, ada gejala menyatunya kekuatan koruptif sehingga lembaga penegakan hukum seperti KPK, kejaksaan, kepolisian, kehakiman harus diperkuat.
Kelima, catatan yang tidak kalah penting adalah wajah universitas dan lembaga pendidikan yang menampilkan doktrin radikal. Paham wahabisme masuk ke lembaga pendidikan, seperti kampus-kampus.
Profesor Kajian Studi Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Syafaatun Almirzanah mengatakan mahasiswa jurusan eksakta rentan terpengaruh kelompok radikal. Penyebabnya adalah mereka tidak terbiasa dengan pemikiran dengan banyak sudut pandang. Jurusan-jurusan eksakta itu terbiasa dengan pikiran-pikiran hitam putih
Mereka yang rentan dipengaruhi kelompok radikal itu kemudian cenderung memaksakan kehendak yang berkaitan dengan agama. “ Mereka dididik menjadi manusia kacamata kuda,” kata Syafaatun yang juga membahas rekomendasi dalam kelompok diskusi terfokus.
Ia mengusulkan sistem pendidikan yang mengedepankan pada kemanusiaan atau bidang sosial budaya dengan cara berpikir intuitif agar mahasiswa terbiasa memahami yang berbeda pandangan. Dia mencontohkan pendidikan barat, yang menunjukkan mahasiswa ilmu pasti atau eksakta juga belajar ilmu-ilmu sosial. Begitu pula sebaliknya.
Mantan Menteri Negara Riset dan Teknologi, AS. Hikam menyebutkan kelompok-kelompok radikal menargetkan perguruan tinggi negeri ketimbang perguruan tinggi negeri Islam untuk menyebarkan ajaran mereka. Contohnya di ITB, ITS, UI, dan UGM.
Mahasiswa jurusan eksakta menjadi sasaran empuk doktrinasi kalangan radikal karena pemikiran mereka cenderung linier atau satu arah. “Gerakan deradikalisasi di kampus harus gencar dilakukan,” kata dia.
Catatan keenam adalah penghayatan terhadap agama terlalu fokus pada aspek bentuk atau ritual, bukan substansi. Ada gejala agama bersekutu dengan politik dan uang untuk kepentingan kelompok dan merusak.
Catatan ketujuh, Pemerintah juga dinilai belum punya kebijakan yang spesifik di bidang pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perlu dibuat kebijakan yang tegas dalam bidang kebudayaan di sekolah supaya fokus pada pembentukan komunitas akademik. Selama ini paradigma pendidikan dibuat seragam dan linier sehingga tidak membangun kreativitas.
Catatan ke delapan selama 3 tahun Jokowi JK, budayawan dan akademikus menyebutkan seni yang penuh kreativitas dan menghargai perbedaan bisa mengurangi radikalisme dan intoleransi. Di Yogyakarta, sebagian ruang publik dipakai oleh kelompok radikal untuk menyebarkan kebencian yang dibungkus dengan agama untuk kepentingan politik tertentu. “Kesenian alternatif, misalnya di desa-desa bisa mengurangi dampak dari radikalisme,” kata Lukas, panitia seminar yang juga Dosen Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
SHINTA MAHARANI