Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi VIII DPR RI, Marwan Dasopang, mencurigai pelanggaran jatah kuota haji dimanfaatkan agen travel nakal demi meraup keuntungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Legislator Fraksi PKB ini mengatakan alokasi kuota haji khusus diberikan kepada travel haji atau Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK). Berbeda dengan haji reguler, haji khusus tidak dikenakan batasan maksimal biaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Karena di dalam Undang-Undang dan Peraturan Menteri tidak ada tentang berapa yang dibayar, maka ini menjadi kesempatan bagi travel-travel haji mengambil keuntungan yang cukup besar,” kata Marwan saat dihubungi Tempo, Senin, 8 Juli 2024.
Anggota tim pengawasan haji ini mengatakan, minat haji yang begitu besar membuat masyarakat rela membayar ongkos haji tinggi. Sehingga ini bisa membuat travel haji mematok biaya sesuka mereka. Oleh karena itu, kata Marwan, panitia khusus haji perlu menelisik dugaan ini.
Marwan juga mendapat laporan alokasi 10 ribu kuota haji khusus yang diambil dari jatah reguler juga disalahgunakan. Ia mendapat informasi 10 ribu kuota haji khusus ini diberikan kepada jemaah yang baru mendaftar tahun ini. Padahal, calon jemaah haji khusus juga harus mengantre. Namun yang diberangkatkan adalah jemaah haji yang baru mendaftar tahun ini.
“Maka proporsi 10 ribu ini perlu didalami apakah ada jual beli visa haji,” ujarnya.
DPR RI menyetujui pembentukan panitia khusus angket pengawasan haji atau pansus haji dalam sidang paripurna ke-21 masa persidangan V, Selasa, 9 Juli 2024.
Wakil Ketua DPR RI Muhaimin Iskandar yang memimpin sidang mengetok palu tanda setuju setelah menanyakan ke peserta sidang.
Pansus ini disahkan setelah anggota Komisi VIII DPR RI, Selly Andriany Gantina, membacakan pertimbangan alasan dibentuknya pansus haji. Dia mengatakan ada 35 anggota DPR dari lebih dua fraksi yang menandatangani pembentukan pansus haji ini.
Selly mengatakan adanya indikasi penyalahgunaan kuota haji tambahan oleh pemerintah menjadi dasar pembentukan pansus. Menurut dia, penatapan dan pembagian kuota haji tambahan tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah, terutama pada Pasal 64 ayat 2. Dalam pasal itu disebutkan bahwa kuota haji khusus ditetapkan sebesar 8 persen dari kuota haji Indonesia.
“Sehingga keputusan Menteri Agama RI Nomor 118 Tahun 2024 bertentangan dengan Undang-Undang dan tidak sesuai hasil kesimpulan rapat panja antara Komisi VIII dengan Menteri Agama terkait penetapan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH),” ujar Selly.
Di samping itu, layanan haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina masih tidak sempurna. Misalnya terkait pemondokan, katering, dan transportasi.
“Semua permasalahan ini adalah fakta bahwa belum maksimalnya pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Agama, dalam melindungi WNI atau jemaah haji Indonesia di tanah suci,” ujar Selly.